-->

Menyoal Sistem Pemerintahan Sang Negarawan Sejati


Oleh : Ummu Farras (Aktivis Muslimah)

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD kembali meluncurkan pernyataan yang menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Dikutip dari situs resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), nu.or.id, Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW haram hukumnya. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1).

Sebagai seorang muslim, kita harus menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan dalam setiap aspek kehidupan kita. Karena Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang baik.
Allah SWT berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (al-Ahzâb (33) :21)

Rasulullah SAW merupakan teladan mulia. Manusia sempurna yang setiap sifat, akhlak, perbuatan, perilaku dan tutur katanya wajib dijadikan contoh bagi kita umat muslim. Tak terkecuali di bidang politik. Di buku 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart), ia menempatkan Baginda Nabi Muhammad SAW dalam urutan pertama sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia.

"Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi."

Rasulullah SAW merupakan sosok negarawan sejati dan ideal sepanjang sejarah. Keberhasilan Rasulullah Muhammad SAW sebagai negarawan tentu tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh beliau.

Menurut Imam al-Qarrafi (684 H) dalam salah satu karyanya, Anwar al-Buruq fi Anwa’i al-Furuq, setidaknya ada tiga peranan yang dilakukan secara bersamaan oleh Nabi Muhammad Saw yaitu: (1) peran sebagai pengemban risalah Islam (pemimpin umat); (2) peran sebagai kepala negara (pemimpin rakyat); (3) peran sebagai qadhi (hakim) atas setiap sengketa yang terjadi di tengah-tengah warga negara.

Sebagai kepala negara (pemerintahan), tentu Rasulullah Muhammad SAW hanya memerintah dengan Islam, hanya menerapkan syariah Islam, atau hanya merujuk pada wahyu Allah SWT. Dengan itu kepemimpinan Rasulullah SAW sangat jauh dari kezaliman. Sebab kezaliman hanya akan terjadi saat seseorang, khususnya pemimpin, tidak berhukum kepada hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, merekalah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).

Mengenai sistem pemerintahan, sistem pemerintahan atau sistem politik yang diwariskan Nabi SAW adalah Khilafah. Pemimpin yang menjalankannya disebut Khalifah, disebut juga dengan Imam, Amir, Amirul Mukminin, dan Hakim. Salah satu ayat al-Quran yang telah menjelaskan hal tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi,

(وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰۤىِٕكَةِ إِنِّی جَاعِلࣱ فِی ٱلۡأَرۡضِ خَلِیفَةࣰۖ) [سورة البقرة 30]

“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah.'” (al-Baqarah: 30)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Imam al-Qurthuby menggunakan ayat ini sebagai dalil kewajiban pengangkatan khalifah. Agar ia (khalifah) menyelesaikan sengketa di antara manusia, menghentikan pertikaian, menolong yang dizalimi terhadap yang zalim, menegakkan hudud dan mencegah terjadinya kemungkaran. Begitu juga dengan perkara-perkara penting lain yang tidak mungkin bisa ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam. Sesuai dengan kaidah,
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

perkara yang tanpanya kewajiban tak sempurna, maka perkara tersebut adalah wajib.”

Banyak ulama yang sudah menjelaskan tentang Khilafah. Seperti Imam ar-Razi yang menyatakan:

اَلْخِلاَفَةُ أَوْ اْلإِمَامَةُ اْلعُظْمَى أَوْ إِمَارَةُ اْلمُؤْمِنِيْنَ كُلُّهَا يُؤَدِي مَعْنَى وَاحِداً وَ تَدُلُّ عَلَى وَظِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ وَ هِيَ السُّلْطَةُ الْعُلْيَا لِلْمُسْلِمِيْ
Khilafah, Imamah al-Uzhma, atau Imarah al-Mu’minin semuanya memberikan makna yang satu (sinonim), dan menunjukkan tugas yang juga satu (sama), yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum Muslim (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shahihâh, hlm. 186)

Imamah/Khilafah selalu dibahas oleh semua mazhab di dalam Islam. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Abu Zahrah menyatakan:

اَلمذَاهِبُ السِّيَاسِيَّةُ كُلُّهَا تَدُوْرُ حَوْلَ الْخِلاَفَة

Semua mazhab siyasah (selalu) membincangkan seputar Khilafah (Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, 1/21).

Tak satu pun Imam Madzab mengingkari kewajiban untuk menunaikan Khilafah.
Ulama salafus saleh, yang diakui derajat keilmuannya sepakat bahwa menegakkan Khilafah di tengah umat adalah kewajiban. Tak kurang dari Imam Al Qurthubi, An Nawawi, Al Mawardi, dll menyatakan hal ini dengan redaksi yang berbeda. Bukan haram, melainkan wajib.

Mengenai pernyataan tentang keharaman meniru sistem pemerintahan Rasulullah SAW, tentu bukan hak seorang hamba untuk menentukan halal haramnya. Setiap muslim yang sudah terbina pemahaman Islamnya, paham betul hanya Allah SWT yang berhak memberi keputusan hukum atas perbuatan manusia. Maka, kita sebagai manusia yang lemah dan terbatas, masihkah bisa mulut ini lancang melanggar hukum Allah SWT?

Wallahu'alam bisshowwab