-->

Kapitalisme Matikan Fitrah Ibu


Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh Tempo.co tanggal 8/06/2024 bahwa Seorang ibu muda di Bekasi berinisial AK, 26, ditangkap Polda Metro Jaya karena kasus ibu cabuli anak. Sama seperti kasus serupa di Tangerang Selatan (Tangsel), AK nekat mencabuli anaknya sendiri karena tergiur tawaran uang dari sebuah akun Facebook. Video asusila yang direkam sendiri oleh AK itu viral di media sosial. AK membuat video asusila itu di tempat tinggalnya di Kampung Pakuning, Desa Sukarahayu, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi.

Adapun anak kandung AK yang nampak dalam video asusila itu baru berusianya 9 tahun. Anak laki-laki itu merupakan anak pertama AK dari mantan suaminya. Suami AK saat ini adalah seorang kuli serabutan yang bekerja di wilayah Cibubur, Kabupaten Bogor. “Pulang seminggu sekali, kadang ngirimin, gak balik," tutur K ayah pelaku.

Menurut K, putrinya membuat video asusila dengan anak kandungnya sendiri karena terpaksa. AK mengaku diancam oleh seseorang yang dikenalnya melalui Facebook.

Betapa miris dalam kehidupan sekuler kapitalisme saat ini, kasus kriminal yang malah menjadikan seorang ibu sebagai pelaku, bukanlah hal baru di telinga kita, termasuk pelecehan seksual. Dalam asuhan sekularisme, pelecehan seksual begitu marak yang akhirnya menjadi kasus kriminal yang biasa terjadi. Bahkan, kejahatan itu bisa terjadi pada siapa saja dan bukan hanya perempuan yang menjadi korbannya.

Dari segi agama, perilaku keji ini jelas menyelisihi fitrah. Segala sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia pasti merupakan masalah. Misalnya, pada fitrahnya, manusia adalah makhluk yang membutuhkan makanan untuk bisa bertahan hidup. Walhasil, akan jadi masalah apabila tidak ada makanan yang bisa dikonsumsi.

Begitu pula fitrah seorang ibu. Sosok ibu memiliki peran yang sangat mulia. Betapa pengorbanan dan kasih sayang yang mengalir dari jiwa dan raganya begitu besarnya. Mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, hingga mendidik dan menjaga anak-anaknya. Begitulah kemuliaan seorang ibu yang akan berkontribusi melahirkan dari rahimnya para insan cemerlang. Ibu adalah guru pertama, sebelum si kecil belajar dengan guru mana pun. Oleh karenanya, kecerdasan, keuletan, dan perangai sang ibu adalah faktor dominan bagi pendidikan dan masa depan anak. Itulah fitrah seorang ibu.

Sistem sekulerisme hari ini telah nyata membuat rusak pola pikir dan pola sikap masyarakat, karena sekulerisme telah memisahkan aturