-->

Wabah Covid-19, Dunia Butuh Otoritas Kredibel! (WHO dan IHR-2005 Bertanggung Jawab atas Meluasnya Wabah)

Oleh: Dr. Rini Syafri (Doktor Biomedik dan Pengamat Kebijakan Publik)

Empat bulan berlalu, namun belum terlihat tanda-tanda wabah Covid-19 akan berakhir. Bahkan, kondisi dunia terus memburuk. Dimuat pada laman John Hopkins University and Medicine, Coronavirus Resources Center, sejak akhir Desember 2019 hingga Senin (30/3/2020), virus Covid-19 telah menyebar dari pusat wabah pertama di Wuhan-Cina ke 177 negara lainnya, dengan total penderita positif Covid-19 terkonfirmasi 737.929 kasus dan 35.019 kasus di antaranya meninggal[1].

Sementara itu, meski dipandang sebagai otoritas terpercaya untuk urusan kesehatan dunia, yakni Lembaga Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) dan lembaga dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun ternyata tidak demikian faktanya. Ketidakmampuan keduanya begitu kasat mata.

Instrumen politik yang digunakan berupa International Health Regulation 2005 (IHR-2005) yang dirumuskan bagi tujuan membendung penyebaran penyakit secara global, telah gagal.

Sebab ia bekerja di atas konsep dan peraturan yang dibuat oleh hawa nafsu manusia. Mencampurbaurkan antara aspek kebenaran sains-ilmu kedokteran dan aspek batil ideologi sekularisme-kapitalisme.

Akibatnya, waktu yang tersedia untuk bertindak disia-siakan. Buktinya, faktor nonmedis benar-benar telah berpengaruh pada perkara ini.

===

Lockdown Dipandang Sebelah Mata

Konsep lockdown atau penguncian agar wabah tidak meluas melewati wilayah asalnya, telah dipandang sebelah mata oleh WHO dengan IHR-2005 sebagai penyelesai masalah. Dinyatakan pada laman www.weforum.org,

“Lebih dari satu miliar orang dalam penguncian (lockdown) minggu ini, WHO memiliki permintaan sederhana: Jangan sia-siakan kesempatan ini. Tindakan physical distancing seperti penguncian (lockdown) hanya memperlambat penyebaran virus, pejabat WHO memperingatkan. Untuk itu, Direktur Jenderal menjabarkan enam langkah yang bisa diambil oleh negara mana pun, terlepas dari ukuran atau skenarionya, untuk memerangi virus.”

Selanjutnya dinyatakan,

“Banyak negara, seperti Amerika Serikat, telah membahas langkah-langkah penguncian yang dicabut untuk menopang perekonomian. Untuk negara-negara yang bergulat dengan keputusan itu, Direktur Jenderal WHO menjelaskan bahwa ‘tindakan agresif untuk menemukan, mengisolasi, menguji, merawat, dan melacak, tidak hanya cara terbaik dan tercepat dari pembatasan sosial dan ekonomi yang ekstrem –semua ini juga cara terbaik untuk pencegahan.’“[2]

Bila dicermati secara mendalam, penolakan konsep lockdown dalam penanggulangan wabah, tak ubahnya perbuatan dungu pemilik rumah yang berusaha mencegah pencuri masuk tetapi gerbang dan pintu rumahnya dibiarkan terbuka, dan ketika pencuri masuk ia berteriak meminta tolong.

Sikap seperti ini sangat berbahaya bagi keselamatan umat manusia, di samping bertentangan dengan sifat alami wabah yang harus dicegah agar tidak keluar dari tempat asalnya bila tidak ingin membahayakan jiwa manusia.

Adapun alasan penolakan lockdown karena akan membahayakan perekonomian, menunjukkan kerendahan berpikir. Sebab, itu berarti materi lebih tinggi nilainya dari jiwa manusia. Sementara sistem ekonomi kapitalisme tanpa wabah pun sudah gagal menyejahterakan manusia.

