-->

No Hijab Day: Sensasi atau Dehijabisasi?

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)

Yasmine Mohammad, adalah pelopor kampanye tahunan “No Hijab Day” yang digelar melalui media sosial. Kampanye hari tanpa hijab ini dirayakan setiap 1 Februari.

Setali tiga uang, hal ini disambut oleh Admin Fan Page Hijrah Indonesia di Facebook. Hijrah Indonesia membuatkan laman acara “No Hijab Day” di media sosial terbesar di dunia tersebut, dengan alasan memahami keresahan Yasmine dalam hal hijabisasi dan niqabisasi di seluruh dunia muslim.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Hijrah Indonesia mengajak para perempuan Indonesia baik Muslim maupun bukan Muslim untuk meramaikan #NoHijabDay dengan menayangkan foto-foto mereka berbusana dengan nuansa Indonesia dengan memperlihatkan kepala mereka tanpa memakai hijab/jilbab/niqab/cadar/kerudung dan semacamnya di akun media sosial mereka masing-masing, baik instagram, Facebook, maupun twitter dan blog, dengan tagar #NoHijabDay dan #FreeFromHijab pada 31 Januari 2020 pukul 00.00 WIB sampai dengan 2 Februari 2020 pukul 24.00 WIB.

Adapun alasan diadakannya kampanye ini menurut Hijrah Indonesia adalah:

(1) Hijabisasi baru marak tiga dekade terakhir; Niqabisasi marak satu dekade terakhir.

(2) Tidak semua ulama, tarekat, dan sarjana Keislaman mendakwahkan dan setuju dengan hijabisasi maupun niqabisasi. Pandangan mengenai batasan aurat berbeda-beda.

(3) Kita berdiam di rumah, berada di habitat, berkebutuhan, bekerja, dan atau memiliki fisik, yang kesemuanya berbeda-beda.

(4) Kebutuhan vitamin D, terutama yang mendesak.

Menilik agenda di atas, ini tak ubahnya penyesatan pemahaman tentang syariat menutup aurat. Yang mana dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah. Artinya, hal ini telah disepakati di kalangan para ulama muktabar, sehingga tidak sepatutnya dipersoalkan kembali.

Jangankan bagi muslimah, di masa peradaban Islam para perempuan nonmuslim juga diwajibkan oleh negara untuk menutup aurat, kendati mereka diberi ciri khusus agar tetap membedakan identitasnya dengan perempuan muslimah.

Jadi bagaimana mungkin atas nama sebuah sensasi, kaum muslimah didehijabisasi atau didejilbabisasi hanya untuk merayakan sebuah event pelanggaran hukum syariat? Asas kemanfaatan mana yang bisa tetap menjamin kaum muslimah mencicipi pahala setelah diaruskan dalam secuil perbuatan dosa?

Sungguh ide ini adalah bagian dari pemikiran liberal. Syariat diotak-atik atas dasar hawa nafsu selebrasi, buah kebebasan berekspresi. Inilah salah satu bentuk kebebasan global pilar demokrasi yang juga biang kapitalisme, yakni sekularisme.

Padahal kampanye semacam No Hijab Day ini termasuk aktivitas yang tidak berguna selain menjerumuskan pelakunya menuju jurang dosa. Na’udzu billaahi.

Mari sejenak kita renungkan firman Allah Swt dalam Surah Al-Mukminun [23] ayat 3:

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

“dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna …”

Pada ayat pertama Surah ini, disebutkan oleh Allah tentang ciri-ciri orang yang beriman. Selebrasi yang memfasilitasi sensasi namun berujung kebebasan berekspresi sebagaimana kampanye No Hijab Day, tak ubahnya sebuah kontra dengan makna ayat ketiga Surah Al-Mukminun di atas. Aktivitas kampanye tersebut sungguh tiada guna selain memberi kesempatan bagi amal kemaksiatan.

Dan di samping itu, sungguh telah rinci pula penjelasan dalam Surah An-Nuur ayat 31 berikut ini, tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah, batas ketentuan pakaian muslimah yang memungkinkan untuk terlihat aurat, dan juga rincian orang-orang yang diperbolehkan untuk melihat aurat muslimah sehingga muslimah tersebut boleh untuk tidak berhijab di hadapan mereka:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (TQS An-Nuur [24]: 31).

Surah An-Nuur ayat 31 di atas berlaku untuk muslimah yang telah balig, sehingga dirinya telah mukalaf (terbebani pelaksanaan hukum syariat secara sempurna).

Di samping perintah akan wajibnya hijab dalam Surah An-Nuur ayat 31 di atas (hijab yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah khimar/kerudung), tersanding kebolehan bagi muslimah untuk tidak berhijab.

Namun tentu saja ada tata aturannya. Para muslimah tidak boleh sembarangan tanpa hijab di tempat-tempat umum (masjid, pasar, kendaraan umum, sekolah, kantor, dsb). Media sosial termasuk tempat umum, karena bisa diakses oleh masyarakat dari seluruh penjuru dunia.

