-->

Jaring Pengaman Sosial, Efektif Cegah Penyebaran Covid-19?



Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)

Penamabda.com - Niat pemerintah dengan jaring pengaman sosial sebagai solusi bagi masyarakat terkena dampak Covid-19 harus terus kita kawal, mengingat berbagai program bantuan pemerintah sebelumnya masih memiliki kekurangan misalnya penerima bantuan yang tidak tepat sasaran dan saat Pandemi saat ini, mekanisme penyaluran pun perlu diperhatikan dengan tidak memfokuskan pada satu titik lokasi pendistribusian, mengingat pemberlakuan physical distancing. Berbeda dengan sebelum Pandemi, saat Pandemi pemerintah pun tidak boleh lupa bahwa masyarakat sudah tidak memiliki penghasilan untuk membayar rumah kontrakan/ kostnya. Ini juga harus dipenuhi, mengingat pemenuhan sandang, pangan dan papan yang layak bagi masyarakat merupakan kewajiban pemerintah.

Dilansir dari suarasurabaya.net (31 Maret 2020), Presiden, Joko Widodo dalam keterangan pers secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, mengatakan bahwa pemerintah fokus pada penyiapan bantuan pada masyarakat lapis bawah. Pada kesempatan itu, Presiden mengumumkan enam program jaring pengaman sosial dalam upaya menekan dampak Covid-19.

“Pertama, PKH jumlah penerima dari 9,2 juta jadi 10 juta keluarga penerima manfaat, besaran manfaatnya dinaikka 25 persen.  Misalnya ibu hamil naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp 3 juta per tahun, disabiltas Rp 2,4 juta per tahun dan kebijakan ini efektif April 2020,” kata Presiden.

Kebijakan kedua, soal kartu sembako, dimana jumlah penerimanya akan dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat dan nilainya naik 30 persen dari Rp 150 ribu menjadi Rp 200 ribu dan akan diberikan selama sembilan bulan.

Program ketiga, kartu prakerja yang anggarannya dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun.  “Jumlah penerima manfaat menjad 5,6 juta orang, terutama ini untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak Covid-19 dan nilai manfaatnya adalah Rp 650 ribu sampai Rp 1 juta per bulan selama empat bulan ke depan,” katanya. 

Selanjutnya, keempat, terkait tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 VA yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan akan digratiskan selama tiga bulan kedepan, yaitu April, Mei dan Juni 2020.  Sementara untuk tarif pelanggan 900 VA yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen atau membayar separuh saja untuk April, Mei dan Juni 2020.

Kelima untuk mengantisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangkan dana Rp 25 triliun untuk operasi pasar dan logistik.

Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek online, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit dibawah Rp 10 miliar.

“OJK telah menerbitkan aturan mengenai hal tersebut dan mulai berlaku April ini.  Telah ditetapkan tidak perlu datang ke bank atau perusahaan leasing cukup melalui email atau media komunikasi digital seperti WA, saya rasa itu,” katanya.

Program Jaring Pengaman Sosial Cuma Gimik di Tengah Covid-19

Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), sepakat program yang dipamerkan Jokowi itu hanya gimik.  “Ini modifikasi kampanye dengan data yang masih berantakan,” kata Bhima.
Selain data yang berantakan, menurut Bhima, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah Covid-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, ada 115 juta orang kelas menengah Indonesia yang masuk kelompok rentan miskin.  Kelompok ini bisa dengan mudah turun kelas menjadi miskin karena wabah Covid-19.

Disisi lain, program gratis listrik masih bolong, misalnya Hendro Pentung, pengemudi Ojek Online asal Semarang, sejak Pandemi Covid-19, penghasilannya turun 80 persen dari biasanya. Kini sehari ia hanya mendapatkan Rp 40 ribu dan sebelum Pandemi bisa mendapatkan Rp 200 ribu sehari. Dengan penghasilan sebesar itu dirinya harus membayar tagihan listrik 1.300 VA.  (tirto.id/8/4/2020)

Meneladani Kezuhudan Khalifah Umar dalam Menghadapi Musibah

Pada saat kota Madinah ditimpa Paceklik dan kelaparan, Umar Al Khatthab bersumpah untuk tidak memakan mentega, susu atau daging sampai rakyatnya dapat tetap hidup. Paceklik pada tahun itu sangat parah, sehingga jika angin berhembus, seakan angin menerbangkan debu seperti abu (ramad).  Karenanya, tahun itu disebut tahun Ramadah (penuh abu).

Pada saat terjadi lonjakan harga mentega di pasar, Umar ra hanya memakan minyak.  Perutnya pun keroncongan. Umar berkata pada perutnya, “Keronconganlah sesukamu, engkau tidak akan memakan mentega hingga masyarakat juga memakannya”.

Sikap Amirul Mukminin Umar, sudah selayaknya menjadi teladan bagi para pemimpin muslim di negeri Kapitalis saat ini, baik pemimpin negara maupun pemimpin daerah. Jika ada masyarakatnya yang belum mendapatkan bantuan karena alasan human dan system error atau apa pun itu, tidak mustahil gaji mereka harus dihibahkan untuk masyarakat.

Selain itu andai saja saat ini sistem Islam telah diterapkan, tentunya kas Baitul Mal (kas negara) akan mencukupi pemenuhan sandang, pangan dan papan masyarakat yang terkena dampak Corona. Semoga saja sistem Islam akan kembali tegak, sehingga solusi ekonomi dampak Covid-19 terpenuhi, termasuk tidak akan ada lagi bermunculan penyakit Covid lainnya. 

Wallahu’alam bishowab[].