-->

Jilbab Tak Wajib? Hermeneutika Wajib Dikritik

Anehnya, sekelompok pemikir liberal yang ada saat ini, telah menunjukkan ketidakmampuan memahami ayat-ayat mulia ini dengan mengadopsi metodologi hermeneutika dalam memahami Al-Qur'an. 
________________________________________

Oleh: Juanmartin, S.Si.,M.Kes

Seiring dengan masifnya kaum orientalis dan musuh-musuh Islam melakukan perang pemikiran, diperparah dengan kian memudarnya memori generasi kaum muslimin abad ini akan penerapan hukum-hukum islam di masa kekhilafahan, telah berakibat pada silaunya generasi muda umat islam terhadap metodologi berpikir sekuler.

Dampak lanjutannya, para pemikir umat islam saat ini mencoba untuk mencangkokkan sekularisme ke dalam pemikiran islam yang sahih. Mereka mencoba untuk mengutak-atik ajaran islam kafah dengan metodologi sekuler. Menerjemahkan sekaligus menafsirkan ayat-ayat Allah berdasarkan tafsir hermeneutika, yang notabene bersumber dari pola pikir sekuler. Alhasil, krisis identitas sebagai umat islam kian tak terelakkan. 

Kalangan islam liberal yang saat ini sebagian besar menyemut dalam naungan rumah kita bersama (rumah kitab), belakangan masif mengkampanyekan tentang tidak wajibnya jilbab bagi muslimah. 

Dikutip dari akun instagram muslimah feminis yang memuat meme yang senada dengan penjelasan pentolan islam liberal, Marzuki Wahid, di sana terlihat bagaimana Ia menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk berjilbab “Jangankan mengenakan Jilbab, masuk Islam saja tidak boleh ada paksaan. Harus dengan kesadaran penuh, dorongan lahir batin untuk menjadi muslim dan muslimah”. Ia lantas mengutip surat Al-Baqarah: 256 yang secara substansi tak ada kaitannya sama sekali dengan masalah Jilbab. 

===

Tak berbeda dengan apa yang disampaikan Marzuki Wahid, Sinta Nuriyah Wahid sebagaimana dikutip dari tempo, pun mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab. Katanya karena memang begitu adanya yang tertulis di AlQur'an jika memaknainya dengan tepat. "Enggak juga (semua muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Al-Qur'an itu secara benar," kata Sinta. 

Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Al-Qur'an secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al Qur'an karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

===

Hermeneutika sesat menyesatkan

Sejak lama, jaringan islam liberal telah mengkampanyekan metode tafsir hermeneutika sebagai metode tafsir yang kontekstual. Kelompok ini beranggapan bahwa orang yang tekstual dalam memahami Al-Qur'an adalah kolot, tradisionalis, dan statis. Anggapan ini bukan tanpa sebab. 

Karena bagi mereka, memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan cara seperti ini telah membawa manusia pada satu sudut pandang mengenai kebenaran Islam yang bersifat final. Pluralisme yang merupakan derivat lain dari pemikiran liberal mereka telah memunculkan penafsiran lain yang menganggap bahwa Islam masih relatif kebenaranya.

Seperti yang dikatakan oleh Badarus Syamsi dalam artikelnya di situs islamlib.com. “Jangan berharap bahwa penafsiran dan upaya pemahaman atas Islam akan sempurna betul, karena kesempurnaan adalah suatu hal yang relatif,” tulisnya. 

Dengan adanya anggapan semacam itu, pada akhirnya mereka seakan mengajukan suatu metode lain untuk menafsirkan Al-Qur’an. Metode yang mereka ajukan tersebut adalah metode hermeneutika, suatu metode yang biasanya digunakan untuk menafsirkan Bibel. 

===

Bukannya mencerahkan, metode hermeneutika ini justru berpotensi menjerumuskan akidah umat Islam, seraya mengutak-atik ayat-ayat Allah dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai bagian dari dinamika sejarah, bukan sesuatu yang bersifat final. 

Salah satu pemikir sekuler islam pengikut tafsir hermeneutika, Fazlur rahman mengungkapkan bahwa memahami pesan alqur’an secara adikuat dan efektif, adalah dengan memahami sisi perkembangan krnologisnya dan bukan pemahaman ayat per ayat, ini sebuah kemutlakan. 

Wajar jika mereka memahami bahwa jilbab adalah budaya, tradisi arab, bukan perintah Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab mereka beranggapan bahwa ayat Allah mengenai jilbab turun disesuaikan dengan cara berpakaian perempuan arab pada saat itu. 

Lucunya, produk yang dihasilkan dari hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Alhasil, dengan hermeneutika, hukum Islam menjadi relatif, tidak ada ada yang pasti. Sudut pandang mereka selalu berputar pada apa yang disukai dan tidak disukai manusia.

===

Menafsirkan Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah perkara sederhana. Allah telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sebagai mukjizat, kemuliaan Al-Qur’an tercermin dari gaya bahasanya yang membutuhkan pemahaman akan makna lafaz dan susunannya, pemahaman akan muhkam mutasyabih, asbabun nuzulnya, nasakh mansukh, dan seperangkat ilmu alat untuk memahami ayat per ayat dalam Kitabullah. 

Jangankan bangsa non-arab, bangsa arab yang fush-ha (yang masih fasih berbahasa arab) saja mengakui gaya bahasa Al-Qur’an yang begitu rumit namun indah dalam bahasanya. Kerumitan bahasa Al-Qur’an ini menuntut kita untuk tak serampangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. 

Anehnya, sekelompok pemikir liberal yang ada saat ini, telah menunjukkan ketidakmampuan memahami ayat-ayat mulia ini dengan mengadopsi metodologi hermeneutika dalam memahami Al-Qur'an. 

Selain bersumber dari pemikiran sekuler yang notabene kontras dengan pemikiran Islam, tafsir ala hermeneutika ini justru telah berkontribusi mengubah hukum-hukum Islam sesuai jaman dan kehendak manusia serta menjerumuskan umat islam pada kedangkalan berpikir dan krisis identitas yang berkepanjangan. 
Wallaahu a’lam.

—————————————
Sumber : Muslimah News ID