-->

ISLAM : ASA CEMERLANG KETAHANAN KELUARGA INDONESIA

Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang)

Dalam Islam keluarga bukan saja tempat berhimpun tetapi bahtera untuk sampai ke pantai harapan menuju surga bersama-sama. Itulah mengapa lisan Nabi yang mulia menorehkan "Baity jannaty  (rumahku surgaku). Dengan kata lain keluarga merupakan unsur penting bagi tegaknya Iman, Islam dan peradaban manusia.

Pandangan Islam yang jernih ini sangat berbeda dengan Barat. Keluarga bagi peradaban Barat tak lebih dari sekedar produk sosial. Membentuk keluarga dianggap sebagai beban yang akan menambah keruwetan dalam hidup karena tidak senafas dengan semangat kebebasan yang tak terbatas.

Pengaruh pandangan barat yang rusak dan  merusak ini telah menginfeksi pada kehidupan kaum muslimin. Yang membawa umat Islam pada krisis keluarga sakinah. Keluarga muslim kesulitan untuk benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Bahkan tidak sedikit ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik. Tidak sedikit pula warga muslim yang turut goyah bahkan terguncang.

Berbagai masalah yang mendera ketahanan keluarga, menjadikan berbagai pihak terdorong turut menyelesaikan masalah ini.

Beberapa waktu yang lalu 5 anggota DPR yaitu Ledia Hanifa, Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Partai Gerindra), Ali Taher (PAN), Endang Maria (Golkar) mengajukan RUU Ketahanan Keluarga. Upaya mereka untuk mengajukan draf RUU Ketahanan Keluarga ini ternyata menuai kritik, khususnya terkait legalisasi norma-norma sosial menjadi pasal di undang-undang. Banyak pasal yang dianggap terlalu mencampuri privasi keluarga.

Sejak digulirkan ke publik, berbagai kelompok nasionalis, juga sekularis liberal, terus melakukan penolakan. Diantaranya  beberapa hal yang kritisi mereka terhadap RUU KK, yaitu: 

1) Tunggal Pawestri seorang aktifis perempuan, mencurigai upaya kelompok agama tertentu memasukkan nilai ideologi/agama (baca: Islam) ke dalam RUU KK dengan tidak lagi melihat konstitusi dan kesepakatan bersama sebagai sebuah bangsa. 

2) Kalangan aktivis perempuan menilai terjadinya pembakuan peran yang mendomestikasi perempuan. Hal ini bertentangan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan agenda internasional yang diikuti Indonesia berkaitan dengan kesetaraan, Sustainable Development Goals (SDGs).  

Mereka mengatakan, dalam Pasal 2 huruf k RUU KK diatur bahwa ketahanan keluarga berasaskan non diskriminasi. Namun, pada Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) hak dan kewajiban suami istri berbeda. Suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri hanya dalam ranah domestik seperti mengurusi urusan rumah tangga dan menjaga keutuhan keluarga.

3) Menunjuk Pasal 85-89 tentang wajib lapor bagi keluarga/individu LGBT, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan bahwa ketentuan ini sangat diskriminatif. Dia beralasan bahwa pelaku LGBT tidak boleh dibatasi atau dihukum karena orientasi seksualnya. Menurutnya, LGBT adalah orientasi seksual, bukan perilaku seksual. Sementara yang bisa dibatasi atau dihukum adalah perilaku seksualnya.

4) Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini menyebut hadirnya RUU KK ini tumpang-tindih dengan UU yang sudah ada. Menurutnya, pengaturan keluarga sudah ada dalam KUH Perdata dan UU Perkawinan. Terkait masalah anak, sudah ada di dalam UU Perlindungan Anak.  Perihal kekerasan juga sudah ada UU KDRT. Menurutnya, proses regulasi ini hanya akan membuang dana dan energi.

5) Siti Musdah Mulia bahkan mengecam RUU ini sebagai jahiliah. Pasalnya, dinilai terlalu dalam mencampuri ruang pribadi warganegara yang tidak seharusnya menjadi urusan pemerintah.  Menurut direktur eksekutif Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL), Misiyah, Campur tangan negara terhadap keluarga hanya dibutuhkan untuk perlindungan dalam rangka mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
(www.vivanews.com)

Memang harus diakui  beberapa pasal dalam RUU KK diwarnai oleh spirit menjalankan nilai-nilai Islam. Namun pada saat yang sama menjadi pasal kontroversial  yang mendapat penolakan. Pihak yang kontra sangat tidak setuju agama dibawa dalam ranah pengaturan urusan publik.

Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang menjadi usulan DPR juga ditolak Internasional For Justice Reform (ICJR). Menurut ICJR ada tiga poin soal RUU yang perlu dikritisi yaitu ; mereduksi peran agama, diskriminasi gender dan dinilai menghina kelompok tertentu. (Kompas.com).

