-->

Menangani Corona Butuh Pemimpin Negarawan dan Sistem yang Benar

Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

Tagar #IndonesiaNeedLeader menjadi trending topic twitter akhir pekan ini. Gara-garanya adalah langkah pemerintah dalam menangani Covid-19 yang dinilai lamban. Bahkan beberapa pejabat publik melontarkan pernyataan yang terkesan meremehkan bahaya virus corona.

Mulai dari minum jamu, minum susu kuda liar, makan nasi kucing, hingga corona bisa sembuh sendiri. Pemerintah bahkan lebih sibuk mengurusi sektor pariwisata. Bukan sibuk menyelamatkan nyawa rakyatnya. Padahal setiap hari update pasien corona menunjukkan peningkatan signifikan. Ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif corona, barulah pemerintah terhenyak.

Untuk menangani corona, pemerintah menyerukan untuk melakukan social distancing, yaitu menjaga jarak. Rakyat diminta menghindari kerumunan dan bepergian. Tetap tinggal di rumah, belajar dan beribadah di rumah.

Namun, banyak pihak menilai anjuran ini tak cukup. Harus ada langkah tegas, yaitu isolasi atau lock down terhadap wilayah yang terdeteksi ada pasien corona. Jika hanya meliburkan sekolah, ternyata masih banyak orang yang kesadarannya rendah yang justru jalan-jalan di mal dan tempat wisata. Sehingga seharusnya tempat wisata dan mal juga ditutup.

Butuh Satu Komando

Penanganan corona memang bukan hanya beban pemerintah. Semua komponen masyarakat harus ikut andil menjadi bagian dari solusi. Namun, masyarakat tak boleh dibiarkan bertindak sendiri, mengingat beragamnya pengetahuan masyarakat.

Pemerintah harus bersikap sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) untuk menyelesaikan masalah corona. Negara tak boleh menjadi autopilot, di mana rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri-sendiri. Fenomena panic buying akhir-akhir ini membuktikan bahwa masyarakat bergerak sendiri mencari solusi.

Hasilnya adalah kekacauan. Hoaks bertebaran di mana-mana, berita simpang siur mengenai corona ditransmisikan via media sosial. Rakyat makin bingung. Sikap pemerintah pusat yang tak segera melakukan lock down akhirnya membuat para kepala daerah menetapkan lock down lokal.

Itu pun tidak total. Beberapa gubernur dan bupati/walikota meliburkan sekolah selama 14 hari, menutup tempat wisata, dan membatalkan aneka kegiatan di luar ruangan. Sayangnya, masing-masing kepala daerah seolah bekerja sendiri-sendiri. Pemerintah pusat justru menyerahkan keputusan pada daerah.

Padahal penanganan corona tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Butuh kerja sama semua pihak di bawah satu komando kepemimpinan. Sehingga penetapan hari libur sekolah dan lock down bisa berjalan efektif. Namun penguasa yang bisa memimpin dengan benar haruslah yang bermental negarawan, bukan sekadar politisi karbitan, apalagi petugas partai.

Seperti apa sosok pemimpin negarawan?

Memiliki visi misi yang mendunia.

Saat ini pergerakan manusia demikan masif. Jutaan orang lalu lalang antar negara setiap harinya. Ini mempercepat penyebaran covid-19 yang di akhir tahun 2019 masih di Wuhan, kini menyebar ke seantero dunia.

Pemimpin Indonesia harus bisa membaca peta politik internasional ini. Termasuk bagaimana sikap negara besar seperti Amerika Serikat (AS), negara-negara Eropa, Jepang, dan Cina dalam menyikapi corona. Trump telah mengumumkan darurat nasional untuk AS. Cina telah lebih dulu melakukan isolasi terhadap Provinsi Hubei yang Wuhan menjadi ibu kotanya.

Rasulullah SAW dan para khulafa’ur rasyidin mencontohkan, meski saat mereka memimpin umat Islam masih kecil wilayahnya, namun pandangannya level internasional. Meski tinggal di Arab, para sahabat banyak berdiskusi dengan Rasulullah SAW tentang persaingan antara Romawi di Barat dan Persia di Timur. Ketika tahu ada wabah di wilayah lain, Rasulullah SAW menyerukan pada umat Islam untuk menjauhi wilayah itu.

Berpikir cepat, bertindak tepat, dan bersikap tegas.

Penyebaran virus corona sangat cepat. Setiap hari ada penambahan pasien baru.  Seorang negarawan harus mampu berpikir dan bertindak cepat, sekaligus tepat. Pemimpin tak boleh berpikir lambat, yang berakibat jumlah korban makin banyak. Apalagi sampai menunggu arahan pembisik di sekitarnya.

