-->

Omnibus Law: Karpet Merah Korporasi, Perbudakan Modern ala Investasi

Oleh: Chusnatul Jannah

Istilah Omnibus Law pertama kali diperkenalkan Jokowi saat pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Senayan pada 20 Oktober 2019 lalu. Saat itu, Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Lapangan Kerja –yang sekarang berubah menjadi RUU Cipta Kerja– serta Undang-Undang terkait dalam satu UU yang ia sebut Omnibus Law.

Menurutnya Undang-Undang yang ada terlalu kaku dan menghambat iklim investasi. Diharapkan dengan hadirnya Omnibus Law akan mempercepat kedatangan investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Ada sembilan aturan yang menjadi substansi dalam RUU Omnibus Law. Yaitu penyederhanaan izin usaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.

Dalam pembahasannya, RUU ini menuai polemik dan kontroversi. Di antaranya yang paling disorot ialah RUU Cipta Kerja. RUU ini dinilai banyak merugikan buruh dan pekerja. Terdapat beberapa aturan yang berbeda dengan UU Ketenagakerjaan.

Pertama, upah minimum akan menggunakan standar provinsi. Padahal sebelumnya upah minimum menggunakan standar kota/kabupaten. Kedua, dalam omnibus law bonus atau penghargaan disesuaikan dengan masa kerjanya. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan, bonus atau penghargaan tidak diatur sebelumnya.

Ketiga, pemerintah berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id, 18/2/2020.

Keempat, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam Omnibus Law. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja masih mendapat upah sebesar 25-100 persen jika ia sakit, cuti menikah atau melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.

Kelima, dalam pemutusan hubungan kerja, pekerja mendapat uang pesangon atau uang penghargaan sesuai masa kerja dan uang penggantian hak. Namun, dalam omnibus law uang penggantian hak itu dihilangkan.

Selain pasal dalam RUU Ciptaker tersebut, kontroversi berlanjut dalam draf pasal 170 yang menyebutkan peraturan pemerintah bisa mengubah Undang-Undang. Padahal dalam hierarkinya, PP ada di bawah UU. Tak heran pasal ini berpotensi mengubah negara menjadi otoriter.

Bila pemerintah tak berkenan, semua UU bisa diubah sesuai PP yang dikehendaki pemerintah. Setelah ramai dibahas, dengan entengnya pemerintah menyebut kalimat dalam pasal 170 tersebut salah ketik. Hal itu disampaikan melalui Menko Pulhukam, Mahfud MD.

Tak cukup di situ, kontroversi berikutnya berlanjut dalam pasal izin lingkungan yang dihapus dalam omnibus law. Padahal izin lingkungan sebelumnya diatur dalam pasal 40 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kepala Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi, mengatakan korporasi dibuat dengan dua keistimewaan, yang pertama mengedepankan investasi dan pelayanannya. Yang kedua, ada imunitas terhadap korporasi dalam konteks hukum.

Zenzi menyoroti soal sanksi administrasi kepada korporasi yang melakukan pembakaran lahan dan hutan diserahkan ke pemerintah. Menurut dia, ini berisiko ketika pemberian hukuman dilakukan oleh lembaga eksekutif.

“Karena dia bergantung pada sanksi administratif, kalau (sanksi) administratif belum terpenuhi oleh perusahaan, belum bisa dipidana,” jelasnya. (cnnindonesia.com, 21/2/2020).

Alhasil, omnibus law dinilai merampas hak rakyat atas lingkungan, dan atas buruh serta pekerja. Omnibus law menjadi ajang karpet merah bagi korporasi dan pengusaha kapitalis.

Omnibus Law, Karpet bagi Korporasi dan Keset bagi Rakyat

Kontroversi yang ditimbulkan oleh draf RUU Omnibus Law memiliki alasan yang kuat. Setidaknya hal ini bisa dirangkum dalam poin berikut.

Pertama, karpet bagi korporasi. 

Tak aneh bila tudingan ini benar. Sebab, dalam penyusunan draf RUU Omnibus Law, satuan tugas yang menggarap RUU ini didominasi kalangan pengusaha, pemilik modal, dan investor.

Alhasil, pasal-pasal yang ada lebih banyak menguntungkan kepentingan investor dibanding pekerja. Buruh dan pekerja tak ubahnya mesin produksi bagi korporasi.

