-->

Hari raya 2020, Pandemi, dan Ketakwaan Menyisakan Sesak Mendalam

Oleh: Arista Indriani (Praktisi Pendidikan)

Penamabda.com - Hari Raya tahun ini akan menorehkan catatan tersendiri. Tahun 2020 ini, umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya dengan sangat berbeda. Di Indonesia, yang biasanya menjelang hari raya keimanan semakin meningkat, masjid ramai dengan orang-orang beriman yang ingin lebih dekat pada Rabb nya. Mereka meninggalkan tempat tidur untuk menghabiskan waktu malam dengan ibadah. 

Ibadah yang panjang, yang penuh hikmat, ikhlas hanya karena mengharap ridhoNya. Karenanya Allah menjanjikan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Mereka orang-orang beriman berbondong memenuhi masjid untuk beri’tikaf mengejar lailatul qodar dan ampunan dari RabbNya. Walaupun pemandangan ini hanya 10 hari dari 365 hari, tetap saja menjadi momen booster takwa yang cukup dirindu, Booster takwa 10 hari.

Namun kini semua berbeda, kita tak bisa leluasa beribadah sebagaimana biasanya. Tak bisa bebas ke masjid, janganpun untuk beri’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan, untuk shalat ‘id berjamaah saja, yang biasanya orang yang bahkan jarang ke masjid pun akan menyempatkan waktu, memakai pakaian terbaiknya untuk menghadap Rabb semesta alam, tidak sama dengan biasanya. Biasanya kita saling bersalaman dan bersilaturahmi. 

Para perantau pulang ke kampung halaman, tradisi mudik dan balik lebaran menjadi pandangan yang biasa, tapi saat ini tidak sama.  Bahkan di hari raya ini diimbau untuk mengadakan gerakan tutup pintu. Bukannya tidak mau menerima tamu, tapi semua dilakukan atas nama menjaga keamanan.

Pandemi ini membuat kehidupan sesak. Sesak untuk mendapatkan penghidupan secara layak, sesak di kantong, sesak pikiran, dan sesak di hati. Jadi sesaknya covid 19 tidak hanya di paru-paru. Sebagai seorang Muslim, ya kita harus bersabar dengan segala ujian yang menimpa. Baik ujian secara pribadi, masyarakat, negara maupun mendunia. Seperti saat ini, di mana dunia dikepung  susuatu yang tak kasat mata.

Bapak Presiden dalam ucapan selamat hari raya Beliau bersama Ibu negara "Saya yakin bersama-sama kita bangsa Indonesia akan mampu melewati ujian berat ini," kumparan.com 23/05/2020. Bukankah  ungkapan yang terdengar begitu memotivasi dan penuh persatuan. 

Begitu pula Wakil Presiden Ma'ruf Amin, ketika memberi sambutan dalam acara Takbir Virtual Nasional dan Pesan Idul Fitri dari Masjid Istiqlal, Sabtu, 23 Mei 2020. Wapres mengingatkan bahwa momen harus dimanfaatkan umat muslim untuk memperkuat iman dan takwa. Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan bahwa umat yang beriman dan bertakwa akan diberi ganjaran diberikan keberkahan.

"Kalau beriman dan bertakwa pasti Allah turunkan kesuburan, kemakmuran, keamanan, keselamatan dan dihilangkan berbagai kesulitan. Itu adalah janji Allah di dalam Al-Quran," kata Pak wapres Ma'ruf. 

Beliaupun meminta masyarakat untuk lebih bersabar di tengah pandemi wabah Corona. Beliau meyakini Indonesia dapat memenangkan perang melawan virus tersebut.

Syawal sedang kita lalui, suasana kemenangan yang biasa dirasa kini tak sama. Iya, ketakwaan adalah puncak dari amal Ramadhan kita. Apa yang disampaikan Presiden dan wakil presiden begitu bijak dan menenangkan. Namun, kenapa masih ada sesak yang terasa?
Berbicara tentang ketakwaan, ketakwaan seperti apa yang harusnya dimiliki kaum muslim hingga dikatakan menang dan sukses dalam hidupnya? Mengutip apa yang di sampaikan kiai wapres yang merupakan kutipan dari ayat Al Qur’an, surat Al A’raaf ayat 96. 

