-->

Si Kaya dan Si Miskin dalam Isi Kepala Jubir Corona

Terlintas sebuah semangat solidaritas yang keluar di ujung paparan jubir COVID-19, Achmad Yurianto. “Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya.” Pada siaran langsung di BNPB, Jumat (27/3). Namun kata-kata terakhir justru menimbulkan perdebatan. Betulkan orang miskin sumber penyakit COVID-19? Ini adalah anggapan yang bias kelas, dan harus dibantah secara objektif.

Tiket pesawat ke China paling murah misalnya R 4,5 juta sekali jalan. Bagi orang miskin yang jelas untuk makan saja susah, menunggu bantuan pemerintah dan belas kasihan dari lembaga sosial, apalagi memesan tiket pesawat macam Garuda Indonesia.

Faktanya, bos Garuda Indonesia sendiri yang mengatakan secara gamblang bahwa muncul keanehan ketika negara seperti Singapura sudah membatasi penerbangan, dan menerapkan karantina bagi WNA pendatang, justru tiket pesawat menuju Singapura menjadi penuh. Kemungkinan besar jubir COVID-19 dan pembantunya tak menyiapkan salinan informasi dari Garuda Indonesia. Ini artinya penyebaran COVID-19 dilihat dari data kelas sosial, lebih disebabkan kaum urban menengah atas, yang kerap susah disuruh lockdown di rumah masing-masing.

Sayangnya logika pemerintah untuk mengurus kaum papa di Indonesia bisa dibilang terbolak-balik.

Jelas sudah bahwa logika kelas dalam perspektif solidaritas salah total. Penyebar utama Covid-19 bisa sampai ke Indonesia adalah golongan elit, sebagian pejabat, dan orang-orang kaya yang hobinya travelling keluar negeri. Maka imbauan Jubir COVID-19 perlu dilengkapi lagi yaitu “si kaya juga jangan malah ke luar negeri, lalu bawa virus ke Indonesia, kasihan yang miskin sudah sengsara, tambah dibuat sengsara oleh si kaya.”
Ilustrasi virus corona
Ilustrasi virus corona. Foto: NEXU Science Communication/via REUTERS
Sayangnya logika pemerintah untuk mengurus kaum papa di Indonesia bisa dibilang terbolak-balik. Misalnya terkait stimulus ekonomi, paket pertama tidak nyambung sama sekali ketika membahas diskon tiket pesawat, dan dana influencer. Berlanjut ke paket kedua, soal banyak sekali insentif fiskal yang diberikan kepada perusahaan kakap. Sebelum ada COVID-19, sebagai catatan pemerintah memberikan insentif fiskal, tercatat dalam belanja pajak mencapai Rp 221 triliun. Walaupun hasilnya belum juga dirasakan ke serapan tenaga kerja dan pertumbuhan industri, bisa dikatakan banyak pajak yang dinikmati orang-orang kaya pemilik pabrik.


Negara lain sudah sibuk untuk melakukan terobosan dan solidaritas. Dimulai dari puncak pimpinan, seperti di Korea Selatan, Presiden Moon Jae-in dengan tegas memangkas 30% gajinya. Pemerintah Singapura memangkas gaji untuk diberikan pada petugas medis. Menyusul baru-baru ini, pemerintah Malaysia mendonasikan dua bulan gajinya untuk COVID-19 fund. Cukup aneh, apabila belum ada kesadaran dari pejabat, staff ahli Presiden, Direksi-Komisaris BUMN dan anggota dewan untuk melakukan hal serupa.


Oleh karena itu, sesat berpikir Jubir COVID-19 merupakan puncak gunung es dari kebijakan pemerintah yang bias kelas. Di bawah gunung es, terdapat kerak-kerak ketimpangan yang sebelumnya tersembunyi. COVID-19 hanya membuka tabir ketimpangan kata Owen Jones, dalam artikel tajamnya berjudul “We’re about to learn a terrible lesson from coronavirus: inequality kills” di laman The Guardian.