-->

HAM, Benteng Perlindungan LGBT


Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

Pejabat yang satu ini layak diapresiasi kepeduliannya terhadap moral generasi. Di saat pejabat lain bungkam terhadap kasus Reynhard Sinaga, Wali Kota Depok, Mohammad Idris, mengerahkan seluruh perangkat daerah yang dimilikinya untuk mencegah penyebaran perilaku LGBT.

Mohammad Idris beralasan langkah itu diambil demi melindungi wilayahnya dari kasus seperti Reynhard Sinaga. Reynhard Sinaga adalah pria asal Indonesia yang dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris, dalam 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap puluhan korban pria.

Reynhard juga diketahui menuntaskan kuliah di Universitas Indonesia dan sempat tinggal bersama orang tuanya di Depok (bbcindonesia, 13/01/2020).

Upaya pencegahan yang dimaksud Pak Wali Kota adalah merazia tempat-tempat yang diindikasikan sebagai lokasi LGBT berkumpul seperti mal, kos-kosan, atau apartemen. Jika dipastikan ada kelompok LGBT, Satpol PP akan membawa ke bidang penyuluhan untuk dibina secara agama.

Tindakan lainnya menyebarkan surat edaran ke pusat-pusat perbelanjaan agar tidak membiarkan kelompok LGBT berkumpul dan membentuk crisis centre untuk mendata korban LGBT.

Terganjal HAM
Sayang, upaya positif yang dilakukan wali kota Depok ini dikecam oleh para pendukung LGBT. Penulis tentang gender dan seksualitas yang juga aktivis LGBT, Hendri Yulius, mempertanyakan kebijakan wali kota Depok.

Menurutnya, kelompok LGBT tak bisa diperlakukan berbeda hanya karena orientasi seksnya sehingga pemerintah daerah tak berhak mencampuri urusan privasi mereka. Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Uli Pangaribuan, menilai upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT tidak masuk akal, ngawur, dan salah sasaran.

Menurutnya, razia oleh Satpol PP terhadap kos-kosan atau apartemen yang diduga tempat berkumpulnya kelompok LGBT melanggar hak privasi dan kebebasan.

Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi dalih bagi para LGBT untuk memperoleh justifikasi atas perilakunya. HAM digunakan sebagai benteng untuk melindungi aktivitas menyimpang ini. Karena HAM menjamin kebebasan individu dalam bertingkah laku.

Dalam pandangan HAM, setiap orang bebas bertingkah laku apa saja selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Mau heteroseksual boleh, homoseksual juga boleh. Mau menikah dengan lawan jenis boleh, sesama jenis juga boleh. Bahkan memamerkan aktivitas homoseksual di ruang publik juga boleh.

Anehnya, pendukung HAM auto bungkam ketika korban LGBT berjatuhan. Baik korban itu dari pelaku LGBT yang lalu menderita sakit menular seksual hingga meregang nyawa, ataupun dari orang-orang tak bersalah seperti anak-anak korban predator seksual.

Lantas di mana hak asasi para korban? Bukankah mereka berhak hidup aman dan juga sehat? Biasanya jurus kaum LGBT adalah narasi: “Salahkan orangnya, jangan salahkan orientasi seksualnya”. Sebuah narasi konyol, para predator itu bisa demikian jahat karena penyimpangan orientasi seksualnya.

Amal itu ditentukan oleh pemahaman. Jika pemahamannya bengkok, amalnya juga bengkok. HAM telah menumbuhsuburkan perilaku LGBT di tengah masyarakat. Karena setiap upaya menyelesaikan masalah LGBT akan dituding melanggar HAM.

Ironisnya, ketika ada pelaku LGBT yang sakit parah semacam HIV/AIDS atau kanker, siapa yang merawat dan membiayai pengobatannya? Keluarganya! Para pendukung LGBT itu sontak menghilang bak ditelan bumi.

Bahkan ketika nyawa korban tak tertolong, apakah mereka mau merawat jenazahnya? Tidak. Justru orang-orang straight yang mengurusnya. Apa solusi HAM ketika korban LGBT berjatuhan? Tidak ada!

