-->

Cara Khilafah Mengatasi Penimbunan

Oleh: Syekh Atha' Abu Rusythah

Penimbunan (al-ihtikâr) secara mutlak adalah haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Telah diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لا يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.

Al-Qasim telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُحْتَكَرَ الطَّعَامُ

Rasulullah ﷺ telah melarang makanan ditimbun (HR al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah).

Imam Muslim juga meriwayatkan dengan sanad dari Said bin al-Musayyib bahwa Mu’ammar berkata: Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan.

Jadi larangan dalam hadis tersebut berfaedah thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan). Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan mensifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah orang yang berdosa lagi bermaksiat. Ini merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut berfaedah haram. Dari sini, hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan ini bermakna pasti. Dari sini pula, hadis-hadis tersebut menunjukkan keharaman menimbun.

Al-Muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu dia jual dengan harga tinggi. Hal itu membuat susah warga negeri untuk membelinya.

Adapun bagaimana solusi mengatasi masalah penimbunan maka penimbun dijatuhi sanksi ta’zîr. Dia dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya kepada para konsumen dengan harga pasar, bukan dengan dipatok harganya oleh negara. Pasalnya, pematokan harga adalah haram sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitab:

Islam telah mengharamkan pematokan harga secara mutlak berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas yang berkata:

غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ, لَوْ سَعَّرْتَ, فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهُ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلِمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ

Harga melonjak pada masa Rasulullah ﷺ. Lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, andai saja Anda mematok harga.” Beliau bersabda, “Sungguh Allah-lah Yang Menciptakan, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Memberi Rezeki dan Yang Menetapkan Harga. Aku sungguh berharap menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan kezaliman yang aku lakukan kepada dia dalam hal darah dan tidak pula harta.” (HR Ahmad).

 

Alasan lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang berkata:

إِنَّ رَجُلاً جَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ, سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلْ اَدْعُوْا. ثُمَّ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ سَعِّرْ. فَقَال: بَلِ اللَّهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ

Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Akan tetapi, saya berdoa.” Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan (harga).” (HR Abu Dawud).

 

Hadis-hadis ini menunjukkan pengharaman pematokan harga. Pematokan harga itu merupakan kezaliman. Jika penguasa melakukan pematokan harga maka dia berdosa di sisi Allah sebab dia melakukan kaharaman. Setiap orang dari rakyat boleh mengadukan syakwa kepada Mahkamah Mazhalim atas penguasa yang mematok harga, baik dia seorang wali ataupun khalifah. Rakyat mengadukan kezaliman ini ke Mahkamah Mazhalim agar memutuskannya dan menghilangkan kezaliman ini.

Adapun penimbun itu harus menjual barangnya dengan harga pasar karena itu adalah hukum syariah dalam jual-beli. Jika barang tersebut tidak ada kecuali pada orang yang menimbun ini, yang menjualnya dengan harga yang ia inginkan sehingga ia mengendalikan harganya karena barang itu hanya ada padanya, maka dalam kondisi ini, negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu tidak seorang pun pedagang bisa mengendalikan harga barangnya. Pasalnya, barang itu tersedia di pasar dan dijual dengan harga pasar. Karena itu dia terpaksa menjual barang tersebut juga dengan harga pasar itu.

Jadi solusi terkait masalah orang yang menimbun adalah menjatuhkan atas dirinya sanksi ta’zîr dan memaksa dia untuk menawarkan barangnya di pasar dengan harga pasar. Jika barang itu hanya ada pada dia saja maka negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu pedagang itu tidak mengendalikan harga. Masalah ini telah dijelaskan di dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî pada bab “At-Tas’îr (Pematokan Harga)”:

 Adapun jika terjadi kenaikan harga-harga pada masa peperangan atau krisis politik maka hal itu bisa akibat dari tidak tersedianya barang di pasar disebabkan penimbunannya, atau disebabkan kelangkaannya. Jika tidak adanya itu akibat penimbunan maka Allah telah mengharamkan penimbunan. Jika tidak adanya di pasar adalah akibat dari kelangkaannya, maka Khalifah diperintahkan untuk memelihara berbagai kemaslahatan masyarakat. Khalifah wajib menyediakan barang itu di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempatnya. Dengan ini maka kenaikan harga bisa dicegah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pada masa paceklik yang disebut tahun kekeringan—meski terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan pada tahun itu, sementara harga telah melonjak akibat kelangkaannya—tidak mematok harga tertentu untuk makanan. Akan tetapi, Umar mengirim surat dan mendatangkan  makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu melakukan pematokan harga.

