-->

Ladang Basah Sertifikasi Halal

Oleh: Aishaa Rahma (Founder Sekolah Bunda Sholihah)

Pro dan kontra terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang bertujuan memudahkan investasi terus menjadi perbincangan panas. Tidak hanya para buruh yang turun ke jalan, rencana penghapusan sertifikasi halal juga menuai kecaman dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI turut mengingatkan, seyogyanya Omnibus Law itu tidak bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan, dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 disebut negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Omnibus Law yang berupaya memudahkan investasi juga harus sejalan dengan konstitusi dan realitas masyarakat yang agamais.

“Penghapusan sertifikat halal dalam kehidupan ekonomi dan bisnis untuk kemudahan investasi berpotensi memancing kekeruhan serta kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” ujar Buya Anwar di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (21/1/2020).

Alasannya, kata dia, mengabaikan dan tidak lagi menghormati kepentingan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Anwar menegaskan, sejumlah peraturan terkait sertifikasi halal saat ini sudah baik, tinggal penerapannya.

“Semestinya yang dilakukan pemerintah adalah apa yang sudah baik selama ini dipertahankan, bahkan ditingkatkan agar tingkat ketenangan dan kepuasan dari sebagian besar rakyat di negeri ini dapat dipenuhi dan terpenuhi,” katanya.

Draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dibuat pemerintah tidak hanya membuat ketentuan kontribusi terkait ketenagakerjaan. Omnibus Law juga menghapus ketentuan kewajiban produk besertifikat halal yang beredar di Tanah Air yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH).

Jika hal ini benar-benar diterapkan di tengah masyarakat yang mayoritas muslim, tentu menimbulkan kekacauan publik, sebab rakyat tak memiliki parameter jelas untuk mengetahui produk yang di konsumsi mengandung kehalalan atau keharaman. Kisruh yang terjadi justru lebih condong ke lahan basah penguasa yang ingin 'bermain' dengan sertifikasi halal. 

RUU Cilaka Untuk Siapa?

Diketahui bahwa pemerintah sedang menerbitkan naskah RUU Cilaka pada waktu dekat. Hukum Omnibus ini rencananya akan merevisi sebanyak 1,244 pasal pada 79 undang-undang. Salah satu perdebatan yang menuai protes terhadap RUU Cilaka akan dihapuskannya dihapuskan sertifikasi persyaratan halal. Kewajiban sertifikasi halal ini telah diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

Undang-undang Omnibus ini telah disetujui dengan 31 kementerian dan lembaga, sudah menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan seperti tujuh konfederasi buruh dan 28 serikat buruh lain. Ada 11 klaster yang akan diatur dalam Undang-undang Omnibus ini yaitu klaster penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan dukungan UMM, perlu dukungan, dukungan penelitian dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan toleransi, pengadaan dana, investasi dan proyek dan kawasan industri. 

Label jaminan halal merupakan instrumen seleksi untuk melindungi bangsa dari serbuan produk pangan olahan impor yang mengganggu kesehatan dan nilai budaya. Karena itu,  sepatutnya harus ditolak bila ada upaya menghapus kewajiban sertifikasi halal pada produk pangan. Sebab, sertifikat halal justru diyakini bisa mencegah merajalelanya produk-produk pangan impor. Hal ini berarti secara tidak langsung sertifikat halal merupakan salah satu instrumen yang melindungi industri pangan dalam negeri.

Berdasarkan estimasi analisis data dari Global Religious Futures, penduduk Muslim Indonesia pada tahun 2020 mencapai 229,62 juta jiwa, artinya Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia. Maka, sertifikasi halal untuk makanan ini justru sebagai kontrol makanan sehat, serta bergizi dan aman dari segala efek samping baik bahan kimia maupun rekayasa genetika. Otomatis, tudingan segelintir pihak yang mengklaim sebagai investasi dan penilaian akan terhambat jika masih ada yang mensyaratkan sertifikasi halal merupakan logika cacat pikir.