Dalam kitab Ash-Shahihain diceritakan, suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab ra mengunjungi negeri Syam. Dia kemudian  bertemu dengan Ubaidah bin Al-Jarrah dan sahabat-sahabat yang lain. Dalam perbincangannya, mereka melaporkan kepada Umar, bahwa di Negeri Syam sedang diserang wabah kolera.

Perdebatan di antara mereka cukup hangat seputar masalah ini. Amirul Mukminin segera mengumpulkan para sahabat, bermusyawarah dan memutuskan untuk kembali ke Madinah.

Negarawan harus memiliki ketakwaan yang tinggi sehingga mampu menjaga suasana iman ada di tengah masyarakat.
Bekal utama untuk melawan penyakit adalah akidah, yakni yakin bahwa setiap penyakit ada obatnya, yakin Allah SWT adalah Yang Maha Menyembuhkan, yakin takdir Allah SWT pasti baik, dan tetap memaksimalkan ikhtiar untuk kesembuhan.

Ibnu Katsir pernah meriwayatkan sebuah peristiwa bencana penyakit menular pada tahun 478 Hijriah (1085 Masehi) terjadi di era Kekhalifahan Abbasiyah. Kala itu negeri muslim dilanda demam dan wabah lainnya terkhusus di Iraq, Syam, dan Hijaz. Penyakit itu digambarkan bisa menyebabkan kematian tiba-tiba.

Di masa-masa genting itu, Khalifah Al Muqtadi Billah mengeluarkan perintah kepada seluruh jajaran gubernur dan umat Islam pada umumnya setelah mengadakan ikhtiar pengobatan dan evakuasi, agar juga menegakkan perkara makruf dan sama-sama memerangi kemungkaran di setiap desa dan kota.

Kemudian mengadakan agenda menghancurkan tempat-tempat maksiat, membuang khamr dan mengeluarkan para ahli maksiat besar dari negeri muslimin. Setelah perintah itu dilaksanakan oleh segenap rakyat, wabah sakit dan musibah bencana alam tersebut teredam (Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, 11/140)

Pemimpin tak boleh bersikap meremehkan terhadap urusan apa pun.
Apalagi terhadap corona yang telah ditetapkan menjadi pandemik dunia. Ketika terjadi wabah kolera di Syam, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk tidak ke Syam dan kembali ke Madinah. Amirul Mukminin tidak meremehkan penyakit yang terjadi di Syam, meski tidak terjadi di Madinah.

Menjadi Raa’in (pengurus umat).

Dalam kondisi normal, pemimpin harus menjadi pengurus rakyat. Dalam kondisi darurat, lebih-lebih lagi. Pemimpin harus optimal dalam mengurusi rakyat, bekerja siang malam demi mencukupi kebutuhan rakyat. Pemimpin tak boleh bersikap sebagai pedagang yang selalu menggunakan hitung-hitungan untung rugi materi ketika mengurusi rakyatnya.

Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah seorang pemimpin yang membaktikan seluruh waktunya untuk rakyat. Tiap malam beliau patroli hingga pelosok kampung untuk memastikan semua rakyatnya hangat dan kenyang sehingga biasa tidur nyenyak. Sang khalifah sendiri jarang tidur. Saking lelahnya beliau kadang tertidur di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi.

Itulah sebagian gambaran sosok pemimpin negarawan. Rakyat bisa menilai sendiri, sudahkah para pemimpin Indonesia bermental negarawan? Sudahkah mereka mencurahkan segenap daya upaya untuk mengatasi corona? Ataukah justru menjadikan corona bahan guyonan dan lebih mementingkan pariwisata?

Maka jelas, untuk mengatasi corona, selain butuh pemimpin negarawan, Indonesia juga butuh sistem yang benar. Yakni sistem politik yang menempatkan syariat Islam kafah sebagai solusi atas semua masalah, termasuk corona.

Juga sistem ekonomi yang benar yakni yang mendayagunakan semua potensi ekonomi (baik berupa fai’ dan kharaj, dharibah, infak rakyat dan utang syar’i ke warga negara yang kaya) untuk mengatasi corona.

Negara menggratiskan semua layanan kesehatan, mulai dari deteksi, perawatan, hingga obat-obatan. Negara juga mendakwahkan pola hidup bersih dan sehat melalui sistem pendidikan dan infokom. Penerapan syariat kafah ini hanya bisa dilakukan oleh khilafah. Bukan yang lain. 

Sumber : https://www.muslimahnews.com/2020/03/17/menangani-corona-butuh-pemimpin-negarawan-dan-sistem-yang-benar/