-->

New Normal : Aparat Diturunkan Ketika Sains dan Suara Rakyat Tak Dianggap

Oleh : Desliyana, A.Md
(Aktivis Muslimah Ideologis)

Penamabda.com - Seperti yang kita ketahui bersama bahwa awal Juni 2020 ini, pemerintah Indonesia telah memberlakukan sebuah kebijakan baru dalam rangka menghadapi wabah COVID-19. Kebijakan tersebut adalah new normal atau normal baru, dimana kebijakan ini merupakan kebijakan yang akan membuka kembali tempat-tempat publik seperti sekolah, perkantoran, bandara, pelabuhan dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut yang selama ini ditutup karena adanya wabah COVID-19 maka akan dibuka seperti biasa. Pada masa diberlakukannya new normal, masyarakat akan beraktifitas di tempat-tempat publik seperti biasa dengan menerapkan protokoler kesehatan sesuai arahan pemerintah. Kebijakan ini pun akan diberlakukan di beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota. Padahal, untuk menentukan new normal dapat diberlakukan atau tidak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki enam kriteria yang harus dipenuhi. Salah satunya ialah wabah pandemi COVID-19 sudah terkendali di dalam suatu wilayah. Tetapi sementara itu di Indonesia wabah pandemi COVID-19 belum bisa dianggap sudah terkendali. Karena kasus positif COVID-19 masih mengalami peningkatan dari hari ke hari.

Terkait peningkatan kasus positif COVID-19 yang terus terjadi, Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) Agus Samsudin, mengatakan bahwa berdasarkan laporan pada 26 Mei 2020 lalu, jumlah kasus yang ditangani jaringan rumah sakit Muhammadiyah sebanyak: ODP 3.126, PDP 1.623 dan positif 235. Berdasarkan data yang didapat tersebut maka Muhammadiyah menyimpulkan saat ini kurva COVID-19 belum menunjukkan tren penurunan kasus.(Tirto.id 31/5/2020)

Hal senada mengenai peningkatan kasus positif COVID-19 juga dikatakan oleh Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin. 
Ridwan menilai bahwa rencana penerapan kebijakan new normal atau normal baru yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus corona covid-19 di tanah air masih tinggi. (kanalkalimantan.com 29/05/2020)

Lalu mengapa penerapan kebijakan new normal dianggap prematur oleh sebagian para ahli? Karena hal ini menyangkut kenaikan kurva COVID-19 di Indonesia. Sejatinya kurva masih mengalami kenaikan dan belum mencapai puncaknya. Angka-angkanya terus bertambah dari hari ke hari. Sebagai contoh negeri matahari terbit yaitu Jepang, pelonggaran atau new normal diterapkan enam pekan setelah negara tersebut menetapkan kurva penambahan kasus COVID-19 menurun. Berbeda jauh dengan keadaan di Indonesia saat ini, kasus positif COVID-19 bukan nya menurun namun memang belum mencapai puncak penyebaran. Adapun di beberapa negara pelonggaran pembatasan sosial diberlakukan karena jumlah kasus di negara tersebut sudah berada di bawah angka sepuluh atau maksimal belasan kasus per harinya. Sementara di Indonesia, penularan pasien kasus positif COVID-19 masih terbilang cukup tinggi.

Bisa dibayangkan jika new normal diberlakukan ditengah lonjakan kasus positif COVID-19. Akan berapa banyak lagi penambahan kasus positif COVID-19 yang terjadi? Dan akan berapa lama lagi wabah pandemi ini berlangsung ditengah masyarakat?

Banyak kalangan menilai bahwa ajakan kepada masyarakat untuk memulai new normal dan berdamai dengan COVID-19 adalah tindakan kurang tepat ditengah meningkatnya kasus dari hari ke hari. Para ahli pun mengatakan bahwa pemberlakuan new normal saat ini bukanlah waktu yang sesuai karena keadaan saat ini belum stabil. Sebab, konsistensi dan koordinasi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang cenderung lemah serta belum adanya test secara massif ditengah-tengah masyarakat. Wacana Kebijakan new normal ditengah pemberlakuan PSBB disejumlah daerah juga membuat kebingungan ditengah masyarakat hal ini bisa saja memicu kekacauan ditengah penanggulangan wabah COVID-19 ini. Disisi lain pemerintah memberlakukan PSBB namun masyarakat menjalankan kebijakan new normal. Akan terjadi banyak kesalahpahaman antara masyarakat dan aparat yang menjalankan kebijakan nantinya. Ditambah lagi belum ada kesiapan masyarakat dengan pola kesehatan yang baik untuk menghadapi wabah pandemi COVID-19. 
Sungguh bukan menjadi sesuatu yang aneh jika para ahli yang mewakili dunia sains serta organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah yang mewakili suara masyarakat menolak rencana pemerintah untuk segera berlakukan new normal ini. Sampai disini sudah sepatutnya masyarakat berpikir untuk siapa sebenarnya new normal ini diberlakukan? Tak heran bila masyarakat menyimpulkan bahwa kebijakan pemberlakuan new normal dalam penanganan wabah COVID-19 ini lebih cenderung mementingkan kepentingan ekonomi dan politik semata. Pemerintah terkesan tak "ambil pusing" dengan keterangan para ahli yang mewakili bidang sains serta terkesan abai dengan suara rakyat yang direfresentasikan oleh Muhammadiyah.