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” 

Benar “kalau beriman dan bertakwa pasti Allah turunkan kesuburan, kemakmuran, keamanan, keselamatan dan dihilangkan berbagai kesulitan. Itu adalah janji Allah di dalam Al-Quran” tapi ternyata Allah juga memberi peringatan, bahwa banyak yang mendustakan ayat-ayatNya dan akan disiksa karena perbuatannya itu. 

Na’udzubillahi min dzalik. 

Sudah seharusnya kita selalu melakukan introspeksi, apa kita termasuk penduduk negeri yang beriman dan bertakwa atau yang mendustakan ayat-ayat Allah?

Bagaimana kategori mendustakan ayat Allah? Ketika ada ayat “Dirikanlah sholat” nyatanya banyak yang meninggalkan dan meremehkan. Ketika ada ayat “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” nyatanya riba adalah basis perekonomian di negeri ini. Ekonomi hulu-hilir, makro-mikro tidak terlepas dari riba. Ketika ada ayat “minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan” nyatanya masih banyak yang memilih perbuatan setan, padahal setan adalah musuh yang nyata. Bahkan aktifitas tersebut difasilitasi negara. ketika ada ayat “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” nyatanya ayat tersebut hanya ayat yang berulang dibaca tanpa ada realisasi. Janganpun pencuri yang hanya sebatas nishob, perampok uang rakyat para tikus koruptor pun bebas melenggang santai, jikapun tertangkap alih-alih dipotong tangan malah mendapat fasilitas istimewa daripada napi yang lain. Apakah itu semua termasuk mendustakan ayat-ayat Allah?

Ya Allah ya Robbana ampunilah kami dengan segala perbuatan, perkataan dan diamnya kami atas apa yang terjadi di negeri kami ini. Sungguh sesak dada ini menyoal tentang ketakwaan penduduk negeri. Sedang kita adalah bagian dari penduduk negeri itu.

Kemudian apa yang bisa kita lakukan? Paling tidak kita harus mulai memahami dimensi ketakwaan itu sendiri. Ketakwaan ada 3 dimensi.  

Pertama, ketakwaan individu. Ketakwaan individu memiliki kedudukan yang penting. Individu yang bertakwa mampu memilih aktivitas mana yang dibolehkan agama mana yang tidak. Ia akan memutuskan tindakan tersebut membahayakan dirinya atau tidak. Ia pun akan memaksimalkan skala prioritas. Sehingga amalnya akan terus berusaha dilakukan untuk menunjang ketakwaannya agar semakin meningkat. 

Kedua, ketakwaan masyarakat. Sejatinya ketakwaan individu saja tak akan cukup. Perlu dukungan dari ketakwaan masyarakat. Masyarakat yang bertakwa akan berbondong-bondong saling menjaga, memperhatikan dan mengingatkan. Jika ada individu yang menyalahi aturan, masyarakat segera mengingatkan. Masyarakat akan bersama menjaga kondisi tetap terkendali. Jika masyarakatnya bertakwa, mereka akan mengikuti aturan negara. Sehingga akan mudah diatur. Masyarakat yang bertakwa adalah masyarakat yang berdakwah, mereka tidak akan rela membiarkan saudaranya terjerumus dalam kemaksiatan.

Ketiga, ketakwaan negara. Ketakwaan negara adalah mahkota dari dua ketakwaan sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri negara mengambil peran paling penting dalam masalah ini. Ketakwaan individu sewaktu-waktu bisa luntur mana kala tak ada bentengnya. Pun ketakwaan masyarakat suatu saat bisa sirna jika tak ada penjaganya. Benteng dan penjaga ketakwaan itu adalah negara.

Ketika Hari Raya 2020, adanya pandemi virus covid-19 dan ketakwaan saat ini yang masih menyisakan sesak. Karena semua belum sesuai dengan semestinya.  Masih ada harapan besar untuk hari esok. Mulai dengan menjadi orang yang bertakwa, membuat masyarakat bertakwa dan membangun negara yang bertakwa yang itu semua hanya jika Islam diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi negara. Yang akan menjadi booster takwa setiap saat dan di setiap tempat. Itulah institusi Khilafah yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Islam.