Awas Tertipu dengan Akalmu
Banyak alasan mengingkari kebenaran. Mulai dari kejahilan akal manusia, menuruti hawa nafsu, hingga terperangkap dalam jebakan tipu daya setan yang licik.
Bisa dikata sepanjang perjalanan hidup manusia, sebentang itu pula perseteruan antara kebaikan dengan keburukan.
Tapi satu yang pasti, kehancuran itu ditimpakan kepada pendukung keburukan sedang kejayaan bagi penegak kebenaran.
Allah berfirman:
وَعَاداً وَثَمُودَ وَقَد تَّبَيَّنَ لَكُم مِّن مَّسَاكِنِهِمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ
“(Juga) kaum ‘Ad dan Tsamud. Sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al-Ankabut [29]: 38).
Secara eksplisit, ayat di atas mengungkap fenomena “tipu-tipu” dengan menyebut kaum Ad dan Tsamud sebagai “mustabshirin” (orang-orang yang berpandangan tajam).
Setidaknya ada dua makna dari kata tersebut, kata Ibnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah (Ra), pengarang Tafsir Jami’ al-bayan fi Ta`wil al-Qur’an.
Pertama, orang-orang yang punya pandangan tajam dalam urusan kesesatan.
Mereka menjadi pakar sekaligus bangga dalam urusan maksiat tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Mujahid, ahli tafsir lainnya.
Kedua, orang-orang itu disebut berpandangan tajam karena mereka sesungguhnya sangat mengerti tentang kebenaran.
Al-Farra’ menjelaskan, orang tersebut berakal cerdas dan punya nalar yang kuat. Pandangannya tajam serta analisisnya kuat.
Pendapat kedua ini tampak diamini oleh ath-Thabari. Ia berkata, tidaklah orang itu berpandangan tajam, kecuali sebelumnya memahami hakikat dan seluk beluk sesuatu.
Namun sejatinya, di sinilah letak persoalan tersebut. Sejak awal manusia diberi akal dan nalar untuk berfikir dan berilmu.
Tapi ilmu yang menjadikannya dianggap pintar itu justru menjadikannya buta terhadap hidayah.
Wawasan pengetahuannya terbilang luas oleh orang lain. Menjadi pakar dalam berbagai permasalahan dunia bahkan agama.
Segala urusan banyak diketahui secara mendetail. Orang-orang pun sampai merujuk kepada dirinya.
Tapi ketahuilah, demikian itu bukan standar nilai yang esensial di hadapan Allah.
Kecuali jika bertambahnya ilmu tersebut membuatnya kian bersimpuh sujud kepada Yang Mahaluas Pengetahuan-Nya.
Lebih jauh, al-Maraghi Rahimahullah (Ra) menguatkan, ilmu yang jauh dari bimbingan Allah membuatnya makin mudah diperdaya oleh bujuk rayu setan.
Sebab dasarnya, setan itu menjadikan indah setiap keburukan yang dilakukan. Pegangannya rapuh, hanya mengandalkan nalar dan berbasis akal atau perasaan semata.
Tak heran, orang-orang yang jauh dari agama biasanya gampang ujub (bangga terhadap diri sendiri) dan takabbur (meremehkan orang lain).
Akibatnya, ilmu yang dipunyai tidak meninggalkan jejak maslahat (kebaikan) bagi lingkungan sekitarnya.
Kebenaran baginya adalah apa yang dipandang baik dan sesuai dengan yang dimauinya.
Alih-alih berbagi manfaat, orang-orang di sekelilingnya malah merasa resah dan tak betah bergaul dengannya.
Bahkan ia pun, di saatnya nanti, juga merasakan kegelisahan yang sama. Sebab apa yang dipunyainya selama ini ternyata hanya berujung kepada kebahagiaan semu.
Sumber : Hidayatullah
Posting Komentar