Selain itu juga pemerintah terkesan seperti memaksakan kebijakan new normal dengan pengerahan aparat dalam mentertibkan masyarakat untuk menjalankan kebijakan tersebut. Seperti yang disampaikan Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, bahwa pemerintah akan menerjunkan TNI dan Polri di titik-titik keramaian untuk menjaga agar masyarakat patuh dengan kebijakan new normal. Jumlah aparat yang diturunkan mencapai 340 ribu personil di 25 kabupaten/kota. Aparat akan memperingatkan siapa saja yang tidak patuh terhadap aturan new normal. Peringatan tersebut tentunya dilakukan dengan pendekatan persuasif. 
Namun sejumlah pihak merasa ragu dengan dilibatkannya aparat dalam melaksanakan kebijakan new normal tersebut. Pengerahan aparat ditakutkan memberikan peluang situasi yang abnormal dan cenderung mengecilkan ruang gerak kebebasan sipil dan ini bisa berdampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat.

Seperti kasus yang terjadi di Jayapura Selatan misalnya, seorang warga tewas setelah menghindari semprotan air dari water cannon milik personel gabungan Satgas COVID-19.(Tirto.id 2/5)

Namun demikian jika pun kebijakan tersebut tetap dijalankan maka semakin jelaslah apa yang melatarbelakangi hal tersebut. 
Bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara saat ini sangat dikendalikan oleh para pemilik modal yang ketika new normal tidak dijalankan maka para kapitalis tersebut akan mendapatkan kerugian akibat ditutupnya tempat-tempat publik yang merupakan ladang investasi mereka. Maka tampak jelaslah kebobrokan Sistem Kapitalis ketika membuat kebijakan bukan untuk kemaslahatan umat yang didukung oleh sains dan suara umat namun demi para pemilik modal.

Keadaan ini akan berbeda jika penanganan wabah dilakukan dengan merujuk kepada Sistem Islam. Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Memiliki semua aturan yang dapat memberikan solusi tuntas terhadap setiap permasalahan kehidupan. Baik permasalah pribadi, masyarakat dan juga negara.

Pemerintahan dalam Sistem Islam berjalan sesuai aturan Allah SWT bukan berjalan sesuai aturan para pemilik modal. Seluruh kebijakan yang terlahir berasal dari penggalian hukum yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunah, Ijma' Sahabat serta Qiyas Syar'i. Kebijakan dibuat demi kemaslahatan umat dan terbebas dari intervensi manusia.

Begitu pula dalam menghadapi dan mengatasi wabah. Islam memiliki metode tersendiri dan itu dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Nabi sekaligus Rasul yang harusnya menjadi tauladan kita sebagai umat muslim.

Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا ۗ 

"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21)

Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khaththab saat menghadapi wabah  Tha’un (penyakit sejenis kolera) di Amawas, Syam pada tahun 18 Hijriah. 
Bahwasanya saat itu Khalifah Umar bin Khattab berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, ia ditemui para panglimanya. Yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah serta para sahabatnya yang lain Mereka memberitakan bahwa sebuah wabah penyakit telah menyebar di negeri Syam. 

Dalam menghadapi wabah tersebut Khalifah Umar pun tak tergesa-gesa memberikan keputusan. Beliau meminta pendapat para sahabat baik itu dari kaum muhajirin, anshor dan para kaum Quraisy yang hijrah pada saat penaklukan kota Mekkah.
Perdebatan antara memasuki wilayah atau meninggalkan wilayah yang terkena wabah terus didengarkan dengan saksama setelah benar-benar yakin barulah Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan apa yang harus dilakukan. 

Pada saat itu Khalifah berniat untuk membawa kembali Abu Ubaida bin Jarrah ke Madinah namun hal itu ditolak Abu Ubaidah seraya mengingatkan apakah Sang Khalifah ‘lari dari takdir Allah’?

Dengan kebijaksanaan seorang pemimpin dalam Sistem Islam, Khalifah Umar menjelaskan bahwa kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. 

Setelah itu datang Abdurahman bin Auf dan membenarkan keputusan Khalifah Umar bin Khaththab yang tak memasuki wilayah Syam dan keputusan Abu Ubaidah bin Jarrah yang tak meninggalkan wilayah Syam, dengan menyampaikan hadist Rasulullah SAW. 

"Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya".

Setelah Abu Ubaidah meninggal, Muadz Bin Jabal pun wafat akibat wabah. Setelah itu digantikan oleh Amar bin Ash, seorang sahabat Rasul yang terkenal akan kecerdasannya.

Khalifah Umar pun mendengarkan analisa-analisa yang dilakukan Amar bin Ash dan membuat suatu kesimpulan dan solusi untuk menangani wabah di wilayah Syam tersebut. Bahwasanya Amar bin Ash menyarankan karantina wilayah, masing-masing diperintahkan untuk berpisah, ada yang ke gunung, ada yang ke lembah, dan ke tempat-tempat lainnya agar wabah tersebut mengalami penurunan dalam penyebaran.

Sebagai seorang pemimpin negara dalam Sistem Islam Khalifah Umar bin Khaththab senantiasa meminta pendapat dari para ahli, sahabat yang memiliki ilmu yang mumpuni serta mendengarkan pendapat para sahabat dalam menghadapi dan mengatasi wabah.

Begitu agung dan mulianya Sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki karakteristik seperti Khalifah Umar bin Khaththab yang itu tidak dapat dilahirkan dari rahim Sistem Kapitalisme seperti sekarang ini.

Wallahu a’lam bish shawab.