-->

Tiga Pembeda Orang Kaya Salih (OKS) dengan OKB (Orang Kaya Baru)

Oleh: Iwan Januar

Apakah Islam melarang kita menjadi kaya? Alhamdulillah, tidak. Tidak ada satupun ayat ataupun hadis yang mengharamkan harta benda. Menjadi kaya itu halal. Akan tetapi Islam mengajarkan bahwa selain harus didapat dari jalan yang halal, kekayaan itu haruslah bernilai di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Bila kita membaca kisah para sahabat ataupun para ulama yang hanif, tidak akan kita temui kisah mereka menikmati hidup bergelimang harta. Mereka lebih memilih menjadi makelar rizki bagi orang lain.

Apalagi bila kita membaca Sirah Nabi ﷺ kita justru akan disuguhi kesederhaan hidup beliau. Jauh sebelum tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi mencontohkan kesederhaan. Beliau orang yang makan sedikit bahkan belum pernah kekenyangan. Selimutnya adalah selembar kain yang juga menjadi sprei kasurnya. Kasurnya pun bukan terbuat dari bahan yang empuk.

Ini yang membedakan harta yang berada di tangan orang salih, dengan harta yang berada di tangan orang awam. Bagi OKS (Orang Kaya Salih) harta itu dibuat berharga dalam pandangan Allah, tapi bagi OKB (Orang Kaya Baru) harta itu dipakai untuk membuat dirinya berharga di mata orang lain tapi mungkin menjatuhkan martabatnya dalam pandangan Allah. Benarlah sabda Nabi ﷺ:

يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amru (bin al-‘Ash)! Sebaik-baik harta adalah pada orang salih.” (HR. Ahmad).

Apa yang membedakan Orang Kaya Salih dengan Orang Kaya Baru? Setidaknya ada tiga;

1.  Orang Salih Umumnya Merasa Cemas Bila Mereka Mendapatkan Harta Berlimpah, Sebaliknya OKB Spontan Bergembira Ria
Ketika Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu mendapatkan harta ghanimah yang berlimpah hasil penaklukkan Syam, beliau tertunduk cemas karena mengkhawatirkan itu adalah istidraj, bukan kenikmatan sesungguhnya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”(TQS. Al-An’am: 44)

Bersyukur tentu wajib dalam setiap kenikmatan, tapi mawas diri jauh lebih utama. Berapa banyak orang menjadi kaya dengan cara haram semisal riba, menipu, menjadi model perempuan yang ditatap mata pria dengan takjub. Bukankah ini kemaksiatan pada Allah? Kok masih kaya? Ingat firman Allah di atas.

Atau seseorang berlimpah rezeki padahal ia banyak melalaikan kewajiban syariat semisal meninggalkan dakwah, atau sering berkhalwat dengan lawan jenis, atau sering memamerkan kekayaannya pada banyak orang. Bukankah ini (lagi-lagi) perbuatan maksiat?

Pernahkah kita membaca para sahabat seperti Ibnu Auf, atau Utsman bin Affan mengumumkan kekayaan mereka? Menyebarkan kesuksesan usaha mereka? Tidak pernah, bukan?

Sementara banyak orang kaya zaman sekarang yang begitu antusias mengumumkan kesuksesan kekayaan dan keberhasilan usaha mereka. Malah hingga makan dan minum di restoran elit pun kalau perlu mereka posting agar semua follower tahu dan melihanya.

Itulah bedanya Orang Kaya Salih dengan OKB.

===

2. Orang Kaya Salih Mengalirkan Hartanya Pada Orang Lain Bukan Kepada Dirinya, OKB Justru Sebaliknya
Terkesan membaca artikel orang kaya yang hidup sederhana? Sebutlah Mark Zuckerberg, meski memiliki kekayaan senilai 37,5 miliar dolar tapi tetap berpenampilan sederhana layaknya mahasiswa dengan kaos abu-abu, celana jins, dan sepatu kets. Mobilnya pun mobil Honda Fit (Jazz) dengan harga sekitar Rp 300 juta. Selain itu, Mark juga memiliki Honda Acura TSX dan Volswagen Golf GTI yang harganya tidak lebih dari satu milyar.

