-->

Paradoks Persatuan Umat dalam Haji


Oleh : Sri Azzah Labibah

Jamaah calon haji dari berbagai negara melakukan Tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Jumat (30/5/2025). Pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh pada Jumat (6/6), sedangkan Hari Arafah (Wukuf di Arafah) sebagai rangkaian puncak musim haji pada 5 Juni 2025 yang akan diikuti 1,83 juta muslim dari berbagai penjuru dunia termasuk dari Indonesia yang tahun ini memiliki kuota sebanyak 221.000 jamaah.

Momen bersatunya kaum muslim dari berbagai negara, suku, dan bahasa adalah berkumpul di Mekkah, mengenakan pakaian ihram yang sama, dan melaksanakan ritual yang sama. Prosesi haji menciptakan rasa persatuan dan kesatuan, di mana perbedaan-perbedaan seperti negara, suku, dan bahasa tidak menjadi penghalang. 

Persatuan umat Islam tidak didasari kesamaan budaya atau etnis, melainkan disatukan oleh aqidah Islam yang menghapus segala perbedaan duniawi.

Sayangnya Paradoks yang terjadi adalah, ibadah haji yang seharusnya sebagai simbol persatuan umat Islam di tanah suci, di mana seluruh umat Islam dari berbagai negara, suku, dan bahasa bersatu dalam satu tujuan, namun di kenyataannya umat Islam terpecah di berbagai belahan dunia. 

Meskipun haji mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dan persaudaraan, perbedaan dan perpecahan tetap menjadi kenyataan setelah ibadah haji selesai dan jemaah kembali ke negara masing-masing, 

perbedaan-perbedaan tersebut kembali muncul, dan bahkan perpecahan dapat terjadi. Umat Islam terpecah dalam batas-batas nasionalisme,

Ibadah haji menunjukkan potensi persatuan umat Islam, namun di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam masih terpecah-belah dalam berbagai aspek kehidupan.

Inilah dampak buruk paham nasionalisme. Memang sejak awal nasionalisme digunakan oleh negara-negara kafir Barat untuk memecah-belah umat Islam. Nasionalismelah yang digunakan untuk menghasut umat Islam untuk memisahkan diri dari wilayah yang pada mulanya menjadi bagian dari Daulah Khilafah seperti Arab Saudi, Syiria, Lebanon, Kuwait, Irak, Yordania dan lainnya. Nasionalisme merupakan konsep yang sangat bertentangan dengan Islam karena menyeru pada fanatisme kesukuan/kebangsaan. 

Jika dibandingkan dengan pada masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin hingga Kekhilafahan Utsmaniyah, ibadah haji hari ini mengalami reduksi makna dan substansi yang luar biasa. Ibadah haji hari ini hanya dianggap sebagai prosesi ritual belaka. Pesan luhur yang tersirat dalam setiap prosesi ibadah haji tidaklah membekas pada diri orang yang menunaikan ibadah haji.

Padahal banyak pelajaran berharga yang bisa diambil. Misalnya, makna politis yang dikandung dalam ritual haji. Padahal andai saja makna politis haji mampu diejawantahkan dalam kehidupan, bukan mustahil akan memberikan konstribusi yang berharga untuk kemajuan umat.

Umat Islam yang berjumlah hampir 2 miliar akan menjadi kekuatan dunia yang disegani jika bersatu, bukan tercerai karena sekat nasionalisme dan golongan.

Ini terjadi karena masyarakat memiliki paham sekularisme kapitalisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan, masyarakat menilai ibadah haji tidak berkaitan dengan makna politisi.

banyak makna politis ibadah haji yang seharusnya mampu dipetik. Misalnya, ibadah haji harus mampu membangkitkan kesadaran dan persatuan umat. Bisa disaksikan, bagaimana persatuan umat saat pelaksanaan ibadah haji. Tidak ada lagi sekat-sekat warna kulit, batas-batas kebangsaan, perbedaan suku, perbedaan bahasa, orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, maupun sekat-sekat lainnya. Semua sama. Berbaur menjadi satu dan sederajat. Semua sadar, hanya satu yang menyatukan mereka, yaitu akidah Islam.

Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama Muslim, umat Islam akan merasa sama. Sebaliknya, mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela jika saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas kehendak negara-negara kafir penjajah sekalipun dilakukan dengan menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim. Jika kesadaran itu ada, mereka pasti bangkit dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun akan mereka taklukkan, termasuk para penguasa antek penjajah.

Ketika dua Tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka mereka yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu pasti akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri jamaah haji. Betapa tidak. Di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat Nabi saw. dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa menyaksikan Hudaibiyah, tempat Perjanjian Hudaibiyah dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Kemudian di Madinah jamaah haji akan menemukan Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi saw.

Manakala jamaah haji memahami sejarah yang terjadi di masing-masing tempat tersebut dan bagaimana perjuangan Rasulullah saw., tentu semangat dan kesadaran politik mereka akan bangkit. Mereka sadar bahwa Nabi saw. dan generasi terbaik umat ini dulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan yang luar biasa.

Persatuan sejati hanya dapat terwujud dalam institusi politik Islam global (Khilafah), yang menyatukan umat dalam satu tubuh dan tujuan.

Didalam sistem khilafahlah, Islam mampu menyerukan persatuan manusia berdasarkan pada akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya karena, tidak ada sekatan antara negri - negri muslim.

Di sistem khilafahlah Momen hari raya Idul Adha akan mengajarkan ketaatan mutlak kepada Allah, dan mendorong umat untuk patuh sepenuhnya pada syariat Islam, bukan hanya pada aspek ritual, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Contoh Pada masa Kholifah Umar bin Al-Khatthab,beliau menggunakan momentum haji untuk bertanya kepada para delegasi haji ihwal walinya yang diangkat untuk melayani kepentingan mereka. Mereka pun bisa mengadukan apa saja yang hendak mereka adukan kepada sang khalifah. Umar pun mengumpulkan para walinya dari berbagai wilayah pada musim haji (Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukm fi Al-Islam, hlm. 180.
Bahkan, Umar pun pernah menghukum putra Amru bin ‘Ash di musim haji, karena perlakuannya terhadap seorang qibtiy di Mesir. Beliau berkata kepada ‘Amru Bin ‘Ash, “Sejak kapan Anda memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka” (Majallat Tarikhil ‘Arabiy, Juz I/7127, Ibnu ‘Abdul Hadi al-Mubarrid, Mahdhus Shawab fi Fadhail ‘Amiril Mukminin Umar Ibnul Khatthab, Juz II/473).

Setelah Daulah Islam berdiri, ibadah haji memiliki peran penting dalam dakwah dan tarbiah, baik melalui khutbah-khubah, seperti khutbah Rasulullah saw., ataupun wasilah amar makruf nahi munkar lainnya. Rasulullah saw. sendiri pernah menegur orang-orang yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan manasik.

Begitupun para khalifah setelahnya. Umar Ibnu ‘Abdil Aziz dalam penutup suratnya yang ditujukan kepada orang-orang yang sedang melaksanakan ibdah haji, menyatakan, “Seandainya aku tidak khawatir dapat menyibukkan kalian, niscaya aku deskripisikan -serinci-rincinya- perkara yang akan menghidupkan diri kalian dan yang akan membuat hati kalian mati.” (Muhammad as-Shalabiy, Ad-Daulah Umawiyah ‘Awamilul Izdihar wa Tada’iyatul Inhiyar, Juz III/488).

Pada masa lalu, musim haji juga dijadikan sarana untuk belajar dan meminta fatwa kepada para ulama, dengan bimbingan para khalifah. Sebagai contoh, bimbingan itu ditunjukkan oleh Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan agar orang tidak sembarangan meminta fatwa kepada orang lain.

Ia menyatakan, “Tidak seorang pun memberi fatwa –di musim haji ini- kecuali ‘Atha Ibnu Abi Rabah, Imam, alim dan fakih ahli Makkah” (‘Ali Ibnu Nayif as-Syuhud, Al-Hadhoroh al-Islamiyah wa Ususuha, Juz I/395).

Demikianlah, ibadah haji dalam sejarah kehidupan umat Islam sejak masa Rasul saw. dan masa-masa berikutnya sangat sarat dengan makna dan pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hal ini dengan izin Allah akan bisa diwujudkan kembali ketika umat Islam disatukan kembali dalam naungan Khilafah Islam, sehingga pelaksanaan ibadah haji bukan hanya menjadi ibadah ritul semata.