Kemudian jika tidak dijualnya barang dengan harga pasar menimbulkan ghabn, maka al-ghabnu al-fâhisy adalah haram, yaitu yang melebihi harga pasar di luar kewajaran menurut para pedagang dalam bentuk kenaikan sedikit atau penurunan sedikit dari harga pasar. Adapun jika lonjakan harga itu sesuai dengan istilah gabn al-fâhisy maka itu adalah perkara yang diharamkan. Semua itu membuat harga pasar itu wajib bagi penjual. Negara wajib mengadakan harga pasar sehingga pedagang tidak mengendalikan harga tertentu. Akan tetapi,  jika tidak ada pada pedagang lain dengan stok yang bisa mengadakan harga pasar maka negara harus menghadirkan barang dan menjualnya di pasar, dan berikutnya tidak ada pedagang manapun yang mengendalikan harga.

Di dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz ii bab “Bay’ as-Salam” dinyatakan:

Hanya saja disyaratkan harga itu tidak terjadi ghabnu fâhisy, tetapi wajib berupa harga sesuai harga pasar ketika akad jual-beli dalam semisal bertempo atau disegerakan, bukan ketika penyerahan barangnya.  Hal itu karena salam adalah jual-beli. Al-Ghabnu al-fahisy adalah haram dalam semua jual-beli sehingga termasuk di dalamnya salam. Sebagaimana haram menjual barang yang diserahkan segera dengan harga yang ditunda dengan ghabn fâhisy, demikian juga tidak boleh menjual barang dengan serah terima di awal dengan harga bertempo (jual beli secara kredit, penerj.) disertai ghabn fâhisy.

Di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiah Juz III pada bab “Al-‘Illat” dinyatakan:

Misalnya, apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

نَهَي رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ

Rasulullah ﷺ telah melarang orang kota menjual kepada orang kampung (HR al-Bukhari).

Telah disebutkan larangan orang kota menjual untuk orang kampung. Penyebutan larangan dalam penjual karena ia orang kota, yakni termasuk penduduk kota, dan pada pembeli kenyataannya adalah orang kampung, yakni dia datang dari kampung. Semuanya merupakan sifat yang memberikan pemahaman (sifat konotatif) bahwa itu untuk menyatakan ‘illat dalam larangan dari jual beli tersebut dan memberi pemahaman bahwa itu merupakan ‘illat untuk larangan karena orang kampung itu tidak memiliki pengetahuan harga pasar. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai orang kampung itu merupakan ‘illat sebab dia tidak tahu harga pasar, dan itu merupakan aspek penetapan ‘illat. Yang semisalnya adalah larangan mencegat orang yang mendatangkan barang. Dinyatakan di situ dengan pernyataan gamblang aspek penetapan ‘illat. Abu Hurairah berkata:

نَهَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ, فَإِنْ تَلَقَّاه إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ, فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيْهَا بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوقَ

Nabi ﷺ telah melarang orang yang mendatangkan barang dicegat (sebelum sampai pasar). Jika orang mencegat dia dan membeli darinya, maka pemilik barang itu memiliki khiyâr (pilihan) jika dia masuk ke pasar (HR at-Tirmidzi).

Ringkasnya, solusi masalah penimbunan adalah:

Persoalan itu diselesaikan tanpa pematokan harga karena pematokan harga adalah tidak boleh.

Dengan (disertai) sanksi terhadap orang yang menimbun berupa sanksi ta’zîr.

Mengharuskan penimbun untuk menawarkan barangnya di tempat dagang agar ma-syarakat membelinya dengan harga pasar.

Jika barang hanya ada padanya, sementara masyarakat memerlukannya maka negara wajib menyediakan barang tersebut dan berikutnya terdapat harga pasar tanpa ada seorang pedagang pun yang mengendalikan harga barang tersebut.

===
Sumber:
https://al-waie.id/fikih/cara-khilafah-mengatasi-penimbunan/