-->

Herd Immunity Dipilih, Bukti Pemerintah Tak Peduli

Oleh : Rutin (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Penamabda.com - Di tengah desakan publik agar pemerintah lebih tegas dalam mengendalikan sebaran virus corona dengan kebijakan karantina wilayah, disisi lain Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa virus akan mereda ketika masuk musim kemarau/panas, pernyataan inipun dibenarkan oleh kepala BMKG dan pejabat lainnya.

Padahal, Situs BBC Indonesia.com menyebut teori soal pengaruh cuaca terhadap ketahanan hidup virus corona belum benar-benar terbukti. Para pakar sudah mewanti-wanti untuk tidak terlalu berharap virus ini akan musnah pada musim panas. Walhasil pernyataan Luhut mendapat kecaman publik. Dari pernyataan Luhut ini, dapat indikasikan arah kebijakan pemerintah yang lepas tanggung jawab. Patut diduga, pemerintah dalam hal ini akan menerapkan Herd immunity.

Menyoal Herd Immunity

Herd Immunity atau kekebalan kelompok merupakan kondisi dimana wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Sehingga virus akan sulit menemukan inang untuk tumbuh dan berkembang. 

Agar kelompok memiliki kekebalan, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen dengan cara vaksinasi atau membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit secara alami. Kekebalan kelompok dari infeksi alami berisiko menimbulkan sakit parah bahkan kematian. 

American Heart Association bahkan mengatakan pemulihan infeksinya memakan waktu lama hingga hitungan bulan bahkan tahunan. Di tahun 1918-1920 sebanyak 50 juta kematian terjadi diseluruh dunia akibat pandemi flu yang menerapkan herd immunity.

Penyebaran infeksi ke kelompok berisiko tinggi tak bisa dibatasi. Beberapa orang yang terinfeksi akan mengembangkan penyakit sangat parah, dan sebagian akan mati, ungkap Paul Hunter, seorang profesor kedokteran dari Universitas East Anglia, Inggris.

Sedangkan vaksinasi meminimalisir risiko tersebut karena patogen telah dilemahkan, diuji coba, dan terjamin aman. Dengan vaksinasi, penyebaran infeksi kepada kelompok berisiko bisa ditekan dengan memilih kelompok kuat untuk dijadikan populasi kebal. Namun perlakuan ini belum bisa diterapkan untuk kasus COVID-19 karena vaksinnya belum ditemukan.

Kekebalan dari Infeksi Alami Bukan Pilihan
Populasi untuk kekebalan kelompok pada tiap penyakit berbeda persentasenya. contohnya, satu orang dengan campak bisa menginfeksi 20 orang lainnya. Jika ingin mencapai kekebalan kelompok cakupan target vaksinnya harus mencapai 95 persen. Contoh lain untuk setiap orang dengan infeksi gondongan bisa menularkan virus kepada 10-12 orang lain. Kekebalan kelompok bisa dibentuk asal 92 persen populasi kebal. Sementara flu rata-rata hanya menginfeksi 1,3 orang, sehingga kekebalan kelompoknya cukup hanya 25 persen saja.

Sedangkan Infeksi SARS-CoV-2 pada satu orang diperkirakan dapat menular kepada 2-3 orang lain. Rata-rata algoritma kekebalan kelompoknya harus mencapai 50-67 persen populasi. Dengan jumlah penduduk 271 juta jiwa (proyeksi 2020), Indonesia perlu membuat 182 juta rakyatnya terinfeksi dan membentuk herd immunity.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk lansia di Indonesia berkisar 10 persen yang diasumsikan harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa. Itupun belum termasuk kelompok rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, dll. 

Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang terinfeksi. Jadi, kekebalan infeksi alami bukan pilihan yang tepat.

Adapun pilihan langkah untuk menekan jumlah orang yang terinfeksi adalah dengan cara menciptakan jarak interaksi dan mengurangi kontak langsung. Pola interaksi semacam ini harus terus dipertahankan sampai wabah usai atau vaksin ditemukan. 

