-->

Agenda AS dibalik Penghapusan Indonesia Sebagai Negara Berkembang

Oleh: Ninik Rahayuningtyas (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan dengan pernyataan Amerika Serikat yang menaikkan status Indonesia menjadi Negara Maju. Melalui Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat ( AS) atau Office of the US Trade Representative (USTR), AS telah mencabut preferensi khusus untuk daftar anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) termasuk Indonesia dalam daftar negara berkembang sejak 10 Februari 2020. (kompas.com)

Dalam Countervailing Duty Laws atau Undang-undang Bea Masuk Tambahan, USTR diberi kewenangan untuk mendefinisikan, memasukkan, dan mengeluarkan negara dalam kelompok berkembang. (cnnindonesia.com). Melalui lembaga ini Indonesia menyandang status baru sebagai negara maju versi Amerika Serikat. Bersama dengan 127 negara lain, termasuk China, Thailand, Malaysia, Vietnam, Afrika Selatan, Etiopia, dan Zimbabwe, Indonesia tidak lagi disebut sebagai negara berkembang.

Amerika Serikat (AS) hanya mempertahankan 36 negara yang masuk dalam kategori negara berkembang. Di sisi lain, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang. 

Apakah Layak Indonesia Disebut Sebagai Negara Maju?

United State Trade Representative (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Menurut mereka, Indonesia sudah layak masuk dalam kelompok negara maju dalam bidang perdagangan internasional. Dua alasan utamanya, share pasar ekspornya sudah di atas 0,5 persen dan tercatat sebagai anggota G-20.(jawapos.com)

Bagi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dua indikator itu saja tidak cukup untuk menasbihkan Indonesia sebagai negara maju. Meskipun sekadar dibilang maju di bidang perdagangan. Sebab, untuk bisa disebut negara maju, ada indikator penting lain yang menjadi ukuran. Yakni, capaian pendapatan per kapita dan kesejahteraan sosial.

Ekonom senior Indef, Aviliani mengungkapkan bahwa penilaian untuk pangsa pasar ekspor Indonesia yang di atas 0,5% memang benar. Sebab saat ini posisinya sudah berada di level 0,9%. Namun untuk pertumbuhan ekonomi, menurut Aviliani lain cerita. Dengan pertumbuhan ekonomi di level 5%, angka tersebut bagi Indonesia sebenarnya masih sangat kecil. Jika diurutkan, peringkat Indonesia ada di urutan 120 dari 200 negara. Bahkan berdasarkan indikator World Bank, pendapatan per kapita Indonesia yang sebesar US$ 3.840 itu termasuk kategori kelas menengah-bawah.

Jika ditengok dari pendapatan per kapita, Indonesia masih jauh dari syarat tersebut. Bank Dunia menyebutkan indikator negara maju adalah pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar US$12.375. Sedangkan Indonesia baru mencapai US$4.174,9 per kapita pada 2019.

Investasi, Omnibus Law Dan Status Negara Maju

Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Suharso Monoarfa menyebut kebijakan AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang akan berdampak kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. (cnnindonesia.com)

Keputusan yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump tersebut, menurutnya, akan menambah beban keuangan Indonesia. Beban tersebut muncul karena kenaikan status tersebut bakal berdampak pada peningkatan tarif fasilitas pinjaman Indonesia.

Untuk itulah, ia mengatakan Indonesia harus mampu mencari peluang kerja sama ekonomi dengan negara di luar AS. Dia menyebut dengan pendapatan per kapita yang kini berada di kisaran US$4.000 per tahun, status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah memiliki peluang kerja sama dengan negara-negara di Afrika.

Apalagi sebelumnya, pemerintah sudah bersiap mengajukan dan membuat Omnibus Law untuk menggenjot investasi di Indonesia. Hal ini semakin memberikan alasan rasional agar omnibus law harus segera disahkan oleh DPR dalam waktu dekat. Sebagaimana pernyataan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani, bahwa Indonesia akan mengalami perubahan dalam bisnis internasional dengan adanya keputusan tersebut. "Dari sisi dunia usaha sudah mengantisipasi juga. Kita tahu suatu saat akan diakui sebagai negara maju," ungkap dia. Dia menambahan, Antisipasi salah satunya dengan omnibus law. Agar bagaimana meningkatkan produktivitas kita," tandas dia.(economy.okezone.com)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pemerintah akan mengajukan Omnibus Law ke DPR pada minggu ini. Hal itu disampaikan Jokowi saat menghadiri pelantikan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Masa Bakti 2019-2022 di Raffes Hotel, Jakarta, Rabu (15/1/2020). 

