Darurat Virus Corona dan Kebutuhan Dunia pada Khilafah
Oleh: Rini Syafri (Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik)
Tragis, wabah kuman baru kembali menghantui dunia (pandemi). Kali ini, oleh virus corona baru (2019-nCoV) penyebab infeksi seperti pneumonia. Karakteristik genetik 2019-nCoV sudah terkonfirmasi mampu menularkan di antara sesama manusia. Menjadikan seluruh dunia juga Indonesia hari ini berisiko mengalami nasib serupa dengan masyarakat Kota Wuhan,
Kota di Provinsi Hubei yang merupakan pusat industri dan riset terluas di Tiongkok berubah seperti kota mati sejak diisolasi pihak otoritas Tiongkok pada tanggal 23 Januari 2020.
Penyebaran pertama di Wuhan, dan kasus yang dikonfirmasi secara berturut-turut dilaporkan di 32 provinsi, kota, dan wilayah administrasi khusus di Cina, termasuk Hong Kong, Makau, dan Taiwan.
Virus yang secara genetik mirip dengan penyebab SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) ini pun dengan cepat tersebar ke wilayah geografis yang luas.
Dimuat dalam laman WHO, bahwa dalam sebulan (hingga Jumat, 31/1/2020) sedikitnya sudah tersebar ke 18 negara, sedikitnya 7.794 orang terinfeksi, dan ratusan di antaranya terbunuh dengan kejadian terbesar di Wuhan. Diperkirakan para ahli angka sesungguhnya jauh lebih besar.
Harus Segera Diakhiri
Penting dicatat, ini bukanlah kali yang pertama dunia juga Indonesia dihantui dan dibuat sengsara oleh kemunculan wabah baru. Wabah dari keluarga corona saja selama satu dekade terakhir sudah tiga kali terjadi.
SARS oleh SARS-CoV pada tahun 2002 -2003 silam menginfeksi setidaknya 8.096 orang dan 774 di antaranya terbunuh. MERS pada tahun 2012 oleh MERS-CoV yang menginfeksi sedikitnya 44 orang dan 22 di antaranya terbunuh.
Belum lagi wabah penyakit lain seperti Ebola di Afrika, wabah flu burung H5N1, H1N1, dan sejumlah wabah baru seperti HIV/AIDS Yang asal muasalnya masih menjadi teka-teki di kalangan banyak ilmuwan.
Di tengah tingginya angka kesakitan berbagai penyakit menular lainnya, seperti TBC, Malaria, dan Diare. Jadi, kemunculan yang berulang inilah yang patut menjadi perhatian serius pemerintah dan dunia.
Ini di satu sisi, di sisi lain meski para ahli berselisih tentang tingkat bahaya 2019-nCoV dibandingkan MERS-CoV dan SARS-nCoV, namun ancaman pandemi (wabah yang mendunia) 2019-nCoV di depan mata.
Sebab, penelitian para ahli menunjukkan 2019-nCoV tidak saja berbeda dari aspek karakteristik gejala klinis yang ditimbulkan, namun juga sifat genetiknya yang tidak lagi sebagai zoonosis (penularan dengan inang perantara hewan).
Terindikasi 2019-nCoV dapat menular antarmanusia dan mungkin menjadi lebih ganas. Hal ini mengingatkan pada pandemi influenza pada 1918 yang diperkirakan memiliki rasio fatalitas kasus kurang dari 5%, tetapi berdampak serius karena penularan yang meluas.
Kelalaian Pemerintah dan Akar Penyebabnya
Sangat disesalkan, terbukti pemerintah lalai. Tampak dari kecerobohan terhadap sumber wabah, ketergantungan pada WHO, serta ketidaksungguhan mengupayakan pencegahan dan pengobatan.
Kecerobohan terhadap sumber wabah tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, sejak dari terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini.
Pemeriksaan suhu di bandara serta pelabuhan dan tindakan apa pun itu, tetapi dengan tetap mengizinkan pendatang dari Cina masuk ke Indonesia justru memfasilitasi terjadinya wabah di Indonesia.
