-->

Penyesatan Politik di Balik Istilah “Moderat”


Oleh: M. Taufik N.T.

Sebagaimana kata “toleran”, kata “moderat” (wasathiyyah) sering digunakan dengan makna positif untuk mensifati orang-orang yang bisa menerima hal-hal yang ‘aneh’ dalam syari’ah, seperti LGBT, pernikahan sejenis, muslimah menikah dg non muslim, membuka aurat, orang kafir menjadi penguasa dan tidak perlunya hukum syari’ah diterapkan secara formal. Sementara kelompok yang menolak hal tersebut akan dijuluki radikal, fundamentalis yang dianggap berbahaya

Parahnya, klaim tersebut kemudian dijustifikasi dengan dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang “wasath” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Ayat inilah yang sering dipelintir, digunakan tidak pada tempatnya, lalu siapa saja yang mereka cap radikal, fundamentalis dan tidak sesuai dengan selera mereka dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kata “wasath” memiliki makna yang jauh berbeda dengan apa yang mereka klaim.

Makna Wasath

Sebenarnya, terjemahan Departemen Agama RI tentang ayat ini sudah tepat, kata wasath diterjemahkan menjadi “adil dan pilihan”, bukan diterjemahkan dengan “moderat”. Imam al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:

وَالْوَسَطُ: الْعَدْلُ.

“al wasath : (maknanya) adalah adil”(Tafsir al Qurthuby, 2/153)

Beliau mengutip hadits hasan sahih riwayat Imam at Tirmidzi:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:” وَكَذلِكَ جَعَلْناكُمْ أُمَّةً وَسَطاً” قَالَ: (عَدْلًا(

“dari Abu Sa’id al Khudri, dari Nabi ﷺ, tentang perkataan Allah Ta’ala: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang “wasath”, Beliau saw mengatakan: (al wasath adalah) adil.”

Imam Fakhrudin ar Râzi (w. 606 H) menyebutkan beberapa makna wasath. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis Nabi, sya’ir-sya’ir Arab, penukilan ahli bahasa, dan pemahaman makna yang terkandung pada kata wasath itu sendiri.

Kedua, wasath berarti pilihan. Ar Râzi lebih mengutamakan makna ini dibandingkan dengan makna yang pertama karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).

Ketiga, wasath berarti yang paling banyak keutamaannya.

Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang baru dalam agama, sebagaimana Nashrani yang menjadikan Allah punya anak) dan tafrîth (mengurang ajaran agama, sebagaimana Yahudi yang mengurangi isi kitab, bahkan membunuh Nabi mereka).[4] (Mafâtîhul Ghaib, 4/84-85).

Dari penjelasan para ahli tafsir tentang makna wasath dalam ayat di atas, nyatalah bahwa sifat wasath yang ada pada umat Nabi Muhammad saw adalah karena umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya, dan mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, tanpa mengurangi ajaran-ajaran itu, juga tanpa mengubah dan menambahi dengan ajaran-ajaran lain diluar Islam.

Umat Islam yang teguh memegang semua ajaran Islam disebut sebagai ‘ummatan wassathan’ (umat terbaik dan pilihan), karena memang Allah telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, dan terpilih, sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.

Bukankah Allah telah menyebut hukum, ajaran dan sistem yang bersumber dari selain Allah sebagai hukum jahiliyah? Allah berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini menyatakan:

يُنْكِرُ تَعَالَى عَلَى مَنْ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ اللَّهِ المُحْكَم الْمُشْتَمِلِ عَلَى كُلِّ خَيْرٍ، النَّاهِي عَنْ كُلِّ شَرٍّ وَعَدْلٍ إِلَى مَا سِوَاهُ مِنَ الْآرَاءِ وَالْأَهْوَاءِ وَالِاصْطِلَاحَاتِ، الَّتِي وَضَعَهَا الرِّجَالُ بِلَا مُسْتَنَدٍ مِنْ شَرِيعَةِ اللَّهِ، كَمَا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ

“Melalui ayat ini Allah Swt. mengingkari perbuatan orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam lagi mencakup semua kebaikan, melarang setiap perbuatan jahat, lalu mereka memilih hukum yang lain, yang berupa pendapat, kecenderungan hawa nafsu serta istilah-istilah yang dibuat oleh seseorang tanpa sandaran dari syariat Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh ahli Jahiliah…”[Tafsir al Qur’ânul Adzîm, 3/131, Maktabah Syamilah]

Lalu atas dasar apa orang yang menerima dan menoleransi hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dipuji dengan sifat wasath yang dimaknai sendiri sebagai ‘moderat’? sungguh itu bukan moderat, namun madlorot (bahaya)!

Allaahu A’lam.

______

Sumber : MuslimahNews.com