-->

Mimpi Sejahtera Buruh di Rezim Kapitalis

Mimpi Sejahtera Buruh di Rezim Kapitalis

Oleh: Iffah Ainur Rochmah

KOMENTAR POLITIK – Omnibus Law yang akan merevisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan menuai reaksi. Diperkirakan sebanyak 100 ribu massa dari seluruh provinsi di Indonesia akan turun dalam aksi menolak omnibus law tersebut.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan aksi unjuk rasa akan berlangsung pada 16 Januari 2020 mendatang di depan Gedung DPR/MPR RI. Salah satu tuntutan KSPI adalah terkait wacana perubahan sistem upah menjadi per jam. Bila aturan ini diterapkan, Pemerintah secara tidak langsung berencana menghapus prinsip upah minimum.

Padahal, menurut KSPI, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU 13/2003. (Detik.com, 28/12/2019)

Melalui upah per jam artinya gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Misal dalam sebulan bekerja selama 40 jam, gaji yang diperoleh tinggal dikalikan saja 40 dengan gaji per jamnya. Jumlah tersebut adalah upah yang akan diterima setiap bulannya. (CNBC Indonesia, 29/12/2019)


Mimpi Sejahtera Buruh di Rezim Kapitalis

Di awal tahun, ada beragam kado pahit rezim kapitalis sekuler untuk rakyat. Selain harus menjerit akibat naiknya premi BPJS, damri, dan tol, juga ada beberapa kebijakan yang makin menganakemaskan investor dan pengusaha. Sebaliknya, potensial makin menyempitkan peluang rakyat untuk sejahtera secara ekonomi.

Ya, di klaster cipta lapangan kerja Pemerintah sudah menyiapkan RUU Omnibus Law yang akan merevisi 51 pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di antaranya soal pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, jam kerja, rekrutmen tenaga asing, pasal pidana sengketa ketenagakerjaan, hingga sistem pengupahan dengan menghapus Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK).

Omnibus Law adalah satu UU yang memuat regulasi baru untuk merevisi sekaligus beragam atau banyak UU terkait. Makanya disebut UU sapu jagat. Terkait ketenagakerjaan, banyak regulasi yang akan direvisi oleh Omnibus Law ini yang dianggap merugikan pekerja. Karena itu buruh akan protes dan menolak rencana pemberlakuan UU ini.

Ambil contoh, upah didasarkan pada jam kerja –bukan upah borongan sebagaimana selama ini berjalan– ditolak buruh karena menghilangkan kepastian pendapatan buruh setiap bulannya. Lainnya, penghapusan UMK dan UMSK, padahal kebijakan turunan UMR ini dianggap adalah campur tangan nyata negara untuk memberi jaminan pada buruh agar beroleh upah yang memadai untuk hidup di kota tertentu yang biayanya living cost-nya relatif tinggi.

Dengan penghapusan ini, negara dianggap lepas tangan dari tanggung jawab terhadap kemampuan buruh memenuhi kebutuhan hidup dengan standar layak. Dan menyerahkan nasib buruh pada mekanisme pasar.


KEBIJAKAN-kebijakan ini memang sangat zalim dan realitasnya lebih mendengar aspirasi pengusaha dibanding harapan kaum buruh. Apalagi bila dikaitkan dengan omnibus lain soal regulasi pajak, yaitu pengusaha akan mendapat banyak insentif pajak. Jelas menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat.

Bayangkan, pemerintah banyak memenuhi tuntutan pengusaha untuk mengurangi biaya produksi agar keuntungan mereka maksimal, bila tidak pengusaha dan investor akan hengkang pindah usaha ke negeri lain.

Sementara kaum buruh makin tercekik dengan harga-harga membumbung tinggi akibat inflasi, bersaing dengan buruh asing di lapangan kerja yang makin sempit, pajak di semua lini, dan makin tak terjangkaunya kebutuhan rumah, pendidikan berkualitas, dan kesehatan bagi seluruh keluarganya.

Sadarlah, ketidakadilan ini terjadi karena berlakunya sistem kapitalistik. Tidak terjadi dalam sistem Islam.

Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu melalui mekanisme bekerja:

1) Membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan SDAE yang ditangani oleh negara, bukan diserahkan pada investor;

2) Khilafah juga memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pension. Ini mekanisme yang fairtanpa merugikan kedua belah pihak;

3) Negara menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha. Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan;

4) Negara dilarang menjadi tukang palak yang banyak memungut pajak dan retribusi di segala lini. Negara dalam Islam adalah daulah riayah bukan daulah jibayah.

Inilah sistem yang hari ini dibutuhkan kaum buruh, yang menghadirkan peran negara secara utuh untuk menjamin terpenuhinya hajat asasi rakyat. Bukan hanya hadir untuk meregulasi hubungan harmonis tanpa konflik antara buruh dan pengusaha.

Buruh menolak rencana pemerintah menetapkan upah berdasar jam kerja, karena secara logika itu akan menurunkan pendapatan mereka. Sementara, tanggungan hidup buruh berat sekali dan makin berat di tahun depan.

Sandang pangan papan dikapitalisasi sehingga makin tak terjangkau. Belum lagi transportasi, energi/BBM dan listrik. Buruh juga menanggung bersama pengusaha biaya kesehatan, pendidikan, dan jaminan hari tua. Belum lagi pajak yang makin menjerat di seluruh lini.

Dalam Islam, ada dua model pengupahan: upah berdasar manfaat kerja dan manfaat (kehadiran) orang. Pada model manfaat kerja, dimungkinkan upah dihitung berdasar jam kerja. Bila sebentar bekerja, tentu lebih sedikit upahnya dibanding yang jam kerjanya lebih lama.

Tapi buruh maupun pengusaha dalam sistem Islam tidak perlu terbebani biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan karena semua ditanggung negara yakni Khilafah. Bahkan tidak ada pajak mencekik.

Khilafah haram memungut pajak kecuali dalam keadaan yang dibolehkan syariat. Hanya ada zakat untuk mereka yang memiliki harta sejumlah nishab. Juga kehidupan ekonomi relatif stabil karena tidak ada inflasi permanen yang membuat harga barang meroket. Di dalam sistem inilah nampak keadilan penguasa baik terhadap pekerja maupun pengusaha. [MNews]

Sumber : MuslimahNews.com