-->

Adu Kuat Indonesia vs Cina di Natuna, Jangan Kasih Kendor!


Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

Natuna ibarat gadis molek yang banyak diincar pemuda dari berbagai penjuru dunia. Setiap hari Natuna dilewati sekitar 1.000 kapal asing. Hal ini karena laut Natuna menyimpan beragam potensi hasil laut, mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting, hingga rajungan.

Ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna. Potensi per tahun lobster ada 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, rajungan 9.711 ton. Sedangkan untuk komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan demersal, di mana potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton/tahun (detikcom, 5/1/2020).

Selain kaya sumber daya perikanan dan alamnya yang indah, perairan natuna juga menyimpan “harta karun” terpendam. Dilansir dari Harian Kompas (23/7/2016), laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas (migas) yang sangat besar. Salah satu blok migas di Natuna yang cadangannya sangat besar adalah lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara.

Survei seismik laut berhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter (kompas.com, 4/1/2020).

Harus Bersikap Tegas

Cina pun tergoda akan “kemolekan” Natuna. Cina mengklaim perairan Natuna masuk wilayahnya. Dasar yang digunakan adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line/NDL). NDL merupakan garis yang dibuat sepihak oleh Cina tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Meski Cina juga merupakan anggota UNCLOS, negara itu tidak mengakui ZEE di Laut Cina Selatan. Sikap ini menunjukkan arogansi Cina terhadap Indonesia.

Cina tengah mengukuhkan dominasinya sebagai penguasa kawasan Asia. Jika Indonesia bersikap lemah, Cina bisa mengklaim wilayah Indonesia lainnya, dengan dalih yang dibuat-buat.

Indonesia harus bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan Cina. Saatnya mengerahkan kekuatan maksimal untuk mengusir Cina dari Natuna. Sikap tegas TNI pasti mendapat dukungan rakyat.

Namun, sayangnya para pejabat terkait justru bersikap lemah. Misalnya, pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo, “Ya saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun Cina adalah negara sahabat.” (CNBC Indonesia, 3/1/2020).

Juga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, “Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE kita itu. Sekarang memang coast guardkita itu.” (Tempo.co,5/1/2020).

Publik pun menduga Pemerintah tersandera investasi Cina di Indonesia sehingga tak bersikap tegas.

Harusnya, Indonesia bersikap gahar, karena kedaulatan negeri dipertaruhkan. Tak cukup modal nyali, Indonesia harus memiliki armada yang tangguh. Sayangnya, kekuatan militer Indonesia jauh di bawah Cina.

Saat ini, jumlah pasukan yang terlibat di Natuna sekitar 600 personil dengan jumlah KRI yang ada sebanyak lima unit kapal. Dari sisi anggaran militer, data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) bahwa Cina memiliki alokasi anggaran militer yang sangat besar. (Kompas.com, 5/1/2020)

Pada 2018, anggaran belanja militer Beijing mencapai 250 miliar dollar AS (Rp3.485 triliun). Anggaran pertahanan Cina hanya kalah oleh Amerika Serikat yang mencapai 648 miliar dollar AS. Sementara Indonesia, anggaran pos pertahanan pada 2018, nilainya 7,44 miliar dollar AS (Rp104,12 triliun).

Meski dibandingkan dengan total APBN Indonesia di 2018 sebesar Rp2.220 triliun, angkanya masih kalah dibandingkan dengan anggaran militer Cina.

Jika ditinjau dari jumlah personel militer, Indonesia kalah jauh. Menurut GFP total personil militer Cina mencapai 2,7 juta orang. Sementara jumlah tentara di Indonesia ditaksir mencapai 800 ribu. Artinya jumlah personil militer Indonesia hanya 30% dari Cina.

