-->

Pemerintah Cabut subsidi, Rakyat Gigit Jari

Oleh : Mysha Azzaida (Pemerhati Sosial)

Pemerintah memutuskan mencabut sejumlah alokasi subsidi. Beragam alasan pun dilontarkan. Seperti  mengalokasikan subsidi kepada yang berhak alias masyarakat kurang mampu hingga dana subsidi akan dialihkan untuk pembangunan. Pahit memang, di awal periode kepemimpinan kedua Joko Widodo sebagai presiden, Jokowi telah merombak berbagai aturan tentang pengendalian subsidi ini. Jika sebelumnya premium menjadi sasaran, kini gas 3 kg dan listrik bersubsidi mulai dilirik sebagai target berikutnya. 

Melansir dari katadata.co.id. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengubah skema subsidi harga gas elpiji 3 kilogram mulai semester II 2020. Nantinya, subsidi tidak akan diberlakukan untuk memangkas harga barang, melainkan diberikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.

Salah satu yang dipertimbangkan adalah kompensasi dalam bentuk uang. Dengan demikian, harga liquid petroleum gas (LPG) akan disesuaikan dengan harga pasar, sekitar Rp 35.000 per tabung. Tetapi, masyarakat miskin akan menerima kompensasi dalam bentuk uang atas selisih kenaikan harga gas tersebut.

Penyaluran subsidi secara tertutup ini dilakukan untuk mencegah kebocoran. "Maksudnya subsidi tertutup, kami identifikasi dulu kira-kira siapa yang memang berhak menerima. Mereka yang terdaftar tetap bisa menerima subsidi itu," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (17/1)

Demikian pula dengan penyesuaian tarif listrik. Dilansir melalui Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunggu penyelesaian pendataan ulang golongan ‎pelanggan listrik 900 Volt Amper (VA) Rumah Tangga Mampu (RTM). Ini sebelum subsidi pelanggan tersebut dicabut pada awal 2020.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pencabutan subsidi listrik 900 VA ‎RTM memang akan diterapkan pada 2020. Sebab sudah menjadi kesepakatan pemerintah dengan DPR dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020. (27/11/2019)

Lantas bagaimana nasib rakyat bila negara mencabut perlindungan terhadap warganya, di tengah perekonomian yang lesu, sudah dapat dipastikan, rakyat akan semakin terhimpit kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Nampaknya negeri ini berada di ambang kehancuran akibat salah kelola harta negara. 

Dinamika Persoalan Subsidi

Berbagai alasan pemerintah mengenai polemik tarik subsidi,  dengan dalih tak ingin  membebani APBN, sepertinya memang menjadi cikal bakal pencabutan berbagai subsidi tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah terang-terangan tengah menerapkan ekonomi liberal. 

Memasuki era milenial, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia justru condong ke arah liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu:

Pertama, dihapuskannya berbagai subsidi pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar. Kedua, nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar. 

Ketiga, privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing. Ke empat, Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global. 

Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas. 

Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah menyengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terabaikan. Beban mereka semakin berat akibat negara lepas tangan.  

Pada akhirnya, beban berat masyarakat nampaknya kian hari kian bertambah. Naiknya harga bahan pokok, rendahnya daya beli masyarakat dan semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta semakin meningkatnya angka pengangguran menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat semakin sulit. Apalagi pemerintah kembali akan mencabut subsidi gas, setelah sebelumnya mencabut subsidi listrik.

Meskipun pemerintah berdalil bahwa hal ini dilakukan demi kebijakan subsidi berkeadilan, namun tetap saja, rakyat harus membayar lebih mahal dari biasanya. Oleh sebab itu, ada baiknya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan cabut subsidi ini. Sebab lagi-lagi masyarakatlah yang langsung merasakan  kesengsaraannya.

Islam VS Kapitalisme

Islam berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka.

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang.

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan.

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat.

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS al-Hasyr [59] : 7).

Nabi saw. telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. Subsidi tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Karena itu, hasil tambang seperti minyak, gas, emas, perak, dll memang milik umum (milkiyah 'amah) dan digunakan untuk kepentingan rakyat. 

Dalam ilmu ekonomi, migas termasuk barang yang memiliki karakteristik inelastis sempurna, artinya kenaikan harga migas tidak akan mempengaruhi permintaan; kalaupun ada tidak signifikan. Karena itu, kalau migas ini dikuasai oleh sekelompok kecil orang atau swasta akan menciptakan pasar monopoli yang berorientasi laba. Akibatnya, keuntungan dan manfaatnya hanya dinikmati oleh para investor, bukan dinikmati oleh negara, bukan pula oleh masyarakat. 

Oleh sebab itu, secara ekonomi migas merupakan harta publik yang harus dikuasai oleh negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh sektor perekonomian nasional dengan kuantitas yang cukup dan harga yang terjangkau. Karena itu pula, wajar di beberapa negara bahkan negara kapitalis sekalipun migas atau energi ini menjadi barang strategis yang dikendalikan oleh negara. 

Dalam Islam, kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum yakni, Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dll.)

Kedua, berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya. Ketiga, barang tambang yang depositnya melimpah dalam jumlah besar seperti sumberdaya mineral (garam, besi, emas, perak, timah, dll). 

Dalam pandangan Sistem Ekonomi Islam, bahan bakar minyak dan gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umun atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh negara. Islam menetapkan bahwa kekayaan alam seperti gas, minyak, barang tambang, dsb. sebagai milik umum; milik seluruh rakyat. Kekayaan alam itu tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang atau pihak swasta. Rasulullah saw. bersabda:

« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“ (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)

Kata "api" pengertiannya mencakup sumber energi, termasuk gas. Artinya Islam menetapkan gas sebagai milik umum, milik seluruh rakyat.

Maka berdasarkan hasil uraian diatas, hanya sistem ekonomi Islamlah yang memiliki strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang mampu menyeimbangkan neraca anggaran belanja negara dan menyejahterakan rakyat tanpa harus mencabut subsidi. Oleh sebab itu, sudah saatnya negeri ini beralih dari sistem warisan penjajah menuju sistem mulia yang bersandar pada syariah. 

Wallahu a'lam.