-->

Keberadaan Staf Khusus Perlu Dihapus

Di tengah hiruk-pikuk penanganan wabah korona, masyarakat dikejutkan dengan peredaran surat dari staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) Andi Taufan Garuda. Foto/SINDOnews

DI TENGAH hiruk-pikuk penanganan wabah korona, masyarakat dikejutkan dengan peredaran surat dari staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) Andi Taufan Garuda. Surat yang mengatasnamakan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia itu ditandatangani Andi. Surat bernomor: 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 tertanggal 1 April 2020 itu terkait kerja sama sebagai Relawan Desa Lawan Covid-19, yang ditujukan kepada camat di seluruh wilayah Indonesia.

Adalah hal yang aneh, tidak lazim, dalam sistem administrasi negara bahwa staf khusus langsung mengirimkan surat ke kecamatan. Tak hanya itu, dalam surat tersebut Andi juga menyebutkan terkait dengan program Relawan Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi itu, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) akan berpartisipasi dalam menjalankan program tersebut di area Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.

Petugas lapangan Amartha akan berperan aktif memberikan edukasi kepada masyarakat di desa, khususnya mitra Amartha. Adapun materi edukasi meliputi tahapan gejala, cara penularan, serta pencegahan Covid-19 sesuai protokol kesehatan dan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Yang menjadi persoalan, Amartha yang merupakan perusahaan teknologi finansial peer-to-peer lending adalah perusahaan yang didirikan Andi.

Sontak, hal ini membuat publik bereaksi sebab sudah pasti terjadi konflik kepentingan. Reaksi keras bahkan datang dari mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif. Laode mengaku geram melihat ulah Andi menyurati camat demi kepentingan perusahaan pribadi.

Laode menyebut Andi memanfaatkan kesempitan untuk keuntungan pribadi dan perbuatan yang dilakukannya penuh kepentingan. Laode pun meminta Andi mundur dari staf khusus Presiden Jokowi.

Bukan kali ini saja, staf khusus yang disebut dari kalangan milenial itu pernah membuat blunder yang meresahkan masyarakat. Staf khusus lainnya juga melakukan hal yang sama. Angkie Yudistia misalnya pernah dikritik masyarakat karena postingan di sosial medianya yang menyebutkan bahwa untuk mendeteksi virus korona dalam waktu 10 detik.

Masyarakat juga menyoroti staf khusus lainnya yakni Adamas Belva Syah Devara. Penyebabnya, perusahaan yang didirikan Belva yakni Ruang Guru melalui Skill Academy mendapatkan proyek pelatihan online untuk program Prakerja yang dicanangkan oleh pemerintah. Nilai program itu sendiri mencapai Rp5,2 triliun. Sebenarnya tak hanya Ruang Guru yang terlibat di dalamnya. Namun, masih ada tujuh perusahaan lain yakni Mau Belajar Apa, Pijar Mahir, Tokopedia, Bukalapak, Sisnaker, Sekolahmu, dan Pintaria.

Namun, keterlibatan Ruang Guru sebagai satu dari delapan digital platform mitra Kartu Prakerja berpotensi conflict of interest . Sebab, Belva yang merupakan staf khusus Presiden Jokowi masih menjabat sebagai CEO Ruang Guru. Pemerintah juga tidak transparan dalam proses pemilihan mitra kerjanya.

Sejak dilantik untuk periode kedua, Presiden Jokowi mengangkat beberapa staf khusus baru. Termasuk tujuh orang dengan sebutan staf khusus milenial. Presiden Jokowi telah memberikan penugasan khusus kepada tujuh staf milenialnya. Tugas tersebut adalah membantu merumuskan konsep Kartu Prakerja dan penanaman ideologi Pancasila. Kewenangan staf khusus ini sekadar memberi masukan atau gagasan inovatif dalam mendukung program-program pemerintah. Mereka tidak akan ikut mengeksekusi program tersebut.

Namun, kenyataannya, staf khusus yang berusia belia ini terlihat tidak memahami tugas dan fungsi sebagai staf khusus. Padahal, mereka digaji dari pajak rakyat sebesar Rp51 juta per bulan. Jauh lebih besar dari gaji menteri yang hanya mencapai Rp18,64 juta per bulan.

Dengan gaji dari pajak rakyat sebesar itu, seharusnya staf khusus diberikan tugas dan beban kerja yang lebih besar. Untuk penanaman ideologi Pancasila misalnya, sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sementara masukan-masukan lainnya terkait dengan kinerja pemerintahan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang merupakan lembaga pemerintah nonstruktural Indonesia yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.

Belum saatnya anak-anak tersebut mendapatkan posisi penting di dalam penyelenggaraan negara. Perlu sosok-sosok yang lebih serius dan visioner dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi bangsa ini ke depan.

Tidaklah cukup menjadikan ketenaran seorang anak muda sebagai tolok ukur sebuah sumber daya manusia yang kompeten. Apalagi, sosok-sosok yang dianggap tenar tersebut tidak bekerja sendirian dalam mengembangkan jenis usahanya sehingga menjadi populer. Karena itu, alangkah baik dan bijak apabila keberadaan staf khusus milenial ini dihapus. Selain bisa mengurangi beban negara dari pembayaran gaji bulanan dan fasilitas lainnya, pemerintah juga bisa menjaga integritas dari kemungkinan-kemungkinan penyimpangan atau ketidaktaatan aturan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut. [sindonews]