-->

Laki-laki Pemimpin Wanita (Part 1)

Oleh : Siti Rahmawati 

Penamabda.com- Pada tahun pertama pernikahan, mereka tampak sangat bahagia. Meskipun terkadang beberapa riak-riak kehidupan sempat mampir di dalamnya. Adalah  Ahmad seorang pemuda yang ideologis, tampak jiwa kepemimpinannya, tegas tetapi penyayang. Pria idaman sang istri bernama Siti, yang berjiwa keibuan, lembut, dan sangat patuh pada suami dan orang tua. Di suatu malam yang santai, sambil menyantap makan, terdengar obrolan mereka. 

"Bi, kalau seorang istri belum berhijab, yang berdosa suami atau ayahnya?" tanya istri. 
"Yaa... Mungkin suami lah Mi. Kan tanggung jawab sudah beralih," jawab suami asal karena belum ngaji. 

Pernyataan tersebut terjawab dalam firman Allah SWT, 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)." (QS An-Nisa'[4] : 34)

"Emang kenapa Mi, Umi kan uda pake kerudung? " tanya suami dengan santai.

"Iya sih Bi. Tapi kan masih buka-tutup Bi.  Pake celana juga, masi pake kardigan. Umi kan butuh rok panjang, baju lengan panjang dan beberapa kerudung tambahan juga Bi. Uangnya dari mana?" protes istri sambil nyengir kuda. Eehh, tapi gak mirip kuda yaaa. . . Begitulah pengetahuan awam tentang berhijab oleh istri. 

Perintah wanita supaya berjilbab dalam firman Allah SWT, 
"Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka ….” (QS. An-Nuur: 31)

"Emang kenapa Mi? Kok mau menutup diri sebegitunya. Kan sudah cukup asal pake kerudung." tanya suami sambil mencuci tangan. 

"Yaa, ingin lebih baik ja Bi. Masa seperti nona-nona cantik begitu. Kan kita uda dewasa Bi, uda jadi orang tua dari anak kita." jawab istri bijak. 

"Ya Mi. Kerja dulu cari uang, buat beli keperluan Umi yang baru," jawab suami enteng.
Tanpa sadar obrolan mereka terdengar sedikit-sedikit sampai ke ruang tengah, tepat saat kedua orang tua Siti sedang menonton televisi. 

" Anak kita, ternyata sudah dewasa ya Pak." komentar ibu Siti tanpa mengalihkan pandangan dari layar kaca televisi. 

"Ya Bu, anak kita memang dari dulu seperti itu," jawab ayahnya sambil berkaca-kaca mengenang masa-masa kecil hingga kini, dimana anak perempuan satu-satunya yang sudah beralih pertanggungjawaban terhadap anaknya itu  darinya kepada suami anaknya. 

Dan malampun semakin larut, hingga mereka beralih ke peraduannya  masing-masing.

===

Tahun kedua pernikahan. Setelah di karuniai seorang anak, maka kebutuhan rumah tangga mereka juga bertambah. Ahmad yang pekerjaannya hanyalah buruh bertani yang kadang ramai orang mempekerjakannya, kadang juga sepi. Sedangkan, tanamannya di sawah sendiri juga harus menunggu beberapa bulan terlebih dahulu untuk panen. Meskipun ada beberapa macam tanaman seperti padi, jeruk, dan juga kadang jagung, tetap saja merasa kurang dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan istrinya, Siti, juga tidak bisa membantu mencari nafkah karena harus mengurus rumah dan bayinya. Memang seperti itulah sejatinya perempuan, sebagai ummun wa robbatul bayt (ibu dan manajer rumah tangga), yang senantiasa harus dijaga oleh dirinya sendiri, dijaga pula oleh suaminya, dan juga dijaga oleh negara. Jangan sampai aktifitas utama ini menjadi terabaikan dan teralihkan seperti menyeret perempuan ke dalam pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. 

"Bi, Umi cari kerja lagi ya seperti dulu, boleh? " tanya Siti pada suaminya. 
Siti teringat masa-masa sebelum menikah dan di awal pernikahan dia, dua tahun silam. Ia bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta. Dengan jarak yang cukup jauh dari rumah, ia telateni demi memperoleh penghasilan untuk dirinya dan sedikit membantu orang tuanya. Saat sudah menikah, juga untuk membantu memenuhi kebutuhan keluargakeluarga barunya. Pekerjaan yang tidak mudah ia peroleh, karena harus melamar kesana kemari, ke beberapa sekolah  terlebih dahulu. Hingga harus berhenti bekerja setelah melahirkan putri pertamanya. 
Dan kini, setelah merasa kebutuhan semakin meningkat dan penghasilan kurang memenuhi, ia merasa ingin membantu suaminya mencari nafkah. 

"Jangan Mi! Urus saja anak kita di rumah, biar Abi ja yang bekerja." jawab Ahmad. "Setiap hari sibuk dengan mengurus anak, mengurus Abi, dan mengurus rumah, itu semua juga kan pekerjaan Mi," sambungnya. 

Tujuan seorang wanita dinikahi adalah untuk melestarikan keturunan, dan pesan inilah yang hendak disampaikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 1:
"Wahai manusia bertaqwalah kepada Robbmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya berkembangbiaklah laki-laki dan perempuan. Dan Allah menjadikan bagi kamu dan diri kamu istri-istri dan menjadikan bagi kamu dari istri-istrimu anak-anak dan keturunan."

"Ya Bi, Umi manut aja." jawab Siti. 

===

Memasuki tahun ketiga pernikahan. Karena kebutuhan rumah tangga yang semakin bertambah, juga karena keinginan untuk membuat rumah sendiri maka, mau tidak mau harus memutar otak bagaimana caranya untuk menambah penghasilan. Hingga terpikir oleh Ahmad untuk bekerja ke luar Negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia. 

Setelah melalui diskusi panjang dengan istrinya, Siti, akhirnya mereka sepakat kalau Ahmad bekerja sebagai TKI. Akan tetapi, sebelum berangkat harus membayar sejumlah uang terlebih dahulu. 30 juta untuk 2 orang dengan kakaknya, tidak lah sedikit. Dengan bantuan orang tuanya, akhirnya mereka peroleh sejumlah uang tersebut. Kemudian dibayarkan kepada sponsor PJTKI. Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, nasib itu tak dapat diubah sebelumnya oleh karena nasib adalah rahasia Allah bagi manusia. Sponsor tersebut telah menipu dan membawa lari uang tersebut. Sudah menjadi qadha Allah, manusia hanya bisa sabar menghadapi cobaan dan ridha terhadap qadhaNya. 

Allah berfirman yang artinya,
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan juga kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutuan Allah, gannguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (TQS. Ali 'Imran [3]:186) 

"Gimana Bi? Kita ini masih bakal, baru  dalam meniti kehidupan berumah tangga, kenapa cobaan begini besarnya?" tanya Siti sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. 
"Sabar Mi. Bukankah orang sabar itu di sayang Allah!" jawab Ahmad. 

Sabar terhadap cobaan dan qadha adalah sesuatu yang akan menuntun menuju sikap konsisten, bukan sikap yang labil. Sabar yang akan mendorong untuk senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran, bukan melemparkannya dengan dalih beratnya cobaan. Sabar seperti ini adalah sabar yang akan semakin menambah kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya, bukan semakin jauh. Allah berfirman yang artinya, 
"Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (TAS. al-Anbiya [21]:87) 

"Ya Bi." jawab Siti sambil menyandarkan tubuhnya pada bahu suaminya. 

Bersambung..