-->

Ekspektasi dan Realitas di Balik Janji Pemerintah

Oleh: Chusnatul Jannah

Presiden Jokowi telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi dampak pandemi corona bagi ekonomi, sosial, dan kesehatan. Virus covid-19 yang sudah menginfeksi lebih dari 200 negara ini memang menjadi momok menakutkan bagi perekonomian dunia.

Sekelas negara super power dan digdaya seperti AS dan Cina dibuat kewalahan menghadapi makhluk kecil tak terlihat ini. Covid-19 telah berhasil memorakporandakan tata kehidupan global di era kapitalisme.

Di Indonesia, kasus positif Covid-19 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Per 4 April 2020, pasien terkonfirmasi positif corona telah menembus lebih dari 2.000 kasus. Di antara kebijakan yang dikeluarkan Presiden adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan Keppres No. 21 Tahun 2020 tentang status darurat kesehatan masyarakat.

Sebagaimana yang dikutip dari suara.com, 1/4/2020, berikut jurus-jurus Jokowi dalam mengatasi pandemi Corona di Indonesia.

Pertama, meningkatkan jumlah penerima dan besaran bantuan Program Keluarga Harapan. Jumlah keluarga penerima akan ditingkatkan dari 9,2 juta (keluarga penerima manfaat) menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat. Sedangkan besaran manfaatnya akan dinaikkan 25 persen, misalnya komponen ibu hamil naik dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp3 juta per tahun, komponen disabilitas Rp2,4 juta per tahun dan kebijakan ini efektif mulai (bulan) April 2020.

Kedua, kenaikan penerima Kartu Sembako. Jumlah penerima akan dinaikkan dari 15,2 juta penerima menjadi 20 juta penerima manfaat dan nilainya naik 30 persen dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu dan akan diberikan selama 9 bulan.

Ketiga, menaikkan anggaran Kartu Pra Kerja. Anggaran Kartu Pra Kerja naik yang semula Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Insentif juga akan diberikan pada pekerja yang terkena PHK akibat Corona sebesar Rp 1 juta per orang selama 3-4 bulan ke depan.

Keempat, penggratisan tarif listrik 450 VA. Bagi 24 juta pelanggan listrik 450 VA akan digratiskan selama tiga bulan mulai April, Mei, dan Juni. Bagi 7 juta pelanggan listrik 900 VA akan didiskon 50 persen.

Sementara untuk pelanggan PLN listrik prabayar, layanan gratis dan diskon listrik bisa didapatkan dengan dua langkah mudah, yakni lewat situs web www.pln.co.id dan WhatsApp ke nomor 08122-123-123 ( listrik gratis PLN).

Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, sampai saat ini token listrik gratis masih belum bisa diklaim melalui WhatsApp. Ini karena PLN dan Facebook (pemilik WhatsApp) masih menyelesaikan persiapan, terutama terkait kapasitas server. (Kompas, 5/4/2020).

Kelima, mencadangkan anggaran kebutuhan pokok sebesar Rp 25 triliun. Keenam, memberi keringanan pembayaran kredit. Hal ini berlaku bagi para pekerja informal, baik itu ojek online, sopir taksi, dan pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), nelayan dengan penghasilan harian, dengan kredit di bawah Rp10 miliar.

Ketujuh, penyesuaian tarif PPh yang diatur dalam Pasal 5 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dengan rincian, “Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 dan tarif pajak sebesar 20% yang berlaku pada Tahun Pajak 2022.”

Jurus Jitu untuk Pandemi, Efektifkah?

Dari berbagai jurus yang disampaikan pemerintah, sekilas nampak ada angin segar bagi rakyat bawah. Seperti layanan gratis listrik selama tiga bulan yang mungkin menjadi oase di tengah seretnya ekonomi akibat pandemi. Atau kelonggaran kredit bagi pekerja informal seperti driver ojol.

OJK bahkan mengeluarkan aturan untuk menindaklanjuti kebijakan Jokowi. Telah ditetapkan prosedur pengajuannya tanpa harus datang ke bank atau perusahaan leasing, cukup melalui email atau media komunikasi digital seperti WA (WhatsApp).

Benarkah semudah itu? Faktanya, masyarakat banyak yang mengeluh dengan prosedur tersebut. Keringanan kredit yang dijanjikan Jokowi tak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa ojek online mengaku mengalami kendala dalam mengakses keringanan kredit yang dijanjikan pemerintah.