Jika menilik alutsista, Cina juga lebih unggul. Cina memiliki 3.187 pesawat militer untuk pertempuran dan transport. Sementara Indonesia hanya punya 451 unit pesawat militer. Untuk alutsista angkatan lautnya, Cina juga jauh lebih unggul karena total aset untuk angkatan lautnya mencapai 714 unit saat Indonesia hanya memiliki 221 unit saja (CNBC Indonesia, 5/1/2020).

Harus Ada Negara Adidaya untuk Melawan Cina

Besarnya kekuatan militer Cina tak lepas dari posisinya sebagai negara adidaya kawasan Asia. Jika ingin mengalahkan Cina, harus dilawan oleh negara adidaya juga. Bukan hanya negara adidaya kawasan, melainkan negara adidaya dunia.

Untuk menuju negara adidaya, Indonesia harus memiliki visi besar sebagai dasar kebijakan dalam dan luar negeri, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan dan militer yang kuat. Visi besar ini adalah ideologi. Negara adidaya semisal Amerika dan Inggris menerapkan ideologi kapitalisme. Sementara Cina, politiknya sosialisme, ekonominya kapitalisme.

Ideologi yang harus menjadi visi besar itu adalah ideologi Islam, yang mana kesahihan ideologi Islam telah terjamin secara Ilahiah. Sstem pemerintahan Islam yakni khilafah, memiliki sistem pertahanan yang tangguh. Tugas khilafah adalah menerapkan syariat Islam di dalam negeri.

Syariat mewajibkan muslim untuk menjaga diri dari serangan musuh. Maka khilafah akan mengerahkan segala kekuatan, baik pasukan reguler maupun cadangan (rakyat) untuk mempertahankan kedaulatan negara. Seruan jihad sebagai kewajiban nan mulia akan digaungkan ke seluruh pelosok negeri.

Khilafah akan melakukan persiapan semaksimal mungkin untuk bisa mengalahkan musuh yang hendak merebut wilayah kita. Mengamalkan surah Al-Anfal ayat 60, khilafah akan menyiapkan kekuatan hingga level mampu menggentarkan musuh. Mulai dari banyaknya pasukan, kualitas prajurit, canggihnya alutsista, hingga besarnya anggaran militer.

Khilafah tak khawatir kekurangan dana untuk militer karena dalam Islam, pos jihad (militer) memiliki sumber pemasukan yang terus menerus ada. Tak hanya menggantungkan pada dana zakat, tapi juga wakaf, pajak (tentatif), juga kekayaan alam yang dikelola secara mandiri oleh khilafah.

Khilafah tak akan tersandera investasi asing karena setiap perjanjian dagang yang membahayakan umat Islam akan dilarang ada dalam khilafah. Ini adalah pengamalan QS Surah An-Nisa: 141.

Hal yang tak kalah penting, khilafah menyatukan berbagai negeri muslim dan seluruh kaum muslim sedunia. Jika satu wilayah diserang musuh, misalnya Natuna, maka perlawanan tak hanya datang dari militer Indonesia, tapi juga militer wilayah Islam lainnya seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Arab, Irak, Turki, Mesir, dan lainnya.

Inilah yang terjadi ketika dulu Khilafah Utsmaniyah mengirim kapal dan pasukan janissari untuk membantu Nusantara melawan penjajah Eropa. Seperti dalam kasus Aceh dan Perang Diponegoro. Demikianlah solusi untuk melawan arogansi Cina dan mengalahkannya. Hanya khilafah yang bisa menundukkan negara adidaya seperti Cina.

Jika bertahan pada sistem yang ada, juga dengan pejabat yang telah nampak kelemahannya, kita patut khawatir atas keselamatan wilayah-wilayah terluar Indonesia. Cina tak akan puas dengan Natuna saja, bisa jadi wilayah lain akan dicaploknya juga. Entah dengan dalih apa. Kita harus melawan, jangan kasih kendor! Khilafah adalah solusi nyata. Wallahu a’lam bishawab. [MNews]

Sumber : MuslimahNews.com