-->

Darurat Sipil, Darurat Kesehatan, atau Darurat Kepemimpinan?


Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat terkait wabah virus corona (Covid-19) di Indonesia.

Kendati demikian, Jokowi juga menyiapkan kebijakan darurat sipil untuk dipakai dalam keadaan abnormal atau luar biasa. Jokowi sudah memutuskan opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait pandemi virus corona di Indonesia (detik.com, 1/4/2020).

Sehari sebelumnya, masyarakat dihebohkan dengan pernyataan pemerintah yang akan memberlakukan darurat sipil. Berbagai penolakan pun muncul. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Jokowi tak mengenakan darurat sipil.

Koalisi menilai pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat sipil atau darurat militer. Pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran (cnnindonesia.com, 31/3/2020).

Negara Abai, Rakyat Bingung

Sebelum mengumumkan pemberlakuan kedaruratan kesehatan, pemerintah telah mengajak masyarakat melakukan pembatasan sosial (social distancing). Istilah social distancing kemudian diubah menjadi physical distancing, alasannya karena ‘kurang bagus’.

Dan kini, pemerintah memutuskan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Berdasarkan kondisi kedaruratan kesehatan, pemerintah pusat juga dapat menetapkan karantina wilayah. Jika terjadi keadaan yang abnormal, pemerintah menyatakan akan menetapkan darurat sipil.

Pernyataan dan penggunaan istilah yang berubah-ubah ini tentu membingungkan masyarakat. Padahal, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam menangani wabah sudah diatur secara jelas dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Tuntutan berbagai pihak agar pemerintah melakukan karantina wilayah alias lockdown juga sudah sesuai dengan UU tersebut. Namun, pemerintah justru menyampaikan secara sepotong-sepotong sehingga membingungkan masyarakat.

Seharusnya kondisi kedaruratan kesehatan ditetapkan sejak awal, lengkap dengan opsi PSBB dan karantina wilayah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena sama-sama sesuai dengan amanat UU. Namun, anehnya pemerintah tetap menegaskan menolak karantina wilayah.

Sikap ini tak sesuai dengan UU. Opsi ini pula yang diminta oleh banyak pihak untuk segera dipilih oleh pemerintah. Namun, pemerintah bergeming. Faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama. Akibatnya, negara abai terhadap nyawa rakyat.

Rezim Otoriter?

Munculnya opsi darurat sipil untuk kasus wabah corona justru tak sesuai dengan UU. Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, maksud darurat sipil adalah apabila negara terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang, perkosaan wilayah, atau negara dalam bahaya. Hal ini tak sesuai dengan kondisi wabah corona.

Dikhawatirkan rezim akan bertindak otoriter karena sebagaimana dilansir cnbcindonesia (31/3/2020) pemerintah menegaskan tidak akan ragu mengambil tindakan hukum apabila masih ada masyarakat yang abai terhadap keputusan menerapkan darurat sipil.

Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun mengatakan, Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya merupakan Perppu yang isinya akan membuat kekuasaan menafsirkan secara subjektif otoritarian, dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.

Pasal 17 Perppu 23/1959 menerangkan bahwa hak penguasaan darurat sipil yang sangat otoriter dan melakukan kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan (rmol.id, 31/3/2020).

Pemberlakuan darurat sipil bukanlah solusi untuk melindungi rakyat dari penyebaran corona, tapi justru merampas hak-hak rakyat. Ini seolah membawa Indonesia ke zaman orba di mana setiap orang dan media yang melakukan kritik pada penguasa berujung hukuman. Sungguh ngeri!

Darurat Kepemimpinan

Berbagai perubahan istilah dan pernyataan ini mengindikasikan pemerintah tak siap menghadapi wabah Covid-19. Kebijakan pemerintah tidak sistematis, bahkan terkesan galau.

Adanya opsi darurat sipil dan ditolaknya karantina wilayah merupakan bentuk abainya pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnya selama masa darurat kesehatan masyarakat. Sebab, berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, selama masa karantina, kebutuhan masyarakat sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.

