-->

BERDAMAI DENGAN CORONA, PENERAPAN HERD IMUNITY?

Oleh : Nur Arofah (Aktivis Dakwah)

Penamabda.com - Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan ditengah situasi penanganan penyebaran virus corona yang baru genap dua bulan. Melalui akun resmi medsosnya pada Kamis 7/5/2020 Jokowi meminta agar masyarakat untuk bisa berdamai dengan COVID-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. (CNNIndonesia.com 09/05/2020)

Pernyataan Presiden ini menjadi polemik sebab amat bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya. Pada saat konferensi virtual negara G20, Maret 2020, presiden mengajak seluruh negara anggota untuk perang melawan COVID-19.

Berdamai dengan Corona adalah menerima qodo’ Allah SWT atas ujian terhadap tentara yang Allah SWT turunkan dalam bentuk makhluk kecil tak kasat mata. Hal ini merupakan sesuatu diluar kendali manusia. Corona membuat aktivitas manusia dan gerak dunia melambat atas izin Allah SWT.

Seharusnya pernyataan itu dibarengi dengan kebijakan yang tepat. Kemenristek dan Kemenkes serta lembaga lainnya dapat melakukan koordinasi dan kerjasama untuk mempercepat ditemukannya vaksin COVID-19, tanpa menunggu negara lain. Menurut Wakil Ketua MPR RI, pemerintah seharusnya mendukung anggaran untuk riset di Kemenristek, bukan malah memotongnya. Riset sejatinya amat penting untuk menemukan vaksin COVID-19, karena  ini merupakan cara efektif untuk menyelesaikan darurat Bencana Kesehatan Nasional COVID-19.

Untuk selamatkan rakyat Indonesia dan NKRI, mestinya Presiden komitmen dengan menambahkan anggaran riset untuk percepatan penemuan vaksin, bukan malah memangkasnya, kata Hidayat Nurwahid. (Tribunnews.com, 10/5/2020) Sikap pasrah pemerintah untuk menunggu vaksin Corona ditemukan, dan malah memangkas anggaran Kemenristek sebesar Rp 40 Triliun, dari semula Rp 42 Triliun menjadi Rp 2 Triliun. (Detiknews, 070/4/2020). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawab penanganan wabah, bahkan cenderung mengambil kebijakan Herd Imunity atau kekebalan mayoritas alamiah.

Padahal konsep itu merupakan konsep salah satu kadarulloh yang bisa diobservasi secara universal. Ketika mayoritas masyarakat diberi vaksin, virus tidak mampu tersebar karena terblokir kemampuannya untuk menginfeksi. Namun bila masyarakat dibiarkan terpapar virus tanpa vaksinasi hal ini amat membahayakan keberadaan populasi manusia.

Herd imunity rata rata harus mencapai 50-60 % populasi. Indonesia mempunyai penduduk 721 juta jiwa, jika 182 juta jiwa terinfeksi. Artinya bila kekebalan alamiah diambil maka harus kehilangan 16 juta jiwa dari 182 juta yang terinfeksi. (Tirto.id, 03/04/2020).

Sikap seperti ini adalah ciri Pemimpin Kapitalisme yang tidak pernah serius mengurusi urusan rakyatnya, namun akan sangat mengurusi urusan atau kepentingan diri dan kelompoknya. Rezim kapitalis sekuler dalam kebijakannya hanya berstandar untung-rugi, walaupun harus mengorbankan nyawa rakyat dan berdalih menyelamatkan ekonomi bangsa.

Ekonomi rakyat sudah ambyar sebelum Corona, sejak lama kebijakan penguasa plin plan dari kebutuhan pokok yang terus meningkat, daya beli rendah masyarakat terpojok. Lambannya negara menangani wabah dalam pengurusan kebutuhan rakyat yang tidak mengeluarkan kebijakan lockdown dan abai  terhadap nyawa rakyat. 

Penguasa tidak konsisten dalam membuat kebijakan dari penerapan PSBB untuk memerangi Corona. Larangan mudik dan penutupan akses untuk memutus penyebaran dari pemudik. Belum sukses pemerintah melalui PSBB namun pemerintah sudah tidak sabar untuk melonggarkan PSBB. Hal ini didukung dengan pesan damai Corona dilanjutkan dengan izin beroperasinya transportasi walaupun dalam jumlah terbatas.

Padahal dalam pandangan Islam seorang pemimpin adalah laksana pengembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyat). (HR.Bukhari dan Muslim).

Cara pandang seperti inilah yang membuat Pemimpin dalam Sistem Islam sangat serius mengurusi urusan rakyatnya. Para pemimpin di negeara Islam menjaga keselamatan dan kesehatan mereka. Terutama jika terjadi wabah seperti sekarang ini, pemimpin tidak ragu menerapkan lockdown, solusi yang diperintahkan syari'at dengan dibarengi upaya penjaminan kebutuhan masyarakat terdampak. Maka Khalifah akan mengupayakan untuk meminimalisir korban dan populasi terdampak wabah. Khalifah pun akan mencari bagaimana mekanisme penyebaran penyakit tersebut, sehingga ditemukan berbagai upaya antisipasi pencegahan berdasar bukti.

Di zaman Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dan para sahabat, ketika satu wilayah terkena wabah penyakit menular solusi yang dijalankan adalah isolasi dibarengi mengurus keperluan mereka. Awalnya para ahli menduga pandemi cukup diatasi dengan kebersihan dan gaya hidup. Faktanya dalam perjalanan pandemi banyak yang tertular. Sampai dengan upaya ikhtiar maksimal, ilmuwan dan peran negara yang mendukung serta mendanai berbagai upaya pengembangan penelitian.

Umat Islam pada masa Khilafah menemukan ikhtiar baru mengatasi pandemi dengan vaksinasi. Cara ini yang digunakan Sultan untuk menangani wabah smallpox (cacar) yang tengah melanda. Kekhilafahan Turki Utsmani pada abad 19 bertepatan pada tahun 1846 Masehi. Sultan memerintahkan penyediaan fasilitas kesehatan untuk vaksinasi terhadap anak-anak warga muslim dan non muslim. Inilah salah satu bentuk pelayanan jaminan kesehatan dan keselamatan nyawa yang diberikan Khalifah kepada rakyat.

Hanya pemimpin bertakwa dibawah naungan Islam yang mampu menjalankan pemerintahan dan senantiasa mengurusi  urusan rakyatnya tepat dan cepat.

Wallahu A'lam bishowab