Sebab, riset terkini yang dimuat di The Lancet, menunjukkan penderita infeksi 2019-nCoV bisa hanya dengan gejala ringan bahkan tanpa gejala. Karena begitu sulitnya mendeteksi pengidap infeksi 2019-nCoV, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah pencabutan visa bebas kunjung bagi warga negara Cina.
Kelalaian pemerintah berikutnya adalah begitu percaya bahkan pembebek setia WHO, yang ketulusan WHO sendiri dalam banyak peristiwa sangat patut dipertanyakan. Juga terbukti pada kasus 2019-nCoV dengan menyatakan wabah 2019-nCoV belum menjadi persoalan dunia sementara indikasi ke arah itu begitu kuat.
Meski pada akhirnya ia mengakui kesalahan fatal tersebut sebagaimana diwartakan Channel News Asia, Selasa (28/1/2020), dan pada Kamis (30/1/2020) dinyatakannya dunia dalam bahaya (Forbes.com, Kamis, 30/1/2020).
Terlebih lagi, begitu banyak bukti bahwa WHO hanyalah berdedikasi bagi kepentingan hegemoni dan korporasi raksasa farmasi dunia milik negara-negara kafir penjajah (ghwatch.org). Sudah menjadi rahasia, kemunculan wabah baru seringkali diikuti dengan penjualan vaksin yang harganya selangit, ini belum berbicara apakah vaksin itu benar-benar ampuh sebagai pelindung atau justru menjadi silent killer. Bahkan, berdasarkan kejadian serupa yang sudah-sudah, kemunculan wabah baru identik dengan ketergantungan dunia pada korporasi industri farmasi, obat-obatan, dan vaksin.
Juga, sangat disesalkan ketidaksungguhan pemerintah dalam upaya pencegahan dengan peningkatan imunitas masyarakat melalui asupan bergizi. Sebab, nyaris tanpa tindakan, jauh dari langkah antisipatif, praktis produktif yang berbuah kebaikan pada setiap individu masyarakat.
Ia menyatakan, “Ini termasuk self-limited disease’ artinya bisa disembuhkan sendiri, karena itu jaga nomor satu jaga imunitas tubuh itu yang paling penting.” Sembari menyampaikan beberapa hal yang bisa menurunkan daya tahan tubuh seperti asupan gizi (Antaranews.com).
Di saat yang bersamaan ada puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia yang miskin. Dan, kemiskinan itu sendiri identik dengan buruknya akses pada segala aspek yang penting bagi peningkatan daya tahan tubuh. Seperti asupan bergizi, sanitasi dan air bersih, tempat tinggal dan perumahan yang sehat.
Ini semua jelas-jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk penyelesaiannya. Ini di satu sisi. Di sisi lain, angka kesakitan berbagai penyakit menular yang menjadi faktor risiko kematian 2019-nCoV begitu tinggi, seperti TBC, HIV, dan malaria.
Kelalaian itu juga tampak pada upaya pengobatan. Karena efektivitas kemampuan fasilitas kesehatan di Indonesia terbatas pada jumlah tertentu. Sebagaimana ditegaskan Tri Yunis Miko Wahyono, Ketua Departemen Epidemiologi di Universitas Indonesia, “Dari 100 rumah sakit, paling banyak rata-rata masing-masing merawat 3 pasien, jadi sekitar 300 pasien yang mampu di rawat di rumah sakit isolasi itu.”
Lebih lagi, tambah Miko, jika jumlah pasien terus bertambah, ada kemungkinan pihak rumah sakit mengalami kekurangan peralatan bagi petugas kesehatan, seperti pakaian pelindung. (bbc.com).
Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah 2019-nCoV. Yang bila ditelisik secara mendalam semua kelalaian itu berpangkal dari berbagai paradigma batil sekuler yang menyandera pemerintah. Baik yang terhimpun dalam konsep good governance, maupun aspek-aspek lain.
Yang semua itu berpangkal dari kehadiran rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sementara itu, membebaskan Indonesia dan dunia dari ancaman pandemi kuman mematikan merupakan persoalan yang mendesak.
