-->

"Cacat" Kita Dalam Mencintai Nabi

Namun umat belum tentu setuju 1000 persen – bahkan kurang dari 100 persen – bila dikatakan Nabi ﷺ melaksanakan hukum pidana Islam seperti jilid, rajam, potong tangan, hukuman mati bagi orang yang murtad. menyebarkan Islam bukan saja dengan dakwah tapi juga dengan jihad (hujumiyyah), penerimaan umat belum tentu mencapai 100 persen, bahkan mungkin di bawah 60 persen.
________________________________________


Oleh: Iwan Januar

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (TQS. Al-Qalam: 4)

===

Adakah yang meragukan keteladanan pribadi Nabi ﷺ?

Tak ada. Umat Islam sudah meyakini bila Rasulullah ﷺ suri teladan terbaik untuk seluruh umat manusia. Beliau adalah role model terluhur untuk semua kebaikan; sebagai sahabat, tetangga, suami, ayah, ahli ibadah, juga pemimpin. Beliau laksana gunung besar yang terdiri dari miliaran butiran pasir kebaikan yang menjulang.

Para ulama juga sudah menulis ratusan mungkin ribuan buku yang berisi keteladanannya. Sebutlah Imam at-Tirmidzi dengan kitab Asy-Syamail al-Muhammadiyah berupa kumpulan hadis yang memuat beragam kemuliaan Baginda Nabi mulai dari penampilan fisik hingga khuluqnya seperti cara berpakaian hingga cara tertawa Beliau. Semuanya panjang lebar dalam 55 bab. 

Kitab-kitab yang ditulis penuh cinta oleh para ulama adalah perwujudan ketundukkan mereka pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (TQS. Al-Ahzab: 21)

===

Tapi pernahkah terpikir bila kekaguman kita pada Nabi bisa bercacat? Pada saat membahas keagungan pribadi Rasulullah ﷺ seperti ada ‘missing link’ dengan ajaran Islam itu sendiri. Umat, termasuk para mubaligh, penceramah, khatib, mualim, seolah mendistorsi risalah Islam dari pribadi Nabi ﷺ. Seolah ada pemisahan antara pribadi Nabi dengan risalah Islam yang Beliau bawa. Sepertinya keluhuran akhlak Nabi berdiri sendiri bukan sesuatu yang terkait dengan Syariat Islam.

Para penceramah seolah menghadirkan Nabi ﷺ dalam atmosfir humanisme yang universal, bukan menempatkan Beliau sebagai representasi risalah Islam. Sehingga menggiring umat untuk percaya bahwa pribadi Nabi adalah ‘sesuatu’, sedangkan Syariat Islam adalah ‘sesuatu yang lain’. Ada kesan bahwa pribadi Nabi itu lebih luas ketimbang ajaran Islam; baik akidah maupun syariatnya.

Akhirnya umat setuju bisa seribu persen bila disampaikan bahwa Nabi mengajarkan dan mencontohkan kejujuran, amanah, sopan santun, dll. Mereka juga setuju seribu persen untuk meneladani Beliau dalam kebaikan-kebaikan tadi. 

Namun umat belum tentu setuju 1000 persen – bahkan kurang dari 100 persen – bila dikatakan Nabi ﷺ melaksanakan hukum pidana Islam seperti jilid, rajam, potong tangan, hukuman mati bagi orang yang murtad. menyebarkan Islam bukan saja dengan dakwah tapi juga dengan jihad (hujumiyyah), penerimaan umat belum tentu mencapai 100 persen, bahkan mungkin di bawah 60 persen.

===

Begitupula kalau disampaikan pada umat bila Nabi ﷺ membangun pemerintahan Islam pertama di dunia dengan sistem pemerintahan yang berbeda dengan kerajaan, demokrasi atau kediktatoran. Kemudian Beliau memerintahkan kaum muslimin untuk meneruskan kepemimpinan dengan apa yang Beliau sebut sebagai kekhilafahan, akan lebih banyak lagi penentangan terhadap hal-hal itu.

Hari ini orang sering berseru pada umat agar meneladani Nabi ﷺ, tapi seruan itu hanya untuk urusan akhlak atau ibadah. Karena kemudian dalam muamalahnya ia membiarkan sistem kapitalisme ribawi, aturan sosialnya hedonisme-liberalisme, sistem politiknya kerajaan atau ajaran Montesqeu.

Ini jelas sebuah ironi. Bagaimana bisa orang mengaku mahabbah pada Nabi tapi menolak sebagian besar risalah Islam? Menolak penerapan syariat Allah subhanahu wa ta'ala yang padahal itu dibawa dan disampaikan juga diberlakukan Nabi ﷺ?

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS. Ali Imran: 31)

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dengan tafsirnya bahwa orang yang mengaku cinta pada Allah tapi tidak mengikut sistem kehidupan Muhammad ﷺ (thariqah li Muhammadiyah) maka (pengakuannya) palsu.

===

Lalu bagaimana bisa umat menolak hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, sedangkan akhlak Nabi sendiri adalah gambaran isi al-Qur’an. Ketika Sa’id bin Hisyam bin Amir bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah ra. ihwal akhlak Nabi ﷺ, ia menjawab;

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlaknya adalah al-Qur’an.”(HR. Ahmad)

Namun itulah yang terjadi. Umat memuja akhlak dan pribadi Baginda Rasulullah ﷺ tapi bisa memusuhi Syariat Islam yang dibawanya. Atau mereka memberikan tafsiran sendiri tentang ajaran Nabi agar sesuai hawa nafsunya.

Persoalan ini timbul karena kekeliruan kaum muslimin saat membahas keteladanan akhlak Nabi tapi mengabaikan fakta bahwa Beliau diutus Allah Ta’ala adalah untuk mengubah peradaban jahiliyah dengan peradaban Islam; akidah dan syariah, dari akar hingga ke daun. Perubahan total.

Maka tidak elok bila kaum alim membiarkan hal ini terus terjadi. Memisahkan keteladanan Nabi ﷺ dari risalah Islam? Mendistorsi ajaran Islam yang melekat pada diri Nabi? Seolah akhlak Nabi lebih luas ketimbang ajaran Islam itu sendiri? Bukankah itu namanya memanipulasi ajaran Islam?

Saatnya kita kembalikan gambaran kepribadian Nabi sesuai dengan jalan saat Beliau diutus Allah Ta’ala. Beliau diutus untuk mengubah peradaban umat manusia dari peradaban buatan hawa nafsu manusia menuju peradaban luhur berdasarkan wahyu Ilahi. Meski untuk itu Beliau menghadapi tentangan dan tantangan dan kebencian, padahal musuh-musuh Beliau semula amat mencintai pribadinya. Maka orang yang cinta pribadi Nabi, semestinya juga mencintai Syariat yang dibawa Nabi. Itulah makna mahabbah pada Nabi.

Allahumma shalli ala habibi al-Musthafa, waj’alna ma’ahu fi jannatika, ya arhamar rahimin

===
Sumber: https://www.iwanjanuar.com/cacat-kita-dalam-mencintai-nabi/