Dilansir dari muslimchoice.com, 21/2/2020, Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Elena Ekarahendy mengatakan, bonus demografi yang didapat Indonesia pada 2030-2045 justru akan memicu masalah baru, terkait sulitnya mendapatkan pekerjaan, jika RUU Ciptaker disahkan.

Akan ada ledakan pekerja muda jika omnibus law disahkan. Ia memprediksi dalam 10-15 tahun ke depan Indonesia akan dikenal sebagai negara penyuplai tenaga kerja murah atau negara yang mempraktikkan perbudakan modern.

Kedua, keset bagi rakyat. 

Keset ibarat alas atau pijakan kaki. Kalau omnibus law disahkan, rakyatlah yang menjadi korban dalam penerapan RUU ini. Pasal-pasal di dalamnya sangat merugikan kepentingan rakyat.

Alasan investasi yang bisa menciptakan lapangan kerja hanyalah kamuflase dari proyek RUU ini. Kehadiran investor asing sejatinya tak berefek apapun pada lapangan pekerjaan. Buktinya, tenaga kerja asing justru mengalir deras mendatangi Indonesia semenjak kran investasi dibuka selebar-lebarnya. Malah yang ada angka pengangguran terbuka makin meluas.

Sebelum RUU ini sah, PHK massal sudah terjadi di berbagai perusahaan. Bagaimana jadinya jika RUU ini disahkan? Lonjakan pengangguran sangat mungkin meningkat tajam. Hal ini beralasan. Dalam RUU Ciptaker memang memberi peluang perusahaan untuk tidak mengangkat pekerja menjadi karyawan tetap. Sistem kontrak putus berlaku di sini.

Apa yang terjadi? Generasi muda akan sulit mendapat pekerjaan stabil. Tidak menentu dan terombang ambing. Di sinilah potensi pengangguran terbuka itu terjadi.

Ketiga, omnibus law adalah praktik nyata sistem kapitalisme neoliberal.

Memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi korporasi. Mengabaikan hak-hak rakyat. Makin teguhlah rezim korporatokrasi ini berdiri. Negara berdiri bersama kapitalis, sementara rakyat diperlakukan bagai sapi perah.

Inilah fakta perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Negara hanya berperan sebagai regulator, penguasa sesungguhnya adalah korporasi yang berlindung di balik pemerintah. Undang-Undang dibuat hanya untuk memberi keleluasaan bagi pengusaha menguasai perekonomian negara. Dalam hal ini, peran negara mandul dan lemah.

Sistem Islam, Solusi Pengangguran dan Kesejahteraan

Dalam pandangan Islam, negara adalah khodim al ummah. Yakni pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.

Sumber Daya Alam yang melimpah akan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA itu kepada asing atau investor. Kehadiran investor dalam negara Islam tidak boleh dalam bidang strategis atau vital.

Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan, kepemilikan umum, sektor nonriil, dan juga dalam kategori muhariban fi’lan. Investasi asing hanya boleh dalam bidang halal dan bukan dalam penguasaan kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dalam mengatasi pengangguran, negara akan memberdayakan iklim usaha yang sehat. Membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat. Yang tidak punya modal, diberi modal oleh negara agar ia bekerja.

Yang tidak punya keterampilan bekerja juga akan diberi pelatihan agar ia memiliki kemampuan dan skill yang mumpuni. Sebab, dalam Islam, pengangguran dan bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya.”(HR Muslim). Dalam hal ini negara akan membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga laki-laki.

Perempuan tidak akan dibebani dengan masalah ekonomi. Karena tugas utamanya adalah mendidik generasi. Negara juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak. Seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, sandang, pangan, serta papan.

Dengan memaksimalkan serta mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki, negara berdiri secara mandiri tanpa lagi bergantung pada investasi dan utang luar negeri. Negara seperti ini hanya bisa terwujud dengan penerapan syariah kaffah dalam Khilafah.

Sistem politik, ekonomi dan sosial berbasis syariah dan kesejahteraan rakyat adalah hal utama bagi Khilafah. Rasulullah saw bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Semoga mewujud segera.

_______

Sumber : MuslimahNews.com