-->

Khilafah, Junnah Penghantar Jannah


Oleh: Chusnatul Jannah

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Mengutip penjelasan Ustaz Yuana Ryan Tresna di mediaumat.news, frase “Imam” dalam hadis ini bermakna al-Khalifah. Al-Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah berkata, “Al-Imamah adalah pembahasan tentang Khilafah Nubuwwah untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengannya.”

Maka wajar ketika al-Imam al-Mula Al-Qari di dalam Mirqât al-Mafâtiih menjelaskan makna imam di dalam hadis ini dengan mengatakan imam yang dimaksud adalah al-Khalifah atau Amirnya. Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Imam atau Khalifah tidak sama dengan sebutan Presiden, Perdana Menteri, Raja, atau sejenisnya. Sebab, Imam atau Khalifah adalah istilah syar’i yang bertolak belakang dengan istilah pemimpin dalam sistem demokrasi, parlementer ataupun monarki.

Berbicara Khalifah, maka juga bersinggungan pula dengan sistem yang diterapkan Khalifah, yaitu Khilafah. Tiada Khalifah tanpa Khilafah. Tiada Khilafah tanpa syariah. Tiada Junnah tanpa ukhuwah.

Hari ini, tepat 3 Maret 1924, Sang Junnah luluh lantak di tangan Mustafa Kemal Ataturk. Sejak itu pula duka mendalam menyelimuti umat. Tak nampak lagi kekukuhan institusi penjaga tiga masjid suci, Makkah al Mukarromah, Madinah al Munawaroh, Al Aqsa yang mulia. Setidaknya, peristiwa besar yang begitu memilukan umat Islam tersebab karena dua hal:

Pertama, lemahnya pemahaman Islam kaum muslimin. Lemahnya pemahaman ini dipicu karena ada upaya menjauhkan Islam dengan bahasa Arab. Padahal, kekuatan pemahaman umat terletak pada dalamnya pemikiran mereka tentang syariat dan alat yang melengkapinya, yakni bahasa Arab.

Ditambah masuknya tsaqofah asing dan serang misionaris, sempurnalah kelemahan itu. Kaum muslim tak lagi mampu membedakan mana tsaqofah yang bertentangan dengan Islam. Hal itu diperparah dengan upaya mengganti Undang-Undang syariah dengan kodifikasi hukum ala Barat.

Kedua, kekalahan Daulah Utsmaniyah setelah gerakan Turki Muda dan partai-partai berasas nasionalisme mulai mengemuka. Pertengahan 1876 Masehi, mereka membentuk Konstitusi Utsmani yang banyak berkiblat pada sistem pemerintahan ala Barat.

Tak hanya itu, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kaum kafir Barat membuat kekuasaan Khilafah Utsmani oleng. Di antaranya kekalahan atas Rusia yang menghasilkan perjanjian Berlin.

Kekalahan di Perang Dunia 1, peperangan Balkan, hingga persyaratan Curzon antara Inggris dan Turki. Isinya: Turki harus menghapuskan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya; Turki harus menghalangi setiap gerakan yang membela Khilafah; Turki harus memutuskan hubungannya dengan dunia Islam dan menerapkan hukum sipil sebagai pengganti hukum Utsmani yang berlandaskan Islam. Persyaratan itu ditandatangani Mustafa Kemal.

Tak lama setelahnya, 3 Maret 1824 ia mengumumkan secara resmi penghapusan Khilafah di seluruh dunia.  Mustafa Kemal Ataturk, dialah sang Jagal penghancur Khilafah. Jika dunia menyebutnya sebagai Bapak Revolusi Turki, sejatinya dialah aktor utama di balik keruntuhan Khilafah Utsmaniyah. Mengingat kembali sejarah kelam keruntuhan Khilafah adalah pelajaran penting untuk mengambil hikmah.

Khalifah dan Khilafah adalah Junnah bagi umat Islam. Khalifah adalah pemimpin pembela dan pelindung umat Islam dunia. Khilafah adalah rumah dan habitat di mana umat Islam bisa hidup sebagai khoiru ummah (umat terbaik).

Di alam demokrasi kapitalis sekuler, nasib umat terombang-ambing. Hidup dalam kemiskinan dan penjajahan. Terkungkung dalam suasana perang dan penyiksaan. Terhempas secara menyakitkan karena slogan kebangsaan.