Seorang ojek online bercerita soal mekanisme pengajuan keringanan kredit yang tak jelas dan berbeda-beda tiap bank atau perusahaan pembiayaan. Ibarat kata, janji sudah dibuat, tapi realisasi tak kunjung memberi kepastian.

Dalam kebijakan tersebut, memang benar terkesan sangat prorakyat. Namun, selepas meneken ketiga peraturan tersebut, sudahkah pemerintah memikirkan mekanisme dan prosedur penerapannya. Bagaimana penyaluran bantuan, insentif, dan sebagainya itu bisa tepat sasaran?

Dari hulu hingga hilir benar-benar memastikan bahwa rakyat mendapat hak tersebut, sudahkah itu dipikirkan mekanismenya? Sebab, terkadang, atau bisa dikatakan seringkali, selepas menetapkan kebijakan, pemerintah seperti tutup mata dengan hiruk pikuk dan keribetan masyarakat dalam meminta realisasi janji tersebut. Pada akhirnya, pelaksanaan amburadul, rakyat gigit jari, dan berakhir dengan kekecewaan lagi.

Tak dipungkiri, kepemimpinan Jokowi mulai diragukan publik. Kinerja para menteri mulai dipertanyakan. Kepercayaan masyarakat mulai luntur sebagai efek dari pandemi corona. Dari corona kita bisa melihat dan mengukur sejauh mana kepemimpinan era Jokowi berpihak pada kepentingan rakyat.

Sejak wabah ini muncul, sikap pemerintah sudah bikin geleng kepala. Tak mau mengambil opsi lockdown, tak ingin gunakan istilah karantina wilayah, tapi memakai pembatasan sosial berskala besar untuk mengurangi dampak ekonomi negara.

Banyak pihak menilai kebijakan PSBB yang ditetapkan hanyalah akal-akalan pemerintah yang tak mau membiayai hidup masyarakat bila diterapkan karantina wilayah. Berlepas diri dari tanggung jawab.

Wabah apa pun itu, jika sudah pandemi, pastinya berdampak pada perekonomian. Hal itu semestinya dipahami betul oleh pemerintah. Dan semestinya pemerintah juga memiliki perangkat aturan cara mengantisipasi. Sayangnya, saat Covid-19 mewabah, Pemerintah justru salah langkah.

Pemberian insentif, penggratisan listrik, atau pengurangan kredit sejatinya tak akan efektif mendongkrak ekonomi rakyat. Antara masalah dan solusi tak sinkron. Masalahnya wabah, solusinya semestinya bagaimana mencegah wabah itu bertambah, bagaimana masyarakat bisa hidup di tengah penerapan social atau physical distancing, dan bagaimana perekonomian di wilayah lain tak mandek.

Imbauan jaga jarak saja tak cukup bila negara tak memberi jaminan kehidupan selama pembatasan sosial berlangsung. Mereka hanya butuh kepastian pemerintah menjamin keberlangsungan hidup mereka.

Jika pemerintah hanya memberi perintah tapi tak jelas protap pelaksanaannya, maka janji itu mungkin saja hanya untuk menaikkan citra yang sebenarnya sudah luntur sejak corona “datang” ke Indonesia.

Langkah Jitu Islam Tangani Wabah

Islam memiliki seperangkat kebijakan yang mampu mengatasi wabah sekaligus meminimalisasi dampak ekonomi. Dalam Islam, kesehatan dan keamanan sama pentingnya dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Saat wabah terjadi, inilah yang akan dilakukan negara Islam (Khilafah) mengatasi wabah yang terjadi:

1) Pertama, penerapan karantina wilayah.

Islam akan memetakan daerah mana saja yang memiliki dampak terberat, sedang, hingga ringan. Jika daerah tersebut memiliki dampak terbesar, maka lockdown (karantina wilayah) wajib dilakukan.

Yang sakit diisolasi secara medis. Yang bergejala mengisolasi diri dengan didampingi tenaga medis. Warga diluar wilayah terdampak tak boleh masuk, warga yang di dalam wilayah terdampak tak boleh keluar. Sebagaimana contoh lockdown yang pernah diterapkan di masa Khalifah Umar bin Khaththab.

