-->

Hati-Hati! Tikus Berdasi Tunggangi Bang Napi


Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

"Jadi Pak Menteri yang terhormat, supaya kita tidak curiga macam-macam, coba dibuka dulu ke publik, narapidana kasus korupsi apa dan di mana yang menempati sel berdesak-desakan seperti napi umum pencuri ayam yang bahkan tidurnya harus bergantian? Oh ya, sekalian kalau memang mau cek lapas koruptor, titip cek lagi sel Papa Setya Novanto dan kawan-kawannya di Sukamiskin, masih di sel lagi nonton Netflix atau lagi plesiran makan di warung Padang?”

Ini adalah kutipan dari video Najwa Shihab yang ditayangkan di Narasi TV. Pernyataan ini merupakan protes terhadap kebijakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang akan membebaskan napi koruptor.

Sebelumnya, diberitakan CNN Indonesia (02/04/2020), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Hal ini untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Yasonna merinci setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

Salah satunya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan, sebanyak 300 orang.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis daftar narapidana kasus korupsi yang kemungkinan bebas bila Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly benar-benar merevisi Perppu tersebut. Ada nama koruptor kasus kakap yang berpotensi bebas, di antaranya, terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto; dan mantan Hakim Konsitusi, Patrialis Akbar (tempo, 03/04/2020).

Kebijakan Nyeleneh dan Penumpang Gelap

Pembebasan narapidana (napi) dengan alasan mencegah penyebaran virus corona di lapas merupakan kebijakan nyleneh. Saat ini rakyat sedang diperintah untuk di rumah saja, tapi napi justru dibebaskan. Ini merupakan kebijakan cuci tangan pemerintah dalam menangani corona.

Jika masalahnya adalah kondisi lapas yang overkapasitas, negara seharusnya mencari tempat untuk menampung para napi tersebut dan memungkinkan physical distancing. Bukan malah membebaskan para napi yang berpotensi meningkatkan kriminalitas di masa krisis ekonomi seperti sekarang.

Overkapasitas lapas seharusnya membuat pemerintah berpikir ulang tentang sistem sanksi yang efektif. Saat ini semua tindak kriminalitas mayoritas berujung sanksi penjara, akibatnya lapas penuh. Hukuman penjara juga tak menjerakan.

Berbeda dengan sistem sanksi dalam Islam yang memiliki bentuk hukuman yang menjerakan. Misalnya potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan disengaja, rajam bagi pezina muhshan, jilid bagi pezina ghairu muhsan, dll.

Alasan overkapasitas lapas hanyalah upaya cuci tangan rezim untuk menghindari kewajiban politik mengurusi rakyatnya. Rezim diuntungkan dengan pembebasan 30.000 napi karena bisa menghemat pengeluaran negara sebesar Rp260 miliar.

Tapi para bramacorah atau residivis berkeliaran di jalan. Sudahlah nyawa rakyat tak aman karena rezim lamban menangani corona, kini rakyat pun merasa tak aman karena napi dibebaskan, meski diklaim sebagai “warga binaan”.

Tak hanya nyeleneh, kebijakan pembebasan napi juga disinyalir membawa penumpang gelap. Momen ini dimanfaatkan untuk membebaskan napi koruptor. Rezim boleh saja mengelak tapi jejak digital mencatat, upaya pembebasan para tikus berdasi sudah dilakukan berkali-kali.

ICW menyebut Yasonna sudah empat kali mencoba membebaskan napi korupsi melalui PP yang ada. Revisi PP tersebut merupakan agenda lama yang terus diupayakan Yasonna guna memberikan keringanan terhadap narapidana korupsi (CNN Indonesia, 04/04/2020).

Upaya pembebasan koruptor ini membuktikan bahwa negara tidak bekerja untuk rakyat, tapi untuk kepentingan para elite. Di tengah duka mendalam atas wafatnya para pasien dan dokter akibat corona, penguasa sibuk mencari keuntungan. Memanfaatkan kesempatan untuk meraih tujuan pribadi.

Lantas, rakyat masih diminta hormat dan taat? Rakyat sudah urunan mandiri untuk menghadapi corona, ternyata masih ditikung dengan membebaskan perampok uang rakyat. Sungguh terlalu!

Belakangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tidak semua napi koruptor akan bebas. Kriteria tersebut yakni terkait usia napi yang lebih dari 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Pertimbangannya adalah kemanusiaan, karena daya imunitas tubuh yang berusia di atas 60 tahun sudah lemah (kompas.com, 04/04/2020).

Ah, rasanya rakyat sudah hapal dengan praktik silat lidah seperti ini.

Rakyat sudah cerdas, tak mudah ditipu dengan narasi manis yang ujungnya prank! Jika rakyat tak nyinyir di media sosial tentang isu ini, apa yang akan terjadi? Mungkin seperti iklan jamu: “Bablas kasuse…”

Penguasa Cuci Tangan, Amanatkan pada Khilafah Saja

Rakyat seharusnya sadar, sejak awal wabah ini masuk Indonesia, penguasa enggan mengurusi rakyatnya. Awalnya bilang virus corona tak akan masuk Indonesia, begitu virus masuk malah jadi bahan candaan. Ketika jumlah pasien meroket, malah sibuk bangun ibu kota baru.

Ketika APD langka, malah minta donasi pada rakyat. Menjanjikan subsidi untuk rakyat, ternyata duitnya ngutang. Mau membangun rumah sakit khusus corona, lokasinya jauh dari pasien. Kini napi dibebaskan, koruptor dibiarkan melenggang.

Berkali-kali rakyat dikecewakan dan bahkan dibohongi. Penguasa medhot janji, rakyat tidak diurusi. Plin-plan kebijakan terus terjadi. Krisis kepemimpinan menjadi-jadi. Inilah saat bagi rakyat untuk introspeksi. Masihkah sistem korup ini layak diberi hati? Ataukah sudah waktunya diganti dengan sistem yang terbukti menepati janji?

Khilafah terbukti berhasil mengatasi wabah sebelum menjadi pandemi. Dengan lockdown dan jaga jarak, wabah teratasi. Rakyat selamat, pemimpin pun dicintai. Khalifah Umar bin al Khaththab dan Gubernur Amru bin Ash adalah tamsil keberhasilan mengatasi wabah yang tercatat dalam histori.

Menggratiskan pangan dan layanan kesehatan, tidak minta donasi. Pentingkan nyawa manusia daripada ekonomi. Apalagi memikirkan proyek infrastruktur yang pelakunya elu lagi-elu lagi.

Merekalah pemimpin yang selamat saat yaumil hisab nanti. Pemimpin seperti ini yang kita butuhkan saat ini. Jadi, tunggu apa lagi? Khilafah adalah solusi saat ini, jangan tunggu nanti. Jangan sampai makin banyak korban lagi.

Karena pemimpin yang abai, sibuk pencitraan diri, sampai lupa rakyatnya sekarat setengah mati. Ah, benarlah, kita butuh khilafah saat ini. Bukan rezim yang memelihara tikus berdasi. Ih, ngeri! Wallahu a’lam bishshowab.

Sumber : MuslimahNews.com