Omnibus Law adalah salah satu Undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa beleid bahkan puluhan aturan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut sebanyak 74 Undang-undang yang diajukan di dalam Omnibus Law. Jokowi berharap jika Omnibus Law segera diselesaikan dengan cepat, bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang signifikan. 

Seperti diketahui, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan masuk prolegnas di Januari 2020 dan dijadwalkan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (suara.com). Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini omnibus law akan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional. 

Pemerintah dan DPR akan membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU) sapu jagat yang lebih tenar dengan sebutan omnibus law. Yang pertama, RUU Ketentuan umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Pajak. Adapun yang RRU sapu jagat yang kedua ialah RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja.
Dua omnibus law ini merupakan modal utama pemerintah untuk menarik arus investasi besar-besaran. Selain menjanjikan kemudahan perizinan usaha serta memangkas birokrasi izin usaha di daerah, omnibus law menawarkan segudang insentif pajak hingga mengubah ketentuan upah, ketenagakerjaan dan pesangon karyawan.

Oleh karena itu, dua omnibus law itu akan mengubah puluhan UU yang dinilai menghambat investasi. Termasuk di antaranya mengubah UU Pajak serta UU Ketenagakerjaan. Targetnya, pembahasan kedua omnibus law tersebut  tuntas dan berlaku tahun ini.

Boleh dibilang jika kelak berlaku, inilah aturan super yang akan mengubah total lanskap perizinan investasi. Peran pemerintah pusat makin dominan, sementara perizinan investasi pemerintah daerah dibabat habis. Selain itu, dua omnibus law juga akan mengubah total aturan perburuhan dan  ketenagakerjaan yang berlaku sekarang. Mulai dari ketentuan pengupahan dan pesangon, maupun perubahan ketentuan hak dan kewajiban karyawan kontrak serta outsourcing.

Waspada Terhadap Status Negara Maju

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menduga tujuan kebijakan itu untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan AS. Mengutip CNN, neraca perdagangan AS defisit sebesar US$616,8 miliar pada 2019. Namun, angka defisit itu menyusut pertama kalinya dalam 6 tahun terakhir.
Pada 2018, defisit dagang AS melonjak dan mencatatkan rekor tertingginya dalam 10 tahun terakhir sebesar US$621 miliar. Berkurangnya angka defisit ditengarai karena kebijakan perang dagang AS dengan China. Itu membuktikan proteksi dagang AS membuahkan hasil.

Indonesia, sambung Bhima, menjadi salah satu negara yang menyumbang defisit pada perdagangan AS. Maklumlah, AS tercatat tekor US$9,58 miliar dalam perdagangan dengan RI di tahun lalu. Pada 2019, neraca perdagangan Indonesia-AS surplus 9,583 miliar dolar AS. Nilai ini naik dari tahun 2018 yang hanya berkisar 8,560 miliar dolar AS. Namun bagi AS, posisi mereka adalah defisit.

Dengan status baru sebagai negara maju versi AS itu, Indonesia bersama 126 negara lain tidak akan lagi mendapatkan perlakuan diferensial khusus (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam Kesepakatan WTO tentang Subsidi dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, diantaranya 1) pencabutan subsidi investasi; 2) subsidi input sektor agrikultur; 3) pencabutan subsidi ekspor, yang bermanfaat untuk mengurangi ongkos pemasaran produk-produknya serta; 4) pencabutan subsidi pengangkutan komoditas ekspor.
Selain dari sisi perdagangan, perubahan status menjadi negara maju membuat Indonesia kehilangan fasilitas Official Development Assistance (ODA). Melalui fasilitas ini, Indonesia sebagai negara berkembang bisa mendapatkan suku bunga rendah sebesar 0,25 persen ketika menarik pinjaman. 

Pemberian status negara maju bagi Indonesia ini lebih untuk keuntungan AS. Yakni untuk memproteksi neraca perdagangan dalam negerinya, membalikan posisi defisit perdagangan AS dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Karena itulah, Indonesia harusnya waspada dengan label-label yang terkesan menyanjung, padahal ada maksud yang disembunyikan. Status ini bisa lebih memperburuk kondisi Indonesia, karena banyak hal yang akan disesuaikan agar bisa memenuhi kriteria maju versi AS. Dan lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi korbannya. Sudah cukup negeri ini disengsarakan oleh hegemoni kapitalis Barat yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri di atas penderitaan rakyat. Status maju hanyalah akal-akalan Barat untuk menutupi kelemahan mereka.

Jika ingin menjadi negara maju, maka tinggalkan sistem kapitalisme yang telah terbukti membuat manusia sengsara dan terjerembab dalam kehancuran di segala lini kehidupan. Beralih pada sistem syar’i yang berasal dari Sang Illahi, Pencipta alam semesta dan isinya ini.