Jika memberlakukan karantina wilayah, pemerintah diharuskan oleh UU untuk memperhatikan hak-hak masyarakat. Salah satu yang paling utama adalah pemenuhan hak masyarakat atas kebutuhan dasar, yakni kecukupan terhadap pangan. Hal itu telah diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Di dalam aturan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 dikatakan seluruh pangan dan bahkan makanan ternak, dengan asumsi orang yang berternak, harus dipenuhi oleh pemerintah. Undang-Undang juga telah mengatur sejumlah hak lain yang seharusnya didapat masyarakat.

Misalnya, hak untuk diberikan penjelasan sebelum karantina wilayah, hak isolasi dan mendapat rujukan perawatan rumah sakit jika positif Covid-19, dan hak diberi ganti rugi kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda akibat upaya penanggulangan wabah.

Ada pula hak untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan atau diturunkan dari posisinya, hak diikutsertakan secara aktif menanggulangi wabah, hingga hak pemulihan kondisi dari dampak.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 48e ada hak perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu bayi, balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, disabilitas, dan orang lanjut usia.

Untuk memenuhi semua hak ini tentu butuh upaya serius dari pemerintah. Namun, sikap rezim telah jelas sejak awal yaitu menjalankan negara ini secara autopilot. Rezim lamban menyikapi corona dan bahkan terkesan meremehkan.

Rezim mencukupkan diri dengan social distancing yang sifatnya imbauan, bukan sikap tegas negara. Ketika seruan lockdown/karantina wilayah menggema di seantero nusantara, rezim bergeming. Jadilah rakyat, relawan, dan pemda bergerak sendiri tanpa komando dari pusat.

Akhirnya publik menyimpulkan, pusat tetap menolak karantina wilayah karena tak mau terbebani tanggung jawab untuk memberi makan rakyatnya. Melihat kondisi ini, jangan-jangan yang terjadi saat ini adalah darurat kepemimpinan. Kita butuh pemimpin yang peduli pada kesehatan dan nyawa rakyat.

Lockdown ala Khilafah Melindungi Rakyat

Sikap penguasa ini berbanding terbalik dengan kebijakan khilafah dalam menangani wabah. Kebijakan khilafah untuk mengatasi wabah bisa diringkas sebagai berikut:

- Mengisolasi wilayah yang terkena wabah. Penduduk wilayah tersebut dilarang keluar, sementara penduduk luar wilayah dilarang masuk.

- Di dalam wilayah wabah diberlakukan social distancing agar orang sakit tidak menulari orang sehat. Orang sakit dilarang hadir salat jamaah di masjid. Orang sehat boleh hadir salat jamaah di masjid. Masjid tetap dibuka.

- Pemeriksaan kesehatan untuk memastikan orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang sakit dirawat di rumah sakit dengan kualitas layanan terbaik di dunia. Orang sehat didorong melakukan pola hidup dan pola makan yang sehat agar tidak tertular penyakit.

- Negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang diisolasi/dikarantina. Baik sandang, pangan, kesehatan, dan keamanan.

- Semua biaya untuk kebijakan di atas berasal dari kas negara/baitulmal. Negara membolehkan jika ada individu kaya yang memberi sedekah, namun negara tidak bergantung padanya.

- Negara menyeru rakyat untuk bertakwa, melakukan amar makruf nahi mungkar, menjauhi maksiat dan memperbanyak taqarrub ilallah. Ini sebagai upaya tobat untuk mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.

- Dalam kondisi wabah demikian berat, militer bisa diterjunkan untuk menjaga keamanan dari pihak-pihak yang berniat buruk. Polisi bisa diterjunkan untuk membantu distribusi makanan dan obat-obatan pada rakyat.

Adanya militer dalam khilafah untuk mewujudkan keamanan bagi rakyat, bukan untuk menakut-nakuti rakyat dan menimbulkan kengerian. Wabah masih menyebar, rakyat justru ditambahi beban ketakutan. Sungguh zalim! [MNews]

Sumber : https://www.muslimahnews.com/2020/04/02/darurat-sipil-darurat-kesehatan-atau-darurat-kepemimpinan/