Cinta Harta dan Kekuasaan Sumber Malapetaka
Rasulullah ﷺ memperingatkan:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوْتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
________________________________________
Allah subhanahu wa ta'ala telah menciptakan pada diri manusia gharizah al-baqa’, yakni naluri mempertahankan eksistensi diri. Salah satu perwujudannya adalah kecintaan manusia pada harta dan kekuasaan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Telah dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa saja yang diinginkan, yaitu: para wanita; anak-anak; harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (TQS Ali Imran [3]: 14).
Allah subhanahu wa ta'ala juga memperingatkan bahwa harta merupakan fitnah bagi manusia (QS al-Anfal [8]: 28; QS at-Taghabun [64]: 15). Karena itu sesuai hadis riwayat Imam at-Tirmidzi, setiap orang akan ditanyai di akhirat atas harta yang didapat; dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan.
===
Untuk itu hendaklah setiap Muslim ingat dan memenuhi pesan Rasul ﷺ:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ فَلاَ تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ وَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Hai manusia, sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan mati sampai Allah menyempurnakan rezekinya. Karena itu janganlah kalian menganggap lelet (datangnya) rezeki. Bertakwalah kepada Allah, hai manusia, dan baguslah dalam meminta. Ambillah apa saja yang halal dan tinggalkan apa yang haram (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Majah).
===
Setiap Muslim harus mengendalikan cintanya pada hartanya. Jangan sampai berlebihan. Cinta harta berlebihan bisa mendorong orang untuk memperoleh harta tanpa peduli halal dan haram. Jika sudah demikian, cinta harta akan menjadi sumber bencana baik bagi individu maupun masyarakat.
Orang yang mencari harta dengan jalan yang haram tentu berdosa dan menanggung akibatnya di dunia dan akhirat. Di antara akibat di dunia yang harus ditanggung adalah dicabutnya keberkahan.
===
Cinta Harta dan Korupsi
Harta kebanyakan diperoleh melalui interaksi, muamalah, dan transaksi dengan orang lain. Harta yang didapat dengan cara maksiat berarti diperoleh melalui transaksi yang melanggar syariah. Dalam hal itu tentu ada pihak yang dizalimi atau dilanggar haknya. Semua itu terjadi karena dorongan cinta harta yang berlebihan.
Apalagi jika harta itu diperoleh melalui korupsi, misalnya. Dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas. Bisa berupa pelayanan yang terhambat atau masyarakat terhalang dari manfaat harta yang dikorupsi. Bahkan korupsi bisa mengakibatkan dharar (bahaya), misalnya ketika yang dikorupsi adalah dana pembangunan proyek tertentu. Karena dikorupsi, boleh jadi kualitas bangunan dan fasilitas menurun, yang akibatnya bisa menimbulkan bahaya dan malapetaka bagi masyarakat.
Sayang, korupsi masih terus saja terjadi dan menjadi problem besar negeri ini. Menurut data KPK update data 30 September 2019, dari tahun 2004 – 2019 ada 1007 perkara korupsi yang ditangani oleh KPK. Dari jumlah itu sebanyak 661 berupa penyuapan, 205 korupsi pengadaan barang dan jasa, 48 penyalahgunaan anggaran, 34 Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), 26 perkara pungutan, 23 perijinan dan 10 kasus merintangi perkara KPK (https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara).
Adapun menurut data KPK update data 30 September 2019, sejak 2004-2019 tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh 21 orang gubernur, 115 walikota/bupati/wakil, 257 anggota DPR atau DPRD, 28 kepala lembaga/kementerian, 4 duta besar, 7 komisioner, 213 pajabat eselon I/II/III, 22 hakim, 10 jaksa, 2 polisi, 12 pengacara, 287 swasta, 141 lainnya dan 6 korporasi. Totalnya ada 1125 pelaku tindak pidana korupsi. (https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan).
Jumlah tindak korupsi yang terjadi lebih dari itu. Sebab tindak pidana korupsi sebanyak di atas hanya yang ditangani oleh KPK. Belum termasuk yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Apalagi fenomena korupsi sering dikatakan sebagai fenomena gunung es. Jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar dari yang terungkap.
Semua itu, salah satu faktor pendorong terbesarnya, adalah cinta harta yang berlebihan.
