-->

Ekonomi Digenjot, Ibadah Biar Saja Lemot

Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang)

Penamabda.com - Di saat pandemi Covid-19 masyarakat semakin jelas  menyaksikan dengan mata telanjang kegagapan rezim dalam menangani urusan umat. Selalu rezim ini membuat kebijakan yang tidak nyambung dengan persoalan, tidak menunjukkan kewibawaan sebagai negarawan yang mempunyai kapabilitas dalam mengelola negara.

Bagaimana tidak miris. Banyak ironi yang dilakoni penguasa tengah pandemi. Saat umat diminta meminimalisasi ibadah berjamaah ke masjid, pertokoan dan pusat perbelanjaan justru dibiarkan bebas tanpa peringatan dan sanksi yang tegas.

Beberapa peristiwa itu kontan mendapat respons dari sekjen MUI, Anwar Abbas, yang mempersoalkan sikap pemerintah melarang masyarakat berkumpul di masjid. Anwar mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak tegas terhadap kerumunan yang terjadi di bandara.

Anwar menilai kebijakan pemerintah mengenai pengecualian perjalanan transportasi di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini sebagai sebuah ironi. Karena, kata Anwar, kebijakan ini bertentangan dengan sikap pemerintah Indonesia yang bersikeras ingin memutus rantai penyebaran virus Corona.

“Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah tapi di sisi lain kita longgar sehingga usaha kita untuk membendung dan menghentikan secepatnya penyebaran virus corona tersebut menjadi terkendala karena adanya ambivalensi sikap dari pemerintah yang tegas dengan rumah ibadah tapi tidak tegas dengan lainnya,” sambungnya.

Sikap penguasa yang membingungkan, tidak stabil, mencle-mencle dan plin-plan memang menambah keruwetan di tengah masyarakat. Sudahlah asimilasi napi bikin tragedi, dibuat lagi kebijakan yang membikin rakyat kehilangan nyali.

Aturan PSBB yang ketat lalu longgar, moda transportasi yang kembali dioperasikan, hingga wacana berdamai dengan corona.

Ada program jaringan pengaman sosial yang sampai detik ini tak jelas pendistribusiannya. Di daerah, pelaksanaan bantuan sosial berantakan. Data tak sinkron dengan fakta di lapangan. Belum lagi bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran.

Ada pula wacana ‘The New Normal’ yang menginginkan masyarakat mulai terbiasa hidup berdampingan dengan virus corona. Bahkan seorang pejabat mengatakan agar corona dianggap sebagai istri.., ambyaarr.

Masyarakat diarahkan untuk menata kehidupan baru agar beradaptasi dengan virus. Alasannya, pandemi ini masih belum diketahui kapan akan berakhir. Padahal rezim sedang coba-coba menerapkan _herd immunity_ pada rakyat.  Maksud sebenarnya agar tidak direpotkan dengan urusan anggaran bengkak karena penanganan wabah.

Ada ulama dituduh melanggar PSBB karena mengadakan pengajian dengan jama'ahnya seketika  langsung ditangkap. Sementara, BPIP dan MPR selaku penggagas konser amal pada 17 Mei lalu, meski melanggar PSBB dan physical distancing, cukup hanya dengan minta maaf, tidak ada penangkapan.

Salat Id berjamaah tidak boleh di tanah lapang dan mesjid, tapi bandara penuh tak dibilang melanggar aturan. Nampak jelas ada niat diskriminasi.  Siapa pelaku, beda pula perlakuannya dan sanksinya.

Sederet fakta ini semestinya membuka mata kita, bahwa penguasa belum amanah dan optimal mengurus rakyat. Penguasa pilah-pilih dalam memberlakukan aturan. Hanya berpikir memulihkan ekonomi, tapi berat hati dalam memberikan hak kebutuhan rakyat selama pandemi.

Rezim mengakali kebijakan agar roda perekonomian tetap meroket, tapi jika berkaitan dengan Islam dan umatnya akan akan selalu dihambat. Rezim juga mengabaikan kesehatan rakyat terhadap penularan virus corona yang masih tinggi.

Tak salah jika ada kesan, pemerintah tegas pada ibadah umat Islam, tapi melunak bila menyangkut kepentingan pengusaha dan pelaku ekonomi makro.

Sesungguhnya ulama adalah figur sentral yang sangat berpengaruh terhadap kondisi suatu masyarakat. Mereka memiliki andil besar apakah suatu masyarakat itu dalam kebaikan ataukah dalam keburukan. Jika ulama menjalankan tugasnya dengan baik niscaya umat dapat menjadi baik. Jika ulama abai terhadap tugasnya niscaya umat akan menjadi rusak. Gambaran ini sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (VII/92): rusaknya masyarakat akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama.

Saat ini kondisi umat Islam begitu memprihatinkan. Hal ini tercermin pada semua lini kehidupan: sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Penistaan terhadap Islam dan kaum muslimin terus terjadi. Kemiskinan, dekadensi moral dan perpecahan terus mewarnai kehidupan umat Islam. Di saat wabah Covid-19, penguasa tak malu-malu mengeluarkan kebijakan zalim yang  merupakan intervensi negara-negara penjajah untuk memulihkan kekuatan ekonomi kapitalis.

Akibat ketiadaan Khilafah, hukum Islam terus disia-siakan sementara hukum kufur justru menjadi kredo para penguasa. Maka dari itu sudah selayaknya para ulama tak boleh tinggal diam atas kezaliman penguasa. Ulama harus lantang menyampaikan kebenaran meski itu pahit.

Ulama harus sadar politik. Politik dalam arti pengaturan urusan umat. Menimbang segala permasalahan umat dengan sudut pandang Islam dan mengambil solusi atas segala persoalan dengan solusi Islam. Ulama harus terus melakukan Amar ma'ruf nahi mungkar, siap mengawal penguasa dalam menerapkan hukum-hukum Allah. Saat peran politik ulama pudar akan berimplikasi pada carut marutnya kehidupan umat.

Umat merindukan sosok ulama yang benar-benar menjalankan tugas keulamaannya dengan baik, menuntun umat menuju jalan selamat dunia-akhirat. Ulama yang menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan seluruh persoalan mereka baik menyangkut urusan individu, masyarakat maupun negara. Ulama yang akan mendidik dan membina umat sehingga umat memiliki pemikiran dan visi politik yang tinggi. Umat juga merindukan ulama yang selalu tampil di garda terdepan untuk mengoreksi penguasa yang berlaku zalim terhadap rakyat maupun pemimpin yang menyimpang dari Islam. 

Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama ketika tidak tersisa lagi seorang alim, manusia akan mengambil para pemimpin bodoh. Jika para pemimpin bodoh itu ditanya, mereka akan memberi fatwa tanpa ada pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan."
(HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu'alam.