-->

Limbah Medis COVID-19, Bahaya Laten yang Menghantui Masyarakat

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengatakan limbah medis yang dihasilkan dari penanganan pandemi COVID-19 potensial menimbulkan masalah. Jika limbah tidak dikelola sesuai prosedur, maka ada potensi virus menyebar ke warga terutama para pemulung. 

Saat ini banyak rumah sakit yang belum memiliki teknologi pengelolaan limbah medis bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memadai, kata Bagong. Mereka lantas menggunakan jasa pihak ketiga. Dari pihak ketiga inilah biasanya limbah 'bocor'. "Banyak pihak ketiga izinnya diragukan. Sampah yang harusnya diangkut ke lokasi pembakaran malah dipilah-pilah dulu karena masih punya nilai ekonomis," kata Bagong saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/4/2020) lalu. 

Persoalan bertambah runyam karena limbah medis COVID-19 juga mungkin berasal dari rumah-rumah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang melakukan karantina mandiri. Limbah medis ini, contohnya masker, botol obat, dan tisu tercampur dengan sampah rumah tangga biasa saat dibuang. "Enggak ada pemilahan sehingga enggak ketahuan. Pas pengangkutan enggak ada pemilahan juga," kata Bagong. 

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Sekjen IESA) Lina Tri Mugi Astuti mengutip laporan Kementerian Kesehatan pada November tahun lalu, menyebut ada 296 ton limbah medis per hari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik. Tidak semua dapat mengelola limbah sendiri. "Dari 2852 rumah sakit, baru 96 yang punya insenerator, itu pun di beberapa rumah sakit sudah tidak laik operasional," kata Lina dalam diskusi online bertajuk Aspek Penting Pengelolaan Limbah Medis di Era Covid-19, Rabu (1/4/2020) lalu. Insenerator adalah alat yang dapat membakar sampah sampai habis. 

Meraup Untung dari Limbah Medis yang Berbahaya Sementara Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan total fasyankes yang mempunyai izin pengolahan limbah B3 ada 85, tersebar di 20 provinsi. 82 unit pengolahan menggunakan insenerator dan sisanya memanfaatkan autoklaf. Sebagian lainnya mengandalkan badan usaha pengolah limbah medis. Lina menyebut badan usaha yang mengelola limbah medis B3 baru ada lima di Jawa dan satu di Kalimantan, dengan kapasitas pengolahan sebanyak 151,6 ton per hari. Ringkasnya, kata Lina, pada kondisi normal saja "Indonesia masih memiliki permasalahan pengelolaan limbah medis." Lina lantas mengatakan saat ini belum ada data peningkatan limbah medis karena COVID-19. 

Namun, merujuk simulasi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, akan ada 600 ribu orang positif COVID-19 yang bakal menghasilkan limbah baru. Sementara studi kasus Cina, Lina bilang rerata pasien terinfeksi menyumbang 14,3 kilogram limbah medis per hari. Di sana limbah medis yang semula 4.902 ton/hari menjadi 6.066,8 ton/hari setelah COVID-19 menyerang 81 ribu orang. 

Direktur RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril mengakui peningkatan limbah medis setelah COVID-19 memang cukup signifikan. RSPI adalah salah satu rumah sakit rujukan pandemi. Mereka memiliki insenerator sendiri. "Rerata satu pasien konfirmasi positif menghasilkan 20 limbah APD (alat pelindung diri). Cukup banyak APD yang digunakan untuk merawat pasien diruang isolasi," kata Syahril, juga dalam diskusi online. APD, yang kini langka, hanya dapat dipakai satu kali. Ia harus dibuang setelah digunakan untuk merawat pasien isolasi. Limbah APD yang RSPI hancurkan pada Februari sebanyak 130 kilogram, kata Syahril, dan Maret lalu meningkat jadi 500 kilogram. 

Rumah sakit melakukan pembakaran setelah menyimpan APD selama 2x24 jam. Surat Edaran Terbaru Untuk menangani persoalan ini, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah Infeksiksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). 

Selain mengatur bagaimana limbah yang berasal dari fasilitas kesehatan, peraturan ini juga berisi sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam menangani limbah yang berasal dari rumah tangga. Pemerintah misalnya meminta sampah-sampah jenis ini dipisahkan. Pemerintah juga meminta masyarakat menggunakan masker yang dapat dicuci untuk mengurangi timbunan sampah masker. 

Menurut Lina, peraturan ini pada dasarnya baik, tapi akan kedodoran dalam hal implementasi. Sulit memastikan aturan-aturan tersebut ditegakkan, terutama di lingkup paling kecil: rumah tangga. "Sosialisasi [ke masyarakat] saja belum cukup. 

Perlu diikuti langkah nyata oleh pemerintah perihal teknis, mulai dari pemilahan hingga pengolahan," kata Lina. Hal serupa diungkapkan Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari Puput TD Putra, bahwa masalahnya akan ada pada implementasi. Buktinya, sebelum ada COVID-19, Puput mengatakan timnya pernah menemukan sampah medis di tempat pembuangan akhir di Karawang, Bogor dan Bekasi. 

Oleh karena itu saat ini perlu dipastikan perjalanan limbah medis dari rumah sakit dan rumah ODP/PDP ke tempat penghancuran atau pembakaran. "Untuk apa aturan bagus jika tidak ditegakkan sanksinya? Ini menjadi persoalan baru," kata Puput kepada reporter Tirto.[tirto.id]