Nasionalisme telah mengerat tubuh Khilafah menjadi lebih dari 50 negara. Berpecah belah, berbeda arah, dan mengikis habis kepedulian terhadap kondisi umat yang terpasung oleh rezim laknat. Nation state adalah konsep negara bangsa yang dihembuskan kaum kafir penjajah agar lebih mudah menguasai tanah Islam.

Tak hanya itu, sekularisasi pemikiran juga mereka tebarkan bak virus Corona yang berpandemi secara global. Menginfeksi secara cepat. Menginjeksi dalam tubuh umat. Sehingga umat antipati terhadap persatuan dan penerapan syariah secara kafah.

Hari ini hingga kini, penderitaan umat Muslim dunia kian merana. Tak tahu harus mengadu ke siapa. Pembantaian muslim India, pengusiran Rohingya dari tanah kelahirannya, penjajahan Israel atas Palestina, invasi Amerika atas Irak dan Afghanistan, Kebengisan rezim Assad atas Suriah, perebutan wilayah Kashmir, dan Penindasan Uyghur atas komunis Cina.

Umat tak berdaya. Hanya bisa bersambung doa dan langkah sosial kemanusiaan. Hanya bisa meratap memohon pada pemilik jagat. Tolonglah mereka Ya Allah. Nampak jelas, betapa Junnah itu kami butuhkan. Khalifah, dan rumah kami, Khilafah ala manhaj an nubuwwah.

Khilafah itu penjaga. Menjaga kaum muslim dari rongrongan kaum kafir. Melindungi umat manusia dari kezaliman dan kerakusan dunia. Khilafah itu rumah yang menyenangkan. Tak hanya dihuni umat Islam, tapi nonmuslim yang mau bernaung di dalamnya.

Bagi dzimmi, mereka diperlakukan sama. Sebab, Islam begitu menghargai nyawa, kehormatan, dan harta manusia. Karena misi Khilafah adalah rahmatan lil alamin. Berlaku bagi semua makhluk bumi yang Allah cipta.

Khilafah adalah penghantar Jannah. Dengannya, syariat bisa diterapkan sempurna. Meski diperintah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa. Tapi Khilafah tetaplah bersumber pada Alquran dan as sunnah. Standar hukumnya jelas, sanksinya tegas, dan melahirkan manusia-manusia cerdas dan bernas. Tidak percaya? Coba telusuri sejarah. Jas Merah! Jangan sekali-kali lupakan sejarah.

Khilafah penghantar Jannah bukan sekadar isapan semata. Dengannya, masyarakat hidup berasaskan Islam. Pergaulan lawan jenis terjaga, keluarga terlindungi, masyarakatnya bertakwa, dan pemimpinnya berkah.

Tidak seperti hari ini. Sistem kapitalisme memiskinkan masyarakat secara tersistem. Seperti lingkaran setan yang tak berkesudahan. Sistem sekuler menjauhkan manusia dari agama. Lahirlah manusia-manusia serakah, beringas, kriminal, liar, dan menjadi berhala uang.

Khilafah itu memang penghantar Jannah. Maksiat terminimalisir. Masyarakat terdorong beribadah dengan teratur. Negara hadir mencegah pelanggaran syariat Islam. Generasi pun terselamatkan. Jika penduduknya beriman dan bertakwa, bukankah semua itu menjadi penghantar Jannah bagi pemeluknya?

Khilafah itu bukan teokrasi. Khilafah bukan wakil Tuhan di mana benar salah dia yang menentukan. Khalifah adalah pelaksana syariah. Kedaulatan tetap di tangan as-Syari’, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia hanya melaksanakan apa yang Allah syariatkan. Maka ukuran benar dan salah dikembalikan pada syariah, bukan manusia.

Masih tidak percaya sang Junnah ini begitu menyejukkan bila ia hadir dalam kehidupan? Cobalah sistem Khilafah direalisasikan dan diterapkan. Segitu betahkah dengan demokrasi hingga tak berani mengambil solusi pengganti yang lebih baik?

Untuk umat Muslim dunia, Khilafah adalah kebutuhan dan rumah kita yang sesungguhnya. Untuk umat manusia, Khilafah adalah solusi bagi Anda. Khilafah adalah teladan bertoleransi. Teladan saling menghormati. Sebab, Islam tak pernah memaksakan diri.

Sepanjang sejarahnya, warga nonmuslimlah yang terpikat sendiri dengan keagungan penerapan Khilafah. Inilah saatnya. Kebangkitan Islam dan kembalinya peradaban yang memanusiakan manusia. Selamat datang Khilafah! Semoga Allah segerakan. 

_______

Sumber : MuslimahNews.com