-->

Abaikan Lockdown: Akankah Selanjutnya Indonesia Shutdown?

Oleh : Kamilia Mustadjab

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa pandemi virus corona "meningkat pesat", dengan lebih dari 300.000 kasus terkonfirmasi di seluruh dunia. Diperlukan waktu 67 hari sejak kasus pertama dilaporkan untuk mencapai angka 100.000 kasus, dan 11 hari lagi untuk menyentuh angka 200.000. Kemudian hanya diperlukan waktu empat hari saja untuk mencapai angka 300.000 kasus.
 
Di Indonesia sendiri hingga Ahad (29/3/2020) sore, total ada 1285 kasus Covid-19. Angka ini bertambah 130 pasien (kasus baru) dari data yang dirilis sebelumnya. Dari data ini ada 64 yang dinyatakan sembuh dan ada 114 yang meninggal. Sedangkan di Jakarta sendiri jumlah kasus pada hari yang sama ada 675 kasus dengan 68 yang meninggal dan 45 dinyatakan sembuh. Artinya ratio kematian di Jakarta (10 %) lebih tinggi daripada ratio kematian nasional (8,9%).
 
Namun hingga hari ini pemerintah tetap bergeming untuk tidak melakukan lockdown. Padahal hampir seluruh negara yang terjangkiti penyakit ini memberlakukan kebijakan lockdown, tak terkecuali AS dan Italia pada akhirnya.

Abaikan Lockdown 

Seruan lockdown paling santer dikemukakan oleh kalangan medis sebagai garda terdepan dalam penanganan kasus covid 19 ini. Namun seruan ini tak mendapat tanggapan serius dari pemerintah pusat. Bahkan kepala daerah yang berencana akan memberlakukan lockdown di wilayahnya, langsung mengubah pernyataannya setelah disemprit oleh pemerintahan pusat. Demikian juga tatkala Jakarta berencana untuk lockdown wilayah, langsung didatangi oleh Mendagri. Dan pada akhirnya pemerintah memastikan bahwa lockdown menjadi kewenangan pusat dan pusat pun sudah memastikan tidak akan lockdown. Selain itu faktanya hari ini kita melihat masyarakat melakukan lockdown mandiri.

Jika dicermati seruan lockdown memang akan membawa konsekuensi yang cukup berat bagi perekonomian dan politik sebuah negara. Berdasarkan pasal 8 UU no 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, setiap orang juga mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Ini artinya pemerintah harus punya anggaran yang cukup memadai untuk melaksanakan lockdown total. Dan faktanya perekonomian Indonesia saat ini dianggap tidak memadai untuk itu. BPJS pun enggan menanggung semua pembiayaan pasien PDP dan yang sudah positif Covid 19.

Di sisi lain, alih-alih melakukan lockdown, pemerintah justru mengambil langkah lain yang dipandang sebagian ahli tidak menyelesaikan masalah. Pembelian obat Avigan dan Chloroquine serta alat diagnostic Rapid tes bukanlah langkah yang seharusnya dilakukan di tengah kondisi pandemi ini. 
Kalaulah pemerintah tak ingin lockdown, seharusnya pemerintah menahan diri untuk melakukan hal tersebut dan mengalihkan dananya untuk hal yang lebih dibutuhkan. Yang lebih dibutuhkan adalah memastikan ketersediaan APD bagi tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam menangani kasus ini. Sebab jika APD tidak ada, tenaga medis ibarat berperang dengan tangan kosong. Setor nyawa, bunuh diri, ngantri mati dan sebagainya adalah ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut para tenaga medis di garda terdepan saat mengetahui medan perang sebenarnya yang mereka hadapi. Sementara mereka ini adalah putra putri terbaik bangsa. Jika mereka berguguran belum tentu pengganti mereka memiliki kepiawaian dan keahlian sebagaimana mereka. Dan berikutnya bisa dibayangkan jika stok tenaga medis di garda terdepan ini habis, pasien tidak ada yang menolong, rumah sakit akan menjadi kuburan massal bagi pasien. Sementara masyarakat kian panik karena tak ada lagi yang mau menolong mereka. Situasi kian tak terkendali.  
 
Karena itulah meski terlambat, pemerintah tetap harus melakukan lockdown, meski hanya lockdown wilayah, agar situasi tetap terkendali. Apapun konsekuensinya, pemerintah harus hadir di tengah kepanikan ini. Dan inilah yang terjadi di berbagai negara lainnya. Sayangnya rezim ini masih bergeming. 
Dalam kondisi seperti ini, rezim masih berpikir tentang kekuasaan. Rezim tetap bertahan dengan keputusannya dan mengabaikan suara rakyat, tidak lagi peduli pada banyaknya korban yang berjatuhan dan menutup mata dengan situasi yang kian tak terkendali. Mereka lebih mengkhawatirkan runtuhnya kekuasaan mereka. Bahkan tanpa malu-malu mereka menuding ada pihak yang ingin mencari panggung di balik pandemi nCovid-19 ini. 
 
Kekhawatiran rezim ini memang beralasan. Pasalnya mereka adalah pihak yang menang secara curang dalam pemilu tahun lalu. Pergantian kekuasaan adalah hal yang lebih menakutkan bagi mereka ketimbang bahaya penularan nCovid-19. Sungguh sesuatu yang di luar nalar dan akal sehat manusia. Namun inilah fakta dan realitas yang terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia harus mandiri menghadapi pandemi ini tanpa kehadiran negara. 