Semua akses dari luar ditutup agar wabah tak makin meluas. Baik akses transportasi maupun akses publik lainnya. Lalu bagaimana masyarakat yang di-lockdown di wilayah itu? Negara akan membiayai hidup mereka selama penerapan karantina wilayah?

Semua pembiayaan itu diambil dari baitulmal (kas negara). Jika karantina lebih dini diterapkan, kasus Corona mungkin tak akan meluas seperti sekarang.

2) Kedua, fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai.

Segala fasilitas kesehatan seperti APD, masker, tenaga kesehatan yang profesional wajib disediakan negara. Negara wajib membangun rumah sakit, sekolah kedokteran, perawat, apoteker, apotek, klinik, laboratorium dan sebagainya yang mendukung pelaksanaan layanan kesehatan secara layak kepada masyarakat.

Negara juga membangun pabrik yang memproduksi alat-alat kesehatan dan obat-obatan. Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis tanpa memandang status sosialnya. Baik kaya maupun miskin. Bukan malah dikapitalisasi sebagaimana yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Sebab, layanan kesehatan adalah hal yang wajib dilaksanakan negara sebagai pelaksana urusan umat.

Semua biaya itu bisa diambil dari baitulmal yang berasal dari kekayaan milik negara dan kepemilikan umum. Dengan begitu, saat wabah melanda, negara siap dengan segala mekanismenya.

3) Ketiga, edukasi yang menyeluruh.

Edukasi dalam hal ini adalah kepastian bagi rakyat mendapat makanan yang halal lagi baik. Bukan sembarang makanan. Islam mengajarkan memakan makanan yang halal dan thayyib.

Dalam hal ini, negara juga memberikan edukasi dan informasi benar mengenai pencegahan penyakit dari hulu hingga hilir. Dengan keimanan dan ketakwaan yang terbangun, setiap musibah semisal wabah dapat dilalui tanpa kepanikan dan kebingungan terhadap qadha yang Allah tetapkan.

4) Keempat, upaya menciptakan obat dan vaksin.

Penghargaan Islam terhadap ilmu sangat luar biasa. Dorongan kemaslahatan ilmu demi umat akan mendorong ilmuwan menciptakan obat dan vaksin bagi penyakit. Tentu saja hal itu juga didukung peran negara.

Negara mendorong para ilmuwan, dokter, dan kalangan profesional untuk membuat obat bagi masyarakat. Bukan sedikit-sedikit impor obat. Negara secara mandiri membangun fasilitas yang dapat mendukung percepatan penyembuhan terhadap penyakit.

Semua itu tak akan terwujud tanpa pemberlakuan sistem Islam secara menyeluruh. Kas negara yang bersumber dari kepemilikan umum juga kepemilikan negara berupa kekayaan alam misalnya tak akan terkumpul selama ekonomi kapitalisme masih diterapkan.

Kosongnya keuangan negara saat ini lantaran kebijakan neoliberal terhadap kekayaan dan aset strategis negara. Negara kehilangan kemandirian ekonomi serta otoritasnya sebagai negara berdikari.

Segala aset diobral. Kekayaan alam dijual ke kaum kapital. Negara hanya menjadi penerima utang dari negara besar. Tak ayal, untuk sekadar menangani wabah saja negara kalah cepat dengan gerakan swadaya masyarakat.

Corona sejatinya membawa pesan tersirat. Wajah kapitalisme ternyata tak mampu menghadapi dampaknya. Negara adidaya pun tak kuasa menahan ganasnya wabah. Kedigdayaan ideologi kapitalisme tetiba runtuh karena corona.

Dari corona kita bisa belajar, sistem kehidupan yang ditopang kapitalisme liberal tak memberi kebaikan. Dari corona pun kita belajar. Bumi sedang berbenah. Masyarakat ‘dipaksa’ sadar. Penguasa bak ditampar.

Tak ada kebaikan bila terus menentang aturan Tuhan. Inilah yang mungkin bisa disebut sebagai resesi ideologi hari ini. Dan hal ini menjadi momen melakukan revolusi ideologi. Pada saatnya nanti Islam kembali membumi. Memberi rahmat ke seluruh negeri. Ya, masa Khilafah kedua yang dijanjikan sesuai metode Nabi.


Sumber : MuslimahNews.com