Pemimpin Kapitalis Vs Pemimpin Islam 

Fakta yang terjadi ditengah-tengah kita, pemerintah tengah lalai dengan segala kebijakannya dan lepas tanggung jawab dari penanganan masalah kompleks yang dihadapi rakyat. Ini membuktikan, Pemerintah kapitalis gagal menjadi pelindung keselamatan jiwa rakyat. 

Berbeda dengan Indonesia, Dr Kidong Park, perwakilan WHO di Vietnam, mengatakan keberhasilan Vietnam adalah buah usaha pemerintah proaktif dan konsisten. Dua pekan setelah kasus COVID-19 pertama kali diumumkan, Kementerian Kesehatan Vietnam langsung melarang sekitar 10 ribu penduduk Son Loi keluar rumah selama 20 hari. Sekolah diliburkan, melarang konsumsi hewan liar dan menghentikan impor. Di waktu bersamaan pemerintah meningkatkan pengawasan intensif, pengujian laboratorium, memastikan pencegahan dan pengendalian infeksi dan manajemen kasus di fasilitas kesehatan, serta memberikan komunikasi risiko, dan kolaborasi multi-sektoral. Berbeda dengan sikap pemerintah Indonesia, karantina hanya diserahkan daerah masing- masing tanpa menerapkan Lockdown dari pusat. Bahkan mengizinkan aktivitas mudik. 

Bagaimana jika sosok pemimpinnya memiliki kesadaran tinggi dan kepedulian tinggi kepada rakyatnya dibawah naungan sistem Islam? Masya Allah sungguh akan tenteram, aman, dan sejahtera sebuah negeri. 

Dalam buku The Great leader of Umar bin Khaththab, diceritakan bahwa ketika terjadi krisis, Khalifah Umar radhiyallahu anhu melakukan beberapa hal berikut:

1. Ketika krisis ekonomi, Khalifah Umar memberi contoh terbaik dengan cara berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya. 

2. Membangun posko-posko bantuan.

3. Ketika ada musibah, Khalifah semakin mendekatkan diri kepada Allah, meminta pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala Pemilik alam dan seisinya.

4. Memenuhi kebutuhan makanan rakyat yang membutuhkan sepanjang masa musibah.

5. Tatkala menghadapi situasi sulit, Khalifah Umar bin Khaththab meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberi bantuan. Bukan berhutang ribawi pada IMF seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. 

6.  Menghentikan sementara hukuman bagi pencuri ketika terjadi bencana.
Adapun tentang proyeksi kemampuan keuangan negara hari ini, jika dilakukan kebijakan lockdown untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19 yang sudah meluas, maka, misal jika penduduk Indonesia 275 juta orang dengan kebutuhan sekitar Rp.30.000 sampai Rp.50.000 per hari per orang, alokasi dana per hari sekitar Rp 8,3 triliun sampai Rp 13,75 triliun. Jika lockdown dilakukan dalam 14 hari, dana yang dibutuhkan dari kas keuangan negara sebesar Rp 116,6 triliun sampai Rp 192,5 triliun.

Hal itu belum termasuk perhitungan fakta bahwa ada angka jumlah individu rakyat yang kaya yang tidak membutuhkan pembiayaan tersebut. Dan adanya sistem subsidi dari rakyat yang mampu. Alokasi perhitungan pendanaan kebutuhan pokok di saat lockdown yang kurang dari 200 triliun rupiah, sangat mampu dicover oleh keuangan negara hari ini. Jadi, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memberlakukan lockdown. 

Semua ini membukakan mata hati dan pikiran umat bahwa penguasa Negara Demokrasi memang tidak akan pernah tulus menyayangi rakyatnya. Justru dalam peradaban Islamlah, Khalifah mampu meriayah dan akan menempatkan diri sebagai junnah (perisai) rakyat. [PM]