-->

Rasa Malu Hilang, Tanda Keburukan Pada Seseorang

Oleh: Fathur Rahman Alfaruq (Pengasuh MTI Darul Falah Lamongan)

Berita kriminal kian marak di media massa membuat miris setiap orang. Bagaimana tidak? Tersangka korupsi pun masih sanggup "nongol" dengan tampang sumringah dan "cengengesan". Begitu pula seorang pejabat terlihat secara kasat mata, kemungkinan besar tersangkut korupsi. Bahkan, bawahannya sudah jadi tersangka akan tetapi atasannya masih melenggang santai sambil berkomentar dengan "sok suci dan seakan tidak tersangkut kasusnya".

Ada pejabat yang berkali-kali ingkar janji dan membuat kebijakan yang berpihak pada investor. Kebijakannya membelit rakyat sehingga rakyat hidup dalam kesulitan yang mencekik. Tapi ironis, mereka masih berani 'nampang' di media dengan wajah tanpa beban, masa bodoh, dan bermuka tebal. Bahkan lebih menyakitkan lagi, mereka berseloroh, "jika sulit beras, ya jangan makan nasi, tapi diganti saja makan singkong."

Ada juga wanita penjaja cinta bagi laki-laki hidung belang. Ia masih bisa bercerita tentang perselingkuhannya lalu diposting di sosmed tanpa beban sambil "cekikikan". Bahkan mereka bangga dengan perilakunya. Sampai diabadikan dalam video dan berlenggak-lenggok mengumbar auratnya. Na'udzubillah min dzalik.

Demikian pula ada remaja milineal melanggar syariat Allah subhanahu wa ta'ala dan meninggalkan sholat berkali-kali. Bila ditanya alasannya, mereka menjawab dengan entengnya, "Tidak kenapa-kenapa."

Bukan hanya para pelaku kriminal saja melainkan juga ada aktivis dakwah yang berada pada atmosfer kebaikan masih mudah meninggalkan atau melalaikan amanah dakwahnya, tidak disiplin, dan tidak taat aturan. Pembina dan pimpinan sudah menasihati berkali-kali akan tetapi tetap tidak digubris. Ia bersikap semaunya dan malah menantang untuk diberi sanksi. Mengapa semua itu terjadi?

Sepenggal cerita seorang pejabat, wanita, remaja, dan aktivis dakwah di atas mengindikasikan bahwa pada diri mereka telah hilang rasa malu terhadap Allah dan manusia.

===

Bila rasa malu telah hilang pada seseorang, maka dia berbuat sesukanya. Rasulullah ﷺ telah bersabda:

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

"Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Imam Bukhari no. 3483 dan 3484) 

Bahkan dikatakan malu itu bagian dari cabang keimanan. Sehingga apabila malu seseorang telah hilang dari diri, maka telah tercerabut keimanan seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.” (HR.Imam Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 598), dan Imam Muslim (no. 35)

===

Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani menjelaskan hakikat malu:

خُلق يبعث صاحبه على اجتناب القبيح ويمنع من التقصير في حق ذي الحق.

"Perangai yang memotivasi pemiliknya untuk menjauhi keburukan (hal tercela) dan mencegah dari meremehkan dalam kebenaran pemilik kebenaran". (Fathul baarii x/552)

Jadi, bila seseorang masih memiliki malu (al-haya'), maka dia akan berupaya menjauhi keburukan, kemaksiatan, dan menyelisihi syariat. Bahkan dia berupaya berada pada jalur kebenaran, dan memihak ahli kebenaran.

Hidup tanpa malu adalah hidup penuh dengan keburukan. Seorang penyair menyatakan:

فلا والله ما في العيش خير ولا الدنيا إذا ذهب الحياء #

يعيش المرء ما استحيا بخير ويبقى العود ما بقي اللحاء

Sekali-kali tidak -demi Allah- tak ada kebaikan dalam hidup dan tidak pula dunia jika malu telah hilang. Selama ada rasa malu, orang akan hidup dengan baik, namun tidak bagi yang bermuka tebal.

Bahkan jika Allah menginginkan keburukan atau kehancuran seseorang, maka dicabut lah rasa malu pada diri orang tersebut. Sahabat Salman al-Farisi ra berkata:

 «إنَّ الله تعالى إذا أراد بعبدٍ شرًّا أو هلكةً، نزع منه الحياء، فلم تلقه إلا مقيتًا مُمقَّتًا»

Sesungguhnya Allah ta'ala, apabila menginginkan keburukan atau kehancuran terhadap hamba, maka Dia mencabut rasa malu darinya, kemudian (dengan rasa malu hilang) dia tidak menjumpaiNya kecuali dalam keadaan dibenci dan mengerikan/menjijikkan. (Hilyatul auliya' dalam al-kalimu ath-thayyibu).

Wallahu a'lam bisshowab

—————————————
Sumber : Muslimah News ID