Kesenjangan ekonomi yang begitu dalam, puluhan juta orang miskin dan kelaparan di tengah produksi pangan yang berlimpah, puluhan juta jiwa kekurangan air bersih di tengah berlimpahnya sumber daya air, badai pengangguran di tengah kemajuan teknologi, jutaan jiwa tidak tertolong nyawanya di tengah begitu majunya ilmu kedokteran dan teknologi, adalah deretan bukti yang tidak terbantahkan.

Artinya, perekonomian yang tidak mampu mendukung kebijakan lockdown justru menegaskan sistem ekonomi kapitalisme antipencegahan wabah, antikesehatan dan keselamatan jiwa manusia.

Sedangkan penolakan konsep lockdown karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan, menunjukkan HAM dan kebebasan itu sendiri yang bersifat antipencegahan wabah dan antikesehatan serta keselamatan jiwa manusia.

Sebagaimana kita saksikan selama ini, ketika HAM dan kebebasan dijadikan landasan bagi segala urusan, begitu mudah ditunjukkan oleh jari jemari krisis kemanusiaan yang sangat parah.

Sementara penolakan lockdown dengan alasan ketika diterapkan di Cina menimbulkan berbagai persoalan kemanusiaan, juga alasan yang dicari-cari dan hasil kedangkalan berpikir. Sebab bila dicermati, semua itu adalah akibat buruknya aspek penerapan.

Di sisi lain, mempertegas tidak manusiawinya sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sosialisme-komunis itu sendiri, yang sebelum ada wabah sudah menunjukkan hal itu.

Sementara pandangan bahwa tanpa lockdown pun sejumlah negara sukses menangani wabah, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, asalkan sistem kesehatannya baik, yaitu seluas-secepat mungkin melakukan screening, contact-tracing, serta perawatan yang baik sebagaimana arahan WHO berdasarkan IHR, adalah tidak benar.

Kenapa? Sebab, tidak ada satu pun negara di dunia hari ini yang aman dari ancaman wabah Covid-19, demikian juga Jepang, Singapura, Jerman, dan Korea Selatan!

Dimuat pada laman John Hopkins University and Medicine, Coronavirus Resources Center, per Senin (30/3/2020) total pengidap positif Covid-19 di Jepang 1.866 kasus, Singapura 879 kasus, dan Korea Selatan 9.661 kasus.1

Bagaimana bisa dianggap sukses, sementara ratusan bahkan ribuan jiwa sedang sakit dan terancam. Penting diingat, ukuran keberhasilan dalam penanganan wabah adalah terselamatkannya kesehatan dan jiwa semua manusia yang berada di dalam wilayah wabah maupun di luar wilayah wabah.

Semua ini menegaskan, WHO dan IHR-2005, berikut sistem kehidupan sekularisme khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan dunia juga Indonesia, telah gagal mengatasi wabah khususnya Covid-19.

Allah SWT berfirman dalam QS Ar Rum [30]: 41), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

===

Prinsip Sahih Islam dan Fungsi Sentral Negara

Islam adalah diin yang sempurna, diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berupa konsep-konsep sahih dan peraturan hidup bagi solusi semua persoalan kehidupan insan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan, “Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu Alquran) sebagai penjelas segala sesuatu.” (TQS an-Nahl [16]: 89). Tidak sekadar solusi, tetapi solusi persoalan yang sahih. Sehingga pelaksanaannya secara kafah adalah kunci bagi terwujudnya kesejahteraan bagi umat manusia bahkan seluruh alam.

Yang demikian itu ditegaskan Allah SWT dalam QS Al-Anbiya [21]: 107 yang artinya, “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Berbeda dengan konsep kapitalisme, konsep Islam mengharuskan pembatasan wabah di daerah asalnya (lockdown syar’i), sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu; Dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).