Keluarga yang harmonis ideal dan sejahtera adalah impian setiap pasangan yang sudah menikah. Namun dalam sistem demokrasi sekuler mewujudkan hal tersebut sangatlah berat. Sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan telah memberikan banyak kesengsaraan dalam segala hal. Paham ini lahir dari keterbatasan akal manusia dan sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang akhirnya banyak melahirkan konflik. Akibat dari sistem ini, semua lini kehidupan terbelenggu berbagai krisis. Mulai dari  ekonomi, pendidikan,  sosial budaya, hingga politik dan hukum.

Pro kontra akan terus lahir dari perbedaan perspektif yang tajam tentang peran negara dan agama dalam menyelesaikan persoalan. Dan polemik ini niscaya akan terus terjadi pada bangsa yang menyepakati sekulerisasi agama dalam kehidupan.

Sesungguhnya bukanlah hal yang aneh jika setiap kebijakan dan aturan yang dibuat oleh pemerintah negeri ini menuai pro dan kontra. Mengapa demikian? Karena di negeri sekuler kapitalis aturan dilahirkan dan dibuat oleh manusia yang memiliki keterbatasan akal sehingga segala sesuatu akan dikembalikan kepada asas manfaat, berbagai kepentinganya, bahkan hawa nafsu.

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh yang berasal dari Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta. Dia adalah Allah yang Maha Mengetahui hakekat ciptaan-Nya serta hakekat baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Islam selain mencakup pemikiran dasar mengenai aspek aqidah (aspek ruhiyah/spritual) juga mengatur aspek siyasiyah (pengaturan urusan kehidupan manusia), baik dalam masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam, termasuk hukum-hukum keluarga.

Dalam Islam pernikahan dipandang sebagai ibadah terindah dan terlama yang akan menjadikan suami istri saling membantu untuk taat kepada Allah. Pernikahan dalam Islam merupakan harapan tentang siklus kehidupan  dengan terwujudnya keturunan. Harapan tentang masa depan anak yang cemerlang. Harapan tentang misi peradaban manusia. Harapan untuk saling mawaddah wa rahmah untuk menuju jalan Allah. Semua menjadi satu dalam kehidupan yang dijalani yaitu kehidupan berumah tangga.

Bagi seorang muslim mewujudkan keluarga sejati menjadi persoalan yang sangat khas, berbeda dengan pandangan penganut keyakinan diluar Islam. Pasalnya hal ini tidak bisa dilepaskan dari aspek penghambaan yang tinggi kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan dan darinya lahir keturunan keluarga. Oleh karenanya, idealisme dalam berkeluarga seharusnya didorong oleh kepatuhan terhadap semua ketentuan Allah SWT agar setiap keluarga menempati fungsinya dengan baik.

Keluarga sejati dalam Islam adalah keluarga yang mampu merealisasikan fungsi keluarga dengan baik. Setidaknya ada 8 fungsi keluarga yaitu, yaitu fungsi reproduksi, ekonomi, sosialisasi, protektif, reaktif, edukatif, dan fungsi relijius. Bila semua fungsi ini direalisasikan dengan baik oleh keluarga maka keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi kemajuan peradaban.

Keluarga muslim haruslah dibangun dengan landasan ketaqwaan kepada Allah. Artinya keluarga muslim harus dibangun dengan tujuan beribadah kepada Allah dan menjadi sarana dalam meniti tangga mewujudkan masyarakat Islam. Islam telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ikatan pernikahan, satu tahapan dalam berkeluarga. Allah SWT menyebutkan ikatan pernikahan sebagai ikatan yang kuat melalui firmannya :

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا-

Artinya: 
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat"
(QS : Annisa: 21).

Dengan ketakwaan kepada Allah SWT suami-istri akan menghargai ikatan pernikahan dan tidak mudah tergoda oleh macam-macam gangguan yang bisa meruntuhkan ikatan tersebut serta memalingkan dari tujuan berkeluarga sebagaimana yang ditentukan syariat Islam. Landasan Taqwa juga akan menentukan visi dan misi keluarga. Ketika takwa hilang keluarga akan kehilangan arah visi dan misi yang benar. Sebab taqwalah yang akan menjaga hubungan dengan Allah sehingga keluarga akan senantiasa visioner untuk mengejar ridho Allah dalam setiap langkahnya.