Khilafah: Solusi Sahih, Praktis, dan Segera
Islam memiliki kekayaan konsep dan pemikiran cemerlang yang bersifat praktis. Terpancar dari akidah Islam yang sahih dan mengalir dari telaga kebenaran Alquran dan Sunah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Bahkan telah teruji kemampuannya di seluruh penjuru dunia selama puluhan abad.
Sehingga, baik di tataran teoretis maupun praktis, hanya paradigma dan konsep-konsep Islam berupa syariah kafah satu-satunya pembebas Indonesia dan dunia dari penderitaan ancaman global berbagai wabah juga wabah 2019-nCoV yang mematikan.
Berwujud sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam, yakni khilafah, yang bila diterapkan secara praktis akan menjadi solusi segera yang dapat dirasakan dunia kebaikannya. Berikut sejumlah paradigma dan konsep Islam tersebut.
Pertama, negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV.
Yang demikian itu karena fungsinya yang begitu vital, sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Sementara kemudaratan atau bahaya itu sendiri apa pun bentuknya wajib dicegah, sebagaimana tutur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan Khudri ra, artinya: “Tidak ada mudarat (dalam Islam) dan tidak boleh menimbulkan mudarat (penderitaan).”
Sehingga haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apa pun alasannya.
Kedua, negara wajib melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah.
Yang pada kasus ini adalah Cina– karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur melalui lisannya yang mulia, “Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, bebas dari agenda imperialisme karena diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala apa pun bentuknya.
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al Maidah: 141) Sehingga, wajib mandiri dalam menyikapi wabah, tidak bergantung pada negara kafir penjajah dan lembaga yang menjadi kuda tunggangannya, yakni WHO.
Keempat, negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan.
Baik untuk tujuan pencegahan dan mengatasi wabah sesegera mungkin, maupun untuk tujuan menimbulkan rasa sungkan dan takut bagi negara kafir penjajah pelaku kejahatan agenda hegemoni senjata biologi, sebagaimana diperintah Allah subhanahu wa ta’ala, yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”.
Kelima, negara wajib melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat.
Berupa pembagian segera asupan bergizi kepada setiap individu masyarakat terutama yang miskin. Di samping menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan publik yang semua itu penting bagi terwujudnya sistem imun yang tangguh.
Baik pangan bergizi, sanitasi dan air bersih hingga perumahan dan pemukiman yang sehat. “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Keenam, ketersediaan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai lagi mudah diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun.
Di samping itu juga disertai kelengkapan alat kedokteran dan obat-obatan terbaik yang efektif bagi penangan masyarakat yang dicurigai dan atau terinfeksi wabah termasuk 2019-nCoV. Pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara cuma- cuma.
Ketujuh, anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak.
Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat. Sehingga negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya termasuk fungsinya sebagai pembebas dunia dari penderitaan bahaya wabah.
Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pencegahan dan penanggulangan pelayanan kemaslahatan masyarakat, yang dalam hal ini untuk sesuatu yang ketiadaannya berakibat kemudaratan, maka wajib diadakan negara.
Bila dari pemasukan rutin tidak terpenuhi, diatasi dengan pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Kedelapan, kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi.
Ditegaskan oleh Rasulullah saw yang artinya, “Apabila dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”. Aspek ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai untuk pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dalam penanggulangan dan pembebasan dunia dari serangan wabah mematikan.
Pelaksanaan prinsip sahih ini beserta keseluruhan ketentuan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah, bersamaan pemanfaatan teknologi terkini meniscayakan segera terwujud Indonesia dan dunia yang bebas dari serangan berbagai wabah mematikan.
Selanjutnya akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh alam, sebagai janji yang pasti dari Allah subhanahu wa ta’ala, artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107).
Pada tataran inilah, kembali pada pangkuan syariah kaffah, khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Lebih dari pada itu, khilafah adalah syariat Allah SWT yang diwajibkan pada kita semua.
_____
Sumber : https://www.muslimahnews.com/2020/02/03/darurat-virus-corona-dan-kebutuhan-dunia-pada-khilafah/
Posting Komentar