Konsep lockdown yang syar’i ini tidak mengenal sekat-sekat negara bangsa dan egois kedaerahan yang diharamkan Islam.

Sehingga, bila ditelaah secara mendalam konsep lockdown yang syar’i merupakan kunci keberhasilan pemutusan rantai wabah dengan segera ke wilayah mana pun. Sebab, tidak ada peluang terjadinya imported case (kasus impor) yang telah memicu meluasnya wabah Covid-19 ke seluruh dunia dengan cepat.

Konsep lockdown yang syar’i tersebut hanya akan dan bisa diterapkan secara benar oleh negara yang berfungsi secara benar pula (kredibel). Yakni, ketika keberadaan negara sebagai pelaksana syariat secara total dalam wujud sistem kehidupan Islam.

Fungsi yang dimaksud adalah sebagai pemelihara urusan rakyat dan pelindung dari segala keburukan. Sebab, dalam penanganan wabah negara memiliki peran begitu sentral dan mendasar.

Ini tampak dari dibebankannya pelaksanaan kebijakan lockdown di pundak negara, berikut aktivitas karantina kepada orang yang sehat dan isolasi kepada yang terbukti sakit setelah screening (penyaringan) melalui tes dan pemeriksaan cepat yang akurat.

Peran negara yang begitu sentral dan mendasar juga terlihat dari tanggung jawabnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang secara manusiawi, khususnya di wilayah yang diberlakukan kebijakan lockdown.

Sementara itu, keseluruhan konsep-konsep sahih Islam dalam wujud sistem kehidupan Islam khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam dengan kekuasaan yang tersentralisasi dan administrasi desentralisasi, meniscayakan negara memiliki kemampuan logistik yang memadai untuk membuat daya imunitas tubuh masyarakat berada pada puncaknya.

Sebab, negara mampu menjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar tiap orang secara sangat manusiawi sebagaimana yang sudah lazim ia lakukan di saat tidak terjadi wabah. Baik kebutuhan pangan, air bersih, perumahan, juga energi dan transportasi. Demikian juga kebutuhan pendidikan hingga pelayanan kesehatan gratis berkualitas.

Tidak hanya kemampuan logistik, negara juga memiliki kemampuan melakukan politik riset dan politik industri yang begitu penting untuk keberhasilan penanganan wabah. Sebab, politik riset didasarkan pada visi mempercepat terwujudnya politik dalam dan luar negeri negara khilafah khususnya dalam penanganan wabah. Seperti pemastian daerah sumber wabah, aspek virologi dan epidemiologi, dan ciri-ciri klinis yang ditimbulkan.

Sementara itu, politik industri berbasis industri berat memungkinkan tersedia sesegera mungkin semua kebutuhan teknologi terkini bagi penanganan wabah. Mulai dari alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, hingga berbagai produk farmasi, alat kesehatan, dan obat-obatan.

Yang tak kalah penting adalah sistem ekonomi dan sistem politik Islam akan menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang luar biasa. Yaitu melalui politik anggaran berbasis baitulmal dengan anggaran yang bersifat mutlak.

Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat. Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kemaslahatan masyarakat –termasuk penanggulangan wabah–, maka wajib diadakan negara.

Bila dari pemasukan rutin tidak terpenuhi, diatasi dengan pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.

Inilah gambaran prinsip sahih Islam, pelaksanaannya secara kafah oleh khilafah akan menyelesaikan secara sistemis dan segera berbagai persoalan hari ini, sebagai keberkahan yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al A’raf [7]: 96).

________________________________________
[1] https://coronavirus.jhu.edu/map.html.

[2] https://www.weforum.org/agenda/2020/03/todays-who-briefing-eaa3d34289/

===
Sumber: https://www.muslimahnews.com/2020/04/03/wabah-covid-19-dunia-butuh-otoritas-kredibel-who-dan-ihr-2005-bertanggung-jawab-atas-meluasnya-wabah/