-->

Boikot Produk Pro LGBT, Cukupkah?

Oleh: Vivi Nurwida (ibu rumah tangga)

Penamabda.com - Unilever, sebuah perusahaan multinasional yang produknya banyak dipakai masyarakat Indonesia, baru-baru ini menggunggah postingan yang menghebohkan lewat laman akun instagram mereka. Bagaimana tidak, unilever dalam postingan tersebut menyatakan dukungannya terhadap gerakan lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ+) pada  Jum’at 19 Juni 2020 lalu.  

Perusahaan yang memproduksi kebutuhan sehari-hari mulai dari makanan, berbagai macam sabun, hingga perawatan badan dan wajah ini memposting logo unilever dengan tampilan baru bercorak pelangi.  Unilever global juga menegaskan 3 poin dalam aksi dukungannya tersebut diantaranya membuka kesempatan bisnis bagi LGBTQ+ sebagai bagian dari koalisi global.

Hal ini sontak saja menuai kecaman dari  berbagai kelompok di dunia maya, tak sedikit dari netizen yang menyerukan untuk memboikot produk-produk Unilever. Dikutip dari republika.com, 29 Juni 2020 Seruan boikot juga disampaikan oleh Majeleis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrun Tanjung menegaskan akan mengajak masyarakat untuk beralih pada produk lain.’’ Saya selaku Ketua Komisi Ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever tersebut dan memboikot Unilever’’.

Dukungan perusahaan-perusahaan besar ini tentu akan membuat kaum LGBT ini semakin membusungkan dada. Tak hanya dari Unilever, aksi dukungan untuk kaum yang melambangkan diri mereka dengan pelangi ini juga mendapatkan dukungan dari aplikasi instagram yang meluncurkan berbagai fitur “pride” dan dalam bentuk stiker yang dapat diakses. Sebelumnyapun telah banyak perusahaan terkenal yang menyatakan dukungan mereka pada kaum LGBT ini, diantara deretan perusahaan tersebut ialah Facebook, Apple, Yahoo, Google, Chevron, Coca-cola, Starbuck dan sebagainya hingga produsen biskuit terkenal Oreo.

Sejumlah aksi kecaman untuk memboikot perusahaan-perusahaan pro elgibiti ini memang akan  merugikan para produsen dan perusahaan besar yang mendukungnya. Namun tidak ada jaminan dengan pemboikotan ini akan membuat perusahaan-perusahaan ini mencabut dukungan mereka,pun tidak akan membuat perusahaan in menjadi bangkrut. Dibalik dukungan korporasi besar terhadap komunitas LGBT ini ternyata bukanlah semata-mata membela hak asasi manusia, melainkan juga melibatkan ceruk pasar yang cukup menggiurkan. Paradigma masyarakat adalah hal penting bagi pemasaran sebuah produk era kapitalisme. 

Kaum LGBT tentulah masih membutuhkan kebutuhan sehari-hari layaknya makanan, pakaian kendaraan, produk elektronik dan sebagainya. Inilah keuntungan yang hendak disasar perusahaan besar ini dengan memberikan dukungannya.
Dilansir dari tirto.id  3 Juli 2017, Witeck Communications menyebut kemampuan membeli komunitas LGBT di Amerika $830 miliar pada 2013 dan meningkat menjadi $917 miliar pada 2016. Angka yang cukup fantastis inilah yang membuat perusahaan-perusahaan besar ini membidik pasar dan mendukung komunitasnya yang dengan dukungannya akan menumbuhsuburkan bisnis mereka.
Oleh karenanya, perlawanan terhadap LGBT  tidaklah cukup dengan memboikot produk-produk yang mendukung mereka. Pemboikotan hanyalah sedikit usaha yang bisa kita lakukan untuk melawan, tetapi tidak bisa untuk menghentikan perilaku menyimpang ini. 

Lebih dari itu perlawannya harus dengan cara yang sistematis yakni dengan menghilangkan faham-faham menyimpang yang jelas pelakunya dilaknat oleh Allah dan akan diazab dengan siksaan yang pedih.

Perlawanan secara tuntas untuk menghapuskan penyakit ini hanya akan bisa terlaksana ketika sistem Islam tegak di muka bumi ini, dan manusia akan berjalan sesuai fitrahnya. Khilafah sebagai negara yang  menerapkan  ideologi Islam jelas tidak akan mentolerir perilaku menyimpang ini. Khilafah akan menindak tegas dan menghukum perilakunya. Mari bersama-sama selamatkan generasi dari elgibiti dengan memperjuangkan institusi yang menyuburkan ketaatan dan menyebar rahmat.

Wallahu a’lam bi as-showab