Salah satu perkara penting buah dari keterikatan terhadap Syariat Islam adalah berperannya setiap anggota keluarga menurut kadar yang telah ditentukan syariat. Sebab Islam telah memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing anggota keluarga. Ibarat satu tubuh yang memiliki beragam anggota badan tangan kaki, kepala, mata, hidung, mulut dan lainnya. Sesungguhnya keluarga pun memiliki bagian-bagian dengan fungsinya masing-masing. Kedudukan pada ketetapan syariat dalam pembagian peran ini akan berbuah kebaikan di dunia dan limpahan pahala di akhirat sebagaimana firman Allah SWT : "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang baik dari apa yang telah mereka kerjakan" ( QS : An Nahl : 97).

Ayah berperan sebagai kepala keluarga maka Allah perintahkan kewajiban memberikan nafkah kepada seluruh anggota keluarga dan bertanggung jawab atas keselamatan, kehormatan dan kemuliaan anggota keluarganya. Ibu berperan sebagai pengatur rumah tangga dan pengasuh bagi anak-anaknya. Ia pun diwajibkan melaksanakan hukum-hukum yang berkaitan dengan tugasnya. Sedangkan anak-anak adalah anggota keluarga yang juga tidak bisa dilepaskan dari ketentuan syariat kepadanya. Allah SWT telah mengajarkan kepada anak-anak baik yang belum baligh maupun yang sudah dewasa agar berperan mendukung terlaksananya fungsi keluarga. Mereka tidak bisa bebas menentukan sikap cara meminta hak yang tidak bisa disyaratkan, misalnya durhaka atau membangkang perintah orang tua, melalaikan kewajiban menuntut ilmu serta meraih jalan kebaikan dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota keluarga yang lain.

Berjalannya fungsi atau peran masing-masing anggota keluarga dengan mematuhi hak dan kewajiban yang sudah ditentukan syariat akan menjamin optimalisasi peran strategis keluarga. Kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan pun akan diraih atas pelaksanaan hukum syariat yang dijalankan bersama dalam keluarga. Peran anggota keluarga yang satu akan menopang dan mengokohkan anggota keluarga yang lain. Maka apa jadinya jika ayah berubah fungsi menjadi orang yang melakukan tugas ibu dalam  rumah tangga, sedangkan ibu bekerja keluar rumah mencari nafkah? Lantas akan diasuh siapa anak-anak kita? Inilah gejala yang saat ini banyak dialami keluarga sehingga mereka menuai berbagai problematika dalam rumah tangga yang menuju kepada kehancuran.

Di samping memiliki rincian aturan mengenai hukum hukum keluarga, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang memastikan hukum-hukum diatas tegak secara sempurna, baik yang harus dilaksanakan oleh individu, masyarakat maupun negara. Secara individu setiap muslim dalam perannya masing-masing (sebagai individu, anak, suami atau istri, ibu atau ayah, sebagai anggota masyarakat) diharuskan memiliki pemahaman yang benar terkait, termasuk hukum hukum keluarga dan wajib terikat dengannya sebagai konsekuensi iman. Apabila para anggota keluarga tidak memainkan peran dan fungsi masing-masing dengan benar maka apakah yang terjadi? Bisa dibayangkan jika seorang Istri seenaknya pulang dan pergi dari rumah, suami sesukanya berbuat, maka kekacauan yang akan muncul. Untuk itu Islam menetapkan peran dan fungsi suami adalah sebagai kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Sedangkan istri berperan sebagai seorang ibu dan mengatur urusan rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya serta menata rumah sehingga memberikan kenyamanan bagi seluruh anggota keluarganya. Sementara masyarakat, wajib melakukan kontrol Melalui aktivitas Amar ma'ruf nahi mungkar tak kalah mendapati penyimpangan dalam pelaksanaan aturan sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi berjalannya fungsi-fungsi keluarga. Adapun negara berkewajiban memelihara lingkungan yang tepat melalui penetapan berbagai kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan syariat dan penyediaan sarana prasarana yang mendukung bagi terwujudnya kondisi tersebut. Misal dengan melegalisasi hukum hukum keluarga Islam, menerapkan kontrol media secara ketat, penerapan sistem pendidikan yang ideal, kebijakan ekonomi yang mensejahterakan, menegakkan sanksi dan lain-lain.

Sangat jelas bahwa RUU Ketahanan Keluarga, pro kontra dan polemik atas usulan RUU KK  sesungguhnya sudah tidak diperlukan lagi saat syariat Islam diterapkan dalam membangun kehidupan keluarga. Kesakinahan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam. Setiap pasangan suami istri harus memiliki komitmen untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya. Keluarga yang terikat syariat dalam menjalani biduk rumah tangga akan menjadi keluarga muslim tangguh pembangun peradaban. Semua ini akan terwujud jika Islam ditegakkan secara kaffah dalam institusi negara.

Dengan sinergisme yang berasas pada ketaqwaan untuk menjalankan hukum Islam yang dilaksanakan oleh individu, keluarga, masyarakat dan negara inilah ketahanan keluarga akan terwujud. Insyaa Allah.