-->

Jalan Panjang Anak Kita

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Apakah yang kita harapkan dari anak-anak kita? Apakah yang ingin kita petik dari upaya kita mendidik anak-anak? Umur belum tentu panjang. Begitu pula umur anak-anak kita. Tetapi yang pasti, kita semua akan mati dan menuju kehidupan abadi sesudah langit digulung dan bumi dilipat. Jika kita salah niat dalam mendidik anak, maka letih lelah kita mengasuh kita hanya menjadi kepayahan yang tidak membawa kebaikan sama sekali di akhirat. Apalagi jika niat salah, berpayah-payah pun enggan bersebab lebih menyukai jalan pintas yang instant.

Apakah yang kita rindui dari anak-anak kita? Penat berpeluh kita merawat dan mengasuh mereka, akan sia-sia tak berguna jika salah niat kita mendidik mereka, salah pula langkah kita dalam menjalankannya. Maka memperbaiki niat dan terus-menerus saling mengingatkan antara suami dan isteri, sangat penting untuk menjaga arah. Juga, agar tidak mudah rontok tatkala menghadapi kesulitan dalam proses mendidik anak. Kita perlu ingat, setiap perjuangan memang memerlukan kesediaan untuk berpayah-payah. Bahkan kita kadang harus sakit. Tapi jika kita punya cita-cita kuat, maka sungguh sakit yang mendera badan itu akan lebih ringan kita rasakan di hati. 

Ingatlah tidak ada kedewasaan yang bersifat instan. Tidak pula ada keshalihan yang instan. Itu pun, proses menuju ke sana tidak instan. Maka, mengapakah kita menginginkan perubahan yang terjadi dalam sekejap dalam mendidik anak-anak kita, padahal kita mengharapkan manfaatnya untuk masa yang sangat panjang?

Mari sejenak kita bertanya pada diri sendiri, atas berbagai hal yang kita lakukan terhadap anak, termasuk les yang kita berikan kepada anak-anak kita, sebenarnya untuk kepentingan mereka atau demi memuaskan keinginan kita? 

Jadi, yang pertama perlu kita benahi dan senantiasa kita perbaiki adalah niat kita mendidik anak. Tak putus-putus kita berupaya menata niat kita, meluruskannya agar tidak salah arah. Kita kuatkan niat beriring dengan menjaga khasy-yah, yakni rasa takut kita kalau-kalau meninggalkan generasi yang lemah dibelakang kita sebagaimana Allah Ta’ala telah serukan di dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka merasa takut terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 9).

Ini berarti, rasa takut yang menjadikan kita senantiasa berhati-hati merupakan bekal penting mendidik anak, lebih penting daripada pengetahuan kita tentang teknik berkomunikasi maupun cara mengajari anak membaca. Bukan saya menyepelekan manfaat mengajari anak membaca. Saya bahkan menulis buku berjudul Membuat Anak Gila Membaca. Tetapi sebelum itu semua, yang harus kita miliki adalah rasa takut; rasa khawatir tentang masa depan anak sepeninggal kita yang membuat kita selalu berbenah dan menambah bekal mendidik.

Nah.

Bakda niat yang terus perlu kita perbaiki dengan saling mengingatkan antara suami dan isteri, hal berikutnya yang perlu kita pegangi adalah ikhlas dalam mendidik. Ikhlas sebenarnya merupakan bagian dari niat.

Apakah ikhlas itu? Melakukan amal dan ibadah semata-mata untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Meskipun merasa berat dengan kebaikan yang patut kita lakukan, tetapi jika kita tetap mengerjakannya demi untuk meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla, maka sesungguhnya itulah ikhlas.

Tetapi…

Keinginan saja tidak cukup. Kita dapat mengatakan bahwa jerih-payah kita mendidik anak hanyalah untuk meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Tetapi apakah cara yang kita tempuh dalam mendidik anak? Adakah cara kita merupakan cara yang Allah Ta’ala ridhai; cara yang Allah Ta’ala sukai? Adakah cara itu bersesuaian dengan tuntunan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ataukah justru menyelisihinya? Inilah yang perlu kita telisik pada diri kita. Bagaimana kita akan mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla jika cara kita mendidik anak justru menyelisihi sunnah? Apalagi jika sampai nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.

Ini berarti kita perlu berusaha untuk mengilmui tuntunan mendidik anak. Kita perlu berusaha membekali diri dengan ilmu sebelum Allah Ta’ala karuniai keturunan kepada kita. Bukan tidak boleh belajar psikologi maupun pengetahuan parenting lainnya, tetapi terlebih dahulu membekali diri dengan pemahaman terhadap tuntunan agama dan mengokohkan iltizam (komitmen) terhadapnya. Dan sekiranya kita belum membekali diri dengan tuntunan agama, maka sekarang inilah saatnya memperbaiki bekal ilmu kita.

Ini semua perlu kita lakukan agar langkah kita mendidik anak sejalan dengan niat. Sekali lagi, bagaimana kita akan mengatakan bahwa kita benar-benar ikhlas mendidik anak; benar-benar mencari ridha Allah Ta’ala sedangkan cara yang kita tempuh justru menyelisihi agama?
Jangan Keburu Berbangga Diri

Kita perlu terus membekali diri dengan ilmu sebelum mendidik seraya berusaha memperbaiki keadaan jiwa kita. Kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala atas pendidikan anak-anak kita. Karena itu, kitalah yang harus menyibukkan diri dengan mencari ilmu. Berbekal ilmu, kita akan lebih mudah mengasuh dan mendidik anak-anak kita.

Akan tetapi, setiap keberhasilan dalam mendidik yang kita patut bersyukur dengannya, janganlah menggelincirkan kita ke dalam ‘ujub (berbangga diri). Sebanyak apa pun ilmu yang telah kita kuasai, sungguh hanya Allah Ta’ala Yang Menggenggam Jiwa Manusia. Kepada-Nya kita meminta dan memohon pertolongan, termasuk untuk kebaikan anak-anak kita. Ingatlah, sesungguhnya ‘ujub termasuk satu dari tiga perkara yang membinasakan.

Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ
.
“Tiga perkara yang membinasakan: suh (شُحٌّ: rakus sekaligus bakhil pada saat yang sama) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR. Thabrani).

Betapa pun anak-anak kita tampak baik dan cemerlang prestasinya, andaikan begitu, tetap saja kita perlu senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala dan menjaga diri kita dari berlepas diri terhadap Allah Ta’ala bersebab demikian pekatnya ‘ujub menutupi diri kita.

Marilah sejenak kita ingat do’a yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
.
"اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ"
.
"Ya Allah, rahmat-Mu yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau." Do'a dari hadis shahih riwayat Abu Dawud.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan. Semoga Allah Ta’ala limpahi kita semua dengan husnul khatimah. Semoga pula Allah Ta’ala baguskan keturunan kita. Allahumma aamiin. 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : @Mohammad Fauzil Adhim