Data telah membuktikan, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial di dunia, yang berarti tidak boleh lepas penjagaan dan kontrol dari negara untuk memberi jaminan makanan yang halal, mengingat muslim sebagai penduduk mayoritas. Dengan demikian, keinginan pemerintah menyegarkan iklim investasi harus dilandasi dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para pekerja dan konsumen muslim.

Isu terhapusnya hak-hak dan perlindungan bagi pekerja, serta perlindungan konsumen muslim dari makanan yang tidak halal hanya sebagian dari contoh betapa perbincangan pembahasan RUU ini masih terkesan lebih berfokus pada bagaimana bisa membuka keran investasi seluas-luasnya tapi abai pada perlindungan bagi masyarakat.

Sehingga, alih-alih pemerintah melakukan penyegaran investasi, dengan menyederhanakan dan memfasilitasi bagi para investor, keberpihakan dukungan dan perlindungan pada masyarakat Indonesia harus lebih diutamakan, dan tidak dikalahkan hanya demi perluasan investasi.

Perlu Penerapan Aturan Islam

Perkembangan teknologi telah menciptakan aneka produk olahan yang kehalalannya diragukan. Banyak dari bahan-bahan haram terebut yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada berbagai produk olahan, karena dianggab lebih ekonomis. Akibatnya kehalalan dan keharaman sebuah produk seriangkali tidak jelas karena bercampur aduk dengan bahan yang diragukan kehalalannya. Hal ini menyebabkan berbagai macam produk olahan menjadi syubhat dalam arti meragukan dan tidak jelas statusnya.

Salah satu persoalan cukup mendesak yang dihadapi umat adalah membanjirnya produk makanan dan minuman olahan, obat-obatan dan kosmetika. Sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. 

Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut: 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Yang artinya; Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. 
(QS Al-Baqarah : 168)

Berdasarkan ayat tersebut, penting diketahui bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini yang merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah dengan dibekali seperangkat akal, sudah seharusnya dapat memilih dan mengetahui makanan yang baik serta halal bagi jiwa, raga dan kesehatannya.

Dalam lingkup yang luas,  sebagai warga negara yang mayoritas muslim, maka diperlukan peran negara sebagai penjamin kehalalan produk yang akan menjadi bahan konsumsi warganya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya negara wajib memiliki standarisasi halal bagi konsumen.Yakni memberi kepastian, perlindungan, dan ketenangan terutama umat Islam. 

Maka standarisasi makanan halal sangat penting dan berpengaruh bagi umat Islam dalam mengkonsumsi. Maka, negara harus mewadahi dalam menjaga standarisasi produk makanan halal. Hal ini karena logo halal berfungsi sebagai penjelasan kepada konsumen. Sebab, pada dasarnya seluruh akar permasalahan terkait sertifikasi halal pada produk obat maupun bahan baku dan perangkat teknologinya, bermuara pada pemerintah yang harusnya memiliki kesadaran penuh terhadap kepengurusan rakyat. 

Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membuat regulasi yang benar terkait pemberlakuan halal dan haram bagi kepentingan rakyatnya. Hal itu diwujudkan dengan memperketat lalu lintas impor barang dengan pemberian standar jaminan kehalalan dan kualitas. Disini, rakyat lebih membutuhkan jaminan halal, bukan sertifikasi halal semata. 

Oleh sebab itu, agar kemaslahatan umat dapat berjalan dengan kaidah yang benar, maka perlu wadah yang dapat menaungi secara sempurna, yakni Khilafah yang merupakan suatu sistem terbaik bagi peri'ayahan umat. Sebab, khilafah hanya menggunakan hukum syariat sebagai standar kepengurusan umat. Sayangnya, kehidupan bernegara di Indonesia saat ini masih menggunakan sistem kapitalisme, sehingga sulit mewujudkan keadilan yang merata bagi seluruh rakyatnya. 

Wallahu a'lam.