Sungguh kenyataan pahit yang harus diterima oleh rakyat Indonesia ini akibat cara pandang yang salah tentang makna politik dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini. Politik dalam sistem demokrasi kapitalis bermakna yang sangat sempit dimana politik hanya diartikan dalam ruang lingkup kekuasaan saja. Itu sebabnya rakyat hanya dianggap ada dan bernilai saat menjelang pemilu, sedangkan disaat adanya pandemi seperti ini rakyat dianggap tidak ada dan tidak diperhitungkan sama sekali. Jangankan pandemi, bencana alam seperti gempa di Palu beberapa waktu yang lalu saja, negara setengah hati membantu. Apalagi pandemi saat ini yang akan membuat negara semakin bangkrut, pastilah negara kian enggan mengurusinya. 

Jadi yang dipikirkan hanyalah aspek untung rugi dalam hitungan ekonomi makro dan pencitraannya di tengah rakyat agar kekuasaannya tak runtuh

Bersiap Marathon, Bukan Sprint

Beginilah wajah kapitalis yang sesungguhnya. Kalaupun negara-negara kapitalis yang lain seolah hadir di tengah rakyatnya, mereka pun mengalami situasi yang sama. Namun mereka kebanyakan adalah negara maju yang secara ekonomi masih mampu menopang kehidupan masyarakatnya. Indonesia lebih mirip Iran, takkan bisa melakukan lockdown. Bahkan prediksi yang muncul lebih mengerikan dari apa yang dibayangkan selama ini.

Salah satu analisa memprediksi bahwa pandemi ini akan berlangsung cukup lama jika penanganan tidak dilakukan dengan cepat dan tepat. Berdasarkan pendekatan pemodelan matematika, berikut ini adalah kurva yang dibuat Wahyu Purnomo (gambar.2)

Kurva ini dengan asumsi jika kedisiplinan masyarakat cukup tinggi. Namun jika tidak puncak itu akan mundur waktunya. Kurva yang lebih pesimis digambarkan oleh Agus Suryanto berikut (gambar.3)

Berdasarkan kurva ini, jika penanganan tidak dilakukan dengan cepat dan tepat, maka prediksinya pandemi ini akan mencapai puncak pada Mei 2020 dengan 420 kasus baru dan diperkirakan akan berakhir tahun depan. Artinya yang terjadi saat ini baru permulaan, baru awal dan baru akan menuju puncak. 
Tentu puncaknya tidak akan setinggi dan selama itu apabila ada penanganannya tepat dan cepat. Lockdown, social and physical distancing serta self isolation berjalan dan dipatuhi oleh segenap elemen masyarakat ditambah dengan kesadaran dan disiplin diri untuk selalu menjaga hygiene dan sanitasi masing-masing. Namun dengan kebijakan dan sikap pemerintah yang seolah tak peduli dengan rakyatnya, harapan itu ibarat menggantang asap.

Belum lagi jika dihitung dengan logika terbalik ala Dahlan Iskan. Jika ratio kematian akibat nCovid-19 ini disepakati di seluruh dunia hanya 3% maka seharusnya angka kematian 114  itu adalah 3% dari keseluruhan kasus yang ada di Indonesia. Berarti kasus yang ada bukanlah di angka 1285 tapi di angka 3800. Artinya, jika yang terlaporkan hanya 1285 maka ada sekitar 2515 yang tidak dilaporkan. Bisa jadi mereka ini tidak diketahui identitasnya dan berkeliaran dimana-mana. 

Apalagi jika pemerintah benar-benar menganut teori herd imunity. Maka bisa dibayangkan kondisi yang sangat tidak terkendali dalam jangka waktu yang tidak sebentar. 

Oleh karena itu persiapan mental dan tenaga haruslah dipersiapkan untuk marathon. Sebab kondisi ini bisa jadi berlangsung lama sehingga butuh kesabaran, penghematan tenaga dan sumber daya, serta ketenangan tapi tetap fokus untuk mencapai finish. Kondisi hari ini tak boleh diremehkan dan diabaikan begitu saja. Pun demikian, penyikapan kita tak boleh berlebihan seolah hanya melakukan sprint sehingga menghabiskan seluruh energi karena mengira akan segera mencapai garis finish.

Penutup

Sungguh ini adalah kondisi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dimana peradaban manusia bisa porak poranda hanya karena virus yang tidak kasat mata. Dan bagi seorang mukmin kondisi ini harus mampu mengantarkannya pada sebuah kesadaran akan lemahnya manusia dan Maha Kuasanya Allah swt. Sangat mudah bagi Allah untuk melakukan apapun yang dikehendaki-Nya. 
Kesadaran ini harus berbuah pada sikap untuk tunduk dan patuh pada semua syariah-Nya, melakukan berbagai ikhtiyar dan terus bertawakkal pada Allah swt. Sebab berbagai kerusakan yang terjadi di bumi adalah kefasadan yang merupakan hasil karya tangan manusia akibat enggan bahkan menolak menerapkan syariah-Nya. Dan tentu kesadaran ini tidak boleh berhenti pada individu semata, tapi harus terus disuarakan agar pemerintah pun bersedia mengambil solusi Islam untuk mengatasi pandemi ini.

Lockdown adalah salah satu cara Islam dalam menanggulangi wabah. Dan negara hadir untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai pihak yang melakukan riayah (pengaturan) terhadap berbagai urusan umat, memastikan seluruh kebutuhan tiap rakyatnya terpenuhi dengan mengelola segala sumber daya yang ada. Dan itu semua akan bisa terlaksana bila ada sistem yang menunjangnya. Disinilah pentingnya dakwah untuk menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Wallahu alam.