-->

Sudah Benarkah Ibadah Kita?



Oleh : Ustadz Taufik NT

Orang yang berjualan senantiasa berpikir tentang barang dagangannya, kira-kira diterima pasar ataukah tidak. Seorang pekerja biasanya juga akan berpikir apakah pekerjaannya akan dinilai bagus oleh majikannya, namun pernahkah kita berpikir kalau ibadah yang kita lakukan selama ini? Apakah akan diterima, diberi pahala, ataukah justru menyebabkan kita mendapat siksa?.
.
Tidak sedikit orang yang beribadah seperti ‘kejar setoran’, tidak dilakukan dengan sepenuh jiwa, tergesa-gesa, dan yang dipikirkan adalah bagaimana agar cepat selesai. Disatu sisi tahan nonton bola berjam-jam dengan khusyu’ di depan televisi, namun giliran saat shalat imamnya membaca ayat yang agak panjang dari biasanya, hati sudah gelisah, bahkan tidak jarang yang batuk-batuk walaupun tidak sakit tenggorokan.
.
Syaikh Abdul Qâdir Al Jîlâny (w.561 H), dalam kitabnya, Al Ghun-yah, juz 1 hal 9 menyatakan bahwa suatu ibadah dikatakan benar jika terpenuhi syarat-syaratnya, dan yang terpenting ada tiga hal; cinta (al hubb) kepada Allah dan Rasul-Nya, takut (al khauf), dan berharap (al raja’) kepada Allah. Kecintaan kepada Allah akan memurnikan amal ibadah dari kepentingan individu atau kepentingan duniawi, sebagaimana seorang pecinta akan fokus perhatiannya kepada yang dicintainya. Rasa takut kepada Allah akan menjadikan seorang mukmin tidak takut kepada yang lain, tidak akan berani melakukan aktivitas yang tidak diridhai Allah swt baik saat sendirian atau ramai, dan tidak akan peduli dengan celaan para pencela. Adapun raja’ (harapan) kepada Allah akan menjadikan seorang mukmin beraktivitas untuk meraih apa yang dijanjikan untuknya, dengan iman, kecintaan dan rasa takut kepada-Nya.
.
Hanya saja, tidak sedikit yang sudah merasa memenuhi ketiga kriteria tersebut, mengaku cinta, takut dan harap kepada Allah, namun kenyataannya bertolakbelakang. Seseorang tidak bisa dikatakan mencintai Allah kalau hatinya tidak ingin mentaati-Nya, tidak ridha dengan syari’ah-Nya, bahkan mencari-cari alasan agar syari’ah-Nya tidak diterapkan, sebagaimana pernyataan Al-Zujaj (w. 311 H), “Cintanya manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya dan ridha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw.” Sementara al Baidhawi (w. 685 H) berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat.”.
.
Begitu pula, seseorang belum benar rasa takutnya kepada Allah kalau ternyata justru dia melakukan ‘perang’ terhadap aturan-aturan Allah dan rasul-Nya, abai terhadap amanah yang dibebankan Allah dipundaknya, atau dia lebih takut kepada makhluk dari pada kepada Allah.
.
Seseorang juga tidak bisa dikatakan berharap (raja’) kepada Allah kalau tidak dibarengi dengan kesungguhan beramal baik, harapan tanpa disertai dengan usaha hanya pantas disebut sebagai angan-angan (amâni). Berkata Imam al Hasan al Bashri (w. 110 H): diantara manusia ada golongan yang mereka terbuai dengan angan-angan (akan mendapat ampunan) hingga akhirnya mereka keluar dari dunia tanpa membawa kebaikan. Salah seorang diantara mereka berkata: “aku telah berprasangka baik terhadap tuhanku”, dia berdusta! jika memang dia telah berprasangka baik tentunya dia juga akan beramal baik, kemudian dia membaca ayat ke 23 surat Fushshilat:

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (Tafsir Al Qurthubi, juz 15 hal 353). Allahu A’lam. []
___________
Sumber : Wadah Aspirasi Muslimah