===
Cinta Kekuasaan
Bukan hanya cinta harta, korupsi juga dipengaruhi oleh hasrat atas kekuasaan atau jabatan. Di situlah, cinta harta bertemu dengan cinta kekuasaan atau jabatan.
Dalam sistem demokrasi saat ini kekuasaan politik sangat dipengaruhi oleh unsur popularitas dan kampanye. Untuk itu dibutuhkan dana besar. Diduga salah satu caranya adalah dengan kolusi dan memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan harta. Hal itu dibuktikan antara lain oleh kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR atau DPRD selama tahun 2018, setahun menjelang Pemilu, yang melonjak lima kali lipat dari rata-rata tahun sebelumnya.
Bertemunya motif cinta harta dan cinta kekuasaan, selain menyuburkan korupsi, juga menyebabkan munculnya korporatokrasi. Politisi butuh modal untuk meraih jabatan politik atau kekuasaan. Modal itu bisa berasal dari milik sendiri atau dari para cukong politik. Setelah jabatan atau kekuasaan di tangan, saatnya digunakan untuk mengembalikan modal atau memberikan fasilitas kepada para cukong itu untuk mendapatkan pengembalian modal yang diberikan plus keuntungannya. Lahirlah berbagai kebijakan yang menguntungkan para pemodal dan merugikan rakyat kebanyakan.
Cinta kekuasaan juga akan mendorong penguasa untuk mempertahankan kekuasaan selama mungkin, baik tetap ada di tangannya atau di tangan keluarga, kroni dan koleganya. Dari situ lahirlah politik dinasti atau kroni. Sangat boleh jadi, hal itu untuk mengamankan diri atas apa yang sudah dilakukan selama berkuasa.
===
Amanah Jabatan dan Kekuasaan
Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. Berat pertanggungjawabannya. Di dalam Islam, jabatan dan kekuasaan merupakan amanah dengan dua tujuan, seperti yang dipaparkan oleh Imam al-Mawardi rahimahulLah di dalam Ahkâm as-Sulthâniyah, yaitu untuk menjaga agama (harasah ad-dîn) dan mengatur dan memelihara dunia (siyâsah ad-dunyâ).
Siyasah menurut Imam an-Nawawi rahimahulLah di dalam Syarh Shahîh Muslim adalah al-qiyâm bi asy-syay’i aw bi al-amri bi mâ yushlihuhu (melaksanakan sesuatu/perkara dengan apa yang membuat sesuatu/perkara itu baik).
Amanah jabatan dan kekuasaan itu di akhirat hanya akan menjadi penyesalan kecuali ketika didapatkan dengan benar dan apa yang menjadi kewajiban ditunaikan dengan baik. Ketika Abu Dzar al-Ghifari radhiyalLâh ‘anhu meminta amanah kepemimpinan, Nabi ﷺ menolak, seraya memberi dia nasihat:
يَا أَبَا ذَرّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu Dzar, sungguh engkau lemah. Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah dan ia akan menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya (HR Muslim).
===
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوْتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Fudhail bin Iyadh menyatakan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi oleh Allah subhanahu wa ta'ala untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
===
Wajib Amar Makruf Nahi Mungkar
Dalam hal ini, kaum Muslim wajib terus melakukan amar makruf nahi munkar. Nabi ﷺ bersabda:
َتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُؤَمِّرَنَّ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ، ثُمَّ يَدْعُو خِيَارُكُمْ، فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar. Kalau tidak, Allah akan menjadikan orang-orang yang paling jahat di antara kalian berkuasa atas kalian, kemudian orang-orang baik di antara kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak dikabulkan (HR Ahmad).
Kaum Muslim pun wajib memperjuangkan syariah Islam agar segera bisa diterapkan secara kaffah. Dengan itu cinta harta dan kekuasaan dapat dikelola dengan benar sehingga menjadi berkah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
_________________
Hikmah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ . وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, sedangkan kalian tahu. Ketahuilah oleh kalian, sungguh harta-harta kalian dan anak-anak kalian bisa menjadi fitnah (bencana) dan sungguh di sisi Allah-lah pahala yang besar.
(TQS al-Anfal [8]: 27-28).
===
Sumber: Buletin Kaffah, No. 122 (07 Jumadul Awal 1441 H-03 Januari 2020 M)
Posting Komentar