Relatifnya Benar dan Salah
Dalam masyarakat sekular-liberal yang mengagungkan HAM seperti saat ini, tidak ada penyelesaian bagi LGBT. Meski korban LGBT telah berjatuhan, namun perilaku homoseksual tak akan dipersalahkan. Yang disalahkan hanya pelakunya.

Maka, masalah LGBT akan selalu ada dan makin parah. Jika dibiarkan, bisa jadi hingga level seperti kaumnya Nabi Luth. Saat itu kaum straight justru minoritas. Kelestarian jenis manusia tak akan terjaga. Sungguh mengerikan.

Kondisi ini disebabkan relatifnya kebenaran dalam sistem sekular-liberal. Tak ada standar baku untuk menilai benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela. Individu bebas membuat standar sendiri, apakah LGBT itu baik ataukah buruk.

Itulah sebabnya, meski masih banyak orang straight, namun membiarkan saja praktik homoseksual. Karena dinilai sebagai privasi masing-masing orang, tak boleh ada pihak yang mencampurinya.

Dalam sistem kapitalisme yang standarnya materialisme, perilaku LGBT justru didukung penuh, karena menguntungkan. Pada tahun 2013, Inggris mengesahkan perkawinan sejenis. Pemerintah Inggris berharap, legalisasi pernikahan gay akan meningkatkan perekonomian.

Diperkirakan bahwa perubahan ini akan bisa mendatangkan pemasukan hingga 14,4 juta pounds per tahun bagi hotel-hotel, jasa katering dan keseluruhan industri pernikahan (detik.com, 13/07/2013). Sungguh mengerikan, aktivitas menyimpang ini justru dikomersialkan.

Khilafah Satu-satunya Solusi
Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan persoalan LGBT, karena memiliki standard benar-salah yang baku dan sahih. Kesahihan Islam telah dijamin wahyu. Syariat Islam memosisikan aktivitas liwath alias homoseksual sebagai perbuatan buruk dan tercela.

Allah Swt. berfirman yang artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).” (QS Al-A’raf 7: Ayat 80)

Aktivitas liwath diposisikan sebagai keharaman dan pelakunya berdosa sehingga kelak akan diazab Allah SWT dengan siksa nan pedih di neraka. Namun, Allah Swt. Yang Maha Pengampun memberikan kesempatan di dunia bagi pelaku liwath untuk bertobat dengan sebenar-benarnya (tobat nasuha).

Salah satu wujud tobat bagi pelaku liwath adalah dihukum di dunia. Hukuman ini adalah sebagai penebus dosanya, sehingga kelak di akhirat dia termasuk orang yang bersih dari dosa liwath. Hukuman bagi pelaku liwath adalah hukuman mati. Hal ini sekaligus sebagai pencegah orang lain meniru perilakunya.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Tirmidzi dan yang lainnya, disahihkan Syekh Al-Albani)

Hukuman bagi pelaku liwath ini adalah opsi terakhir dari serangkaian langkah edukasi untuk pencegahan. Khilafah membentuk akidah Islam yang kukuh di tengah masyarakat melalui pendidikan formal dan dakwah Islam. Sehingga masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertakwa pada Allah Swt., bukan masyarakat yang mengumbar hawa nafsu.

Khilafah juga menerapkan syariat untuk menjaga interaksi laki-laki dan perempuan maupun sesama laki-laki dan sesama perempuan. Misalnya terkait penjagaan aurat, ada aurat yang tetap harus ditutup meski di hadapan sesama jenis.

Ada larangan telanjang, mandi bersama, tidur satu selimut, menceritakan jimak’ suami-istri dll. meski pada sesama lelaki maupun perempuan. Juga larangan berperilaku dan berpakaian yang tidak sesuai jenis kelaminnya.

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah melaknat lelaki yang kewanita-wanitaan (banci) dan perempuan yang kelaki-lakian.” (HR Tirmidzi)

Walhasil, khilafah yang menerapkan Islam kafah adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah LGBT. Semoga hal ini memantik kesadaran masyarakat untuk mewujudkan solusi khilafah. Agar kerusakan akibat LGBT tidak makin meluas. Semoga Allah Swt. menjaga diri, keluarga, dan anak turun kita dari perilaku keji ini. Aamiin. Wallahu a’lam bishawab. 
________
Sumber : MuslimahNews.com