Tapi percayalah, itu belum seberapa dibandingkan perlakuan kaum salafus salih terhadap harta mereka. Sebut saja Aisyah radhiyallahu anha yang pernah menyedekahkan harta sebanyak 70 ribu dirham (kira-kira setara Rp 4,9 miliar), sementara saat itu beliau mengenakan pakaian yang amat sederhana bahkan bertambal.

Abu Nu’aiin mengeluarkan di dalam Al-Hilyah, 1/60, dari Abdul-Malik bin Syaddad, dia berkata, “Aku pernah melihat Utsman bin Affan berkhutbab di atas mimbar pada hari Jum’at, sambil mengenakan kain mantel yang tebal (kasar), harganya berkisar empat atau lima dirham. Kain ikat kepalanya juga ada yang robek. Diriwayatkan dari Al-Hasan, dia berkata, “Aku pernah melihat Utsman bin Affan yang datang ke masjid dalam keadaan seperti itu, pada saat dia sudah menjadi khalifah.”

Padahal siapa yang tak kenal Utsman bin Affan radhiyallahu anhu? Sahabat Nabi ﷺ berprofesi pengusaha sukses dengan kekayaan berlipat-lipat, tapi lihatlah bagaimana kesederhanaan hidupnya. Beliau lebih memilih mengeluarkan harta untuk jihad fi sabilillah, dakwah, sedekah atau waqaf. Sumur Raumah yang legendaris adalah salah satu waqaf beliau untuk umat.

Mari kita merenung, banyak muslim termasuk yang mengaku berjuang untuk agama berprinsip menjadi kaya itu penting bahkan harus. Dalihnya adalah untuk agama. Bagaimana bisa membangun mesjid, berhaji, berdakwah bila tanpa harta, tutur mereka.

Namun saat mereka kaya justru penampilan diri dan keluarganyalah yang didahulukan. Pakaian dan sepatu yang mahal, makan dan minum di tempat mewah, gadget canggih dan kendaraan bagus. Sungguh kita berlindung kepada Allah dari fitnah kekayaan dunia.

===

 3. Orang Salih Kaya Mendidik Anak-Anaknya Hidup Zuhud (Sederhana), OKB Justru Memanjakan Anak dan Istri Mereka
Barangkali dalam sejarah baru Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menawarkan pilihan sulit kepada istri; serahkan semua harta perhiasan ke baytul mal, atau bercerai. Pilihan itu disodorkan kepada sang istri, Fatimah binti Abdul Malik, justru di saat suaminya baru dibay’at menjadi khalifah. Pada momen itulah Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin menjaga akhlak istrinya agar tidak menjadi ‘madame defisit’ yang menggerogoti harta suami dan ujung-ujungnya harta negara!

Pengajaran zuhud dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz terus dilakukan pada keluarganya. Di ambang wafatnya, Beliau menolak tawaran dari ajudannya untuk memberikan hak harta dari Baytul Mal untuk anak-anaknya.

Pada saat Umar bin Abdul Aziz wafat, ia tidak meninggalkan harta untuk anak-anaknya kecuali sedikit. Setiap anak laki-laki hanya mendapatkan jatah 19 dirham saja. Namun beberapa tahun setelah itu salah seorang anak Umar bi Abdul Aziz mampu menyiapkan seratus ekor kuda lengkap dengan perlengkapannya dalam rangka jihad di jalan Allah, pada saat yang sama salah seorang anak Hisyam menerima sedekah dari masyarakat.

Mengapa para salafush sholih memilih hidup bersahaja, mengambil harta sekedarnya untuk hidup. Kemudian mendahulukan harta mereka untuk perjuangan dan orang lain, serta tidak suka memamerkan kekayaan mereka?

Karena mereka paham bahwa kekayaan adalah milik Allah, dan tak ada yang pantas untuk membanggakan kekayaan selain Allah Sang Maha Kaya (al-Ghaniy). Mereka memahami bahwa kelak saat meninggal maka harta saat dinikmati justru akan memberatkan hisab di Hari Akhir.

ثُمَّ لَتُسۡ‍َٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ ٨

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (TQS. At-Takatsur: 8).

===
Sumber: https://www.iwanjanuar.com/3-pembeda-orang-kaya-saleh-oks-dengan-okb/