Kebolehan muslimah untuk tidak berhijab hanyalah di dalam rumah, sebagai tempat kehidupan khusus baginya. Itu pun jika di dalam rumah hanya ada orang-orang yang dicantumkan di dalam Surah An-Nuur ayat 31 di atas.

Yaitu suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Jika ada orang lain selain yang telah disebutkan ini, maka muslimah tetap wajib berhijab meski sedang berada di dalam rumah.

Juga adanya frase “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, ini menunjukkan bahwa muslimah boleh tidak berhijab, tapi yang boleh nampak hanyalah anggota tubuh tempat-tempat perhiasan.

Anggota tubuh tersebut meliputi rambut, telinga, leher, lengan sampai dengan pergelangan tangan, dan bawah lutut sampai dengan pergelangan kaki. Selain anggota tubuh tersebut, maka tetap wajib ditutup dengan pakaian yang memadai.

Seorang muslimah tidak boleh telanjang di dalam rumah. Seorang muslimah tidak boleh mengenakan pakaian dalam atau pakaian serupa pakaian dalam (tank top, rok mini, hot pants) saat di rumah, di tempat yang masih bisa diakses oleh anggota keluarga lainnya, seperti ruang tamu, dapur, ruang makan, ruang mencuci pakaian, sumur.

Seorang muslimah juga tidak boleh mengenakan pakaian ketat yang membentuk tubuh maupun pakaian tipis di hadapan orang selain suaminya. Di hadapan suami, seorang muslimah boleh menampakkan seluruh auratnya, baik yang termasuk anggota tubuh tempat-tempat perhiasan, maupun yang lebih dari itu.

Akan tetapi, sepasang suami istri diharuskan memiliki tempat khusus jika memang hendak membuka seluruh aurat mereka berdua. Aktivitas ini tentu saja tidak diperbolehkan jika dilakukan di tempat yang masih bisa diakses oleh anggota keluarga lainnya.

Untuk pakaian muslimah di luar rumah (kehidupan umum), maka hal ini diatur dalam Surah Al-Ahzab [33] ayat 59 tentang kewajiban mengenakan pakaian bernama jilbab, berikut ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Di dalam Kamus Al-Muhith dinyatakan, jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi perempuan muslimah selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya (pakaian sehari-hari di rumah) seperti halnya baju kurung.

Kewajiban mengenakan jilbab di luar rumah tercantum dalam hadis riwayat Ummu ‘Athiyah ra, yang artinya: “Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslim dan doa mereka. Namun wanita-wanita haid harus menjauhi tempat salat mereka. Seorang wanita kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkah ia keluar?)” Lalu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR Bukhari dan Muslim).

Andai kata berjilbab tidak wajib bagi muslimah dalam rangka menutup aurat, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengizinkan kaum muslimah keluar dari rumah mereka tanpa berjilbab.

Jadi wahai para muslimah, jagalah kemuliaan dirimu dengan menutup auratmu. Jangan biarkan setitik celah pun bagi setan menggoda hingga engkau berkehendak membuka aurat di tempat umum seperti media sosial meski hanya sehari selayaknya kampanye No Hijab Day. Jadikan hari-harimu berguna untuk kemaslahatan syariat agar tidak mudah terjatuh dalam nikmat semu maksiat.

Di antara upaya terselubung dehijabisasi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kriminalisasi cadar, pernyataan seorang tokoh muslimah bahwa jilbab (menutup aurat) tidak wajib bagi muslimah, dan juga arogansi kaum feminis yang mengatakan “tubuhku, otoritasku”.

Sejatinya, sangat boleh bagi muslimah tidak berhijab. Tapi perhatikan ketentuan syara‘-nya sebagaimana dalam Surah An-Nuur ayat 31 dan Surah Al-Ahzab ayat 59 tadi. Karena sebagai seorang muslim, tindak-tanduk kita tidak boleh bebas sesuka hati, apalagi bablas.

Perhatikan ketentuan syara’ agar mengalahkan segala hawa nafsu. Kita memang tidak boleh seenaknya, justru karena Islam menempatkan muslimah sebagai makhluk mulia yang harus ditutup dan dijaga. Bukan asal buka-bukaan aurat sehingga boleh dilihat oleh sembarang mata sebagaimana pemikiran orang-orang Barat.

Semua amal perbuatan wajib terikat dengan hukum syariat. Bukan menurut ukuran hawa nafsu. Ada sebuah kaidah syara‘ tentang hukum perbuatan yang sangat penting untuk kita perhatikan, bahwa “seluruh amal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’”.

Melaksanakan hukum syara’ adalah wujud taat, meninggalkannya adalah maksiat. Padahal hijab adalah pakaian takwa. Memakainya jelas berbuah pahala, melepasnya pasti berkawan dosa. Na’udzu billaahi. 

________

Sumber : MuslimahNews.com