-->

Impor Melonjak Pandemi Menanjak, Bagaimana Nasib Rakyat?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Muslimah Penulis Sidoarjo) 

Penamabda.com - Sejak dicanangkan relaxasi PSBB, berakibat pada menanjaknya jumlah pasien positif Covid-19. Bukan satuan atau puluhan, tapi ratusan. Fakta ini memunculkan panik baik masyarakat dan nakes, hingga muncul tagar terserah saking tak tahu apalagi yang akan dilakukan, dengan keterbatasan APD , kelelahan yang amat sangat mereka masih harus melihat pemandangan penuhnya semua rumah sakit rujukan Covid-19.

Tak cukup disitu, ternyata ada fakta pelonjakan yang lain, yaitu nilai dan jenis impor pemerintah Indonesia. Di lansir media katadata.co.id, 23 Mei 2020,  Kementerian Perdagangan telah melakukan relaxsasi impor ( impor tanpa izin)  bawang putih dan bawang bombai. 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR mengatakan,"Jumlah bawang putih yang masuk mencapai 48 ribu ton. Dari jumlah itu, 20 ribu ton memakai PI (Persetujuan Impor), sementara 28 ribu ton masuk tanpa PI".

Jumlah impor itu sesuai dengan kebutuhan  bulan Ramadan hingga Lebaran. Adapun, rata-rata konsumsi bawang putih dalam sebulan mencapai 47 ribu ton. Wisnu juga  mengatakan, kebijakan tersebut tidak akan merugikan petani lokal. Pasalnya, kemudahan importasi hanya berlangsung hingga 31 Mei 2020. Setelahnya impor akan berlaku seperti biasa dengan menggunakan PI ( Persetujuan Impor).

Beberapa hari kemudian, dilansir dari CNBC Indonesia, 30 Mei 2020, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan terjadi kenaikan kebutuhan garam, yang tadinya hanya berkisar 3-4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanudin mengatakan Indonesia sebenarnya sudah berhasil dalam melakukan swasembada garam. Hanya saja sekarang kebutuhan produksinya meningkat, sehingga terpaksa harus memenuhi kekurangannya dari impor.

Meningkatnya kebutuhan garam yang terkesan tiba-tiba ini memancing protes  Sekjen Persatuan Petambak Garam Indonesia Muhammad Sarli , yang mengatakan volume tersebut terlalu besar. "Meskipun garam saat ini memang kurang, tapi harga sudah bagus. Harga Rp 1.000/kg saja dari petani itu sudah bagus, biasanya juga Rp 250/kg," jelasnya.  Sarli juga menyindir rencana rencana impor tersebut. “Lebih banyak impor hebat lah, biar tidak laku garam di sini, berhenti lagi, harganya murah lagi. Kira-kira sajalah (jumlah impor), kurangnya berapa sih?” katanya.

Pemerintah sendiri memiliki alasan mengapa  terjadinya lonjakan impor pada  saat wabah pandemi ini, yaitu pertama karena pemerintah mengklaim bahwa produksi lokal turun dan alasan kedua karena  adanya pelonggaran ( relaxasi ) syarat impor.  Sangat tak masuk diakal, sementara penanjakan ini berbanding lurus dengan kenaikan angka pasien positif Covid-19, lantas bagaimana nasib rakyat?

Pada saat debat Pilpres tahun 2019 , presiden Jokowi menjamin impor akan berkurang, bahkan berjanji akan membangun kemajuan ketahanan pangan dalam negeri. Nyatanya saat pemerintahan Jokowi-JK dimulai di akhir 2014, total impor 21 komoditas pertanian sub-sektor tanaman pangan sudah sebesar 18,2 juta ton di tahun itu. Jumlah ini kemudian naik menjadi 22 juta ton di tahun lalu. Lantas dimana bukti sudah ada upaya penghentian impor? Malah para kabinetnya makin seenaknya mengambil kebijakan.

Perbedaan sikap antara Kementerian perdagangan dan pertanian dalam soal impor di masa wabah ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Padahal, kebijakan semacam inilah yang membuat para petani dan pedagang kecil babak belur, ditambah lagi dengan kebijakan relaxasi impor. Bencana relaxasi impor ini bermula  dari  rencana swasembada kemandirian produksi pangan yang dianggap  tidak  sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis. 

Sementara situasi wabah dijadikan alasan mendorong pelonggaran syarat impor. Tampak jelas sejelas sinar matahari sekalipun dimalam hari, bahwa orientasi pemerintah beserta para kabinet kerjanya tidak fokus pada urusan rakyat. Jeritan hingga darah yang terkucur akibat sulitnya bersaing untuk hidup tak digubris samasekali. Ironi! Padahal rakyat hidup di negerinya sendiri, diatas SDA yang telah lama secara turun temurun mereka kuasai, namun kandas akibat negara mengaturnya dengan sistem Kapitalis. 

Sebuah sistem kufur, bertentangan dengan Islam. Sebab tidak diambil berlandaskan syariat Allah. Oleh karena itu wajar jika kemudian hanya menghasilkan kesengsaraan. Inilah tantangan Allah, dalam Quran surat Al Maidah 5: 50 yang artinya:

"apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?"

Wallahu a' lam bish showab.