-->

Tata Ruang Proaktif


Tata Ruang yang proaktif ini dalam pengalaman penulis beberapa tahun memeriksa peta RDTR, nyaris belum pernah ada. Kapasitas kita dalam membuat rencana sering baru setahun ke depan yang tertuang dalam APBN/APBD.
________________________________________

Tata Ruang Proaktif 

Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar (Profesor Riset Sistem Informasi Spasial – BIG)

Presiden Jokowi sudah bertekad memberikan iklim yang lebih kondusif untuk investasi. Karena itu berbagai aturan yang selama ini dianggap menghambat investasi akan dipangkas, yang mendukung investasi akan dipercepat. Salah satu idenya adalah Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). Perizinan Berusaha akan diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

Salah satu komponen dalam OSS adalah Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang baik. Bila RDTR semua dibuat dengan rapi, adil dan mentaati segala kaidah dan metode ilmiah spasial yang benar, maka mungkin benar, AMDAL seperti selama ini tak perlu lagi. Semua sudah menyatu dengan RDTR. Bukankah dalam RDTR, zonasi sudah memperhitungkan daya dukung lingkungan?

Oleh karena itu bila suatu zona sudah diperuntukkan untuk industri, maka permohonan izin industri cukup melihat apakah lokasinya didalam zona atau tidak. Dan proses semacam ini bisa diserahkan kepada mesin. Investor bahkan cukup mencoba-coba secara online sebelum memutuskan untuk mengajukan permohonan. Setidaknya ini secara teori.

Kenyataannya, saat ini penyusunan RDTR lebih sering seperti “Mission Impossible”.

===

RDTR wajib disusun pada peta dasar skala 1:5.000. Ini skala yang sangat besar, yang cakupannya di Indonesia untuk kawasan non hutan baru sekitar 5%. Sampai kira-kira lima tahun yang lalu, Indonesia mencukupkan diri dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang untuk kabupaten cukup berskala 1:50.000 dan untuk kota 1:25.000. Untuk skala menengah seperti ini cakupan kita sudah 100%, meskipun tingkat kemutakhirannya beragam, dari 5 sampai 25 tahun!

Kekurangan ini dipenuhi dengan citra tegak satelit resolusi sangat tinggi (CTSRST) terbaru yang didigtasi unsur-unsur rupabumi aktualnya, terutama unsur garis pantai, perairan, perhubungan dan utilitas, dan permukiman. Kalau peta dasar ini sudah terpenuhi, maka pemerintah daerah dapat melangkah ke tahap berikutnya yaitu mengadakan aneka peta tematik.

Peta tematik ini kewenangannya ada pada instansi sektoral. Contohnya, peta hutan pada Dinas Kehutanan, peta curah hujan pada BMKG, peta penguasaan tanah pada BPN dan peta kepadatan penduduk pada BPS. Persoalannya, data dari sektoral ini kadang sudah lama belum dimutakhirkan. Tingkat ketelitian datanya juga sering belum cocok untuk skala 1:5.000. Namun ya adanya itu.

Peta rawan bencana dari BPBD misalnya, sering tidak tersedia untuk level desa, sehingga bisa jadi seluruh wilayah kabupaten diblok sebagai rawan banjir. Padahal pasti masih banyak tempat-tempat yang tidak rawan tergenang.

===

Di Indonesia, menurut PP 8 / 2013, seluruh Raperda RDTR beserta peta-petanya wajib mendapat rekomendasi Badan Informasi Geospasial (BIG) sebelum diperdakan. Selain memeriksa bahwa peta dasar dan peta tematik yang dipakai sudah memenuhi syarat, BIG juga memerika bahwa peta rencana yang dibuat memenuhi syarat dan sesuai dengan narasi Raperda.

Di sinilah masih sering didapatkan daerah yang kesulitan membuat peta rencana. Peta rencana sering tanpa rencana, karena bersifat reaktif untuk melegitimasi kondisi eksisting. Padahal RDTR dibuat untuk 20 tahun ke depan. Apakah wajar bila dalam kurun yang panjang ini tak ada satupun ruas jalan baru yang akan dibangun?

Kita memang tidak dibekali kemampuan supranatural untuk melihat masa depan. Namun kita dibekali akal budi untuk merancang masa depan kota kita. Dalam 20 tahun ke depan, penduduk kita akan menjadi berapa? Mereka akan disiapkan bermukim di mana? Bekerjanya di mana? Sekolahnya di mana? Juga puskesmasnya, tempat ibadahnya, tamannya, bahkan makamnya?

Bagaimana dengan jalannya? Jaringan drainasenya? Apakah air tanahnya akan cukup? Bagaimana nanti Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau Tempat Pembuangan Akhirnya?

Tata Ruang yang proaktif ini dalam pengalaman penulis beberapa tahun memeriksa peta RDTR, nyaris belum pernah ada. Kapasitas kita dalam membuat rencana sering baru setahun ke depan yang tertuang dalam APBN/APBD.

Ketidakpastian karena perubahan politik lokal maupun nasional masih besar. Ditambah belum banyak ahli tata ruang di daerah, baik di kalangan birokrasi maupun di kalangan swasta yang menjadi rekanan pemerintah daerah.

—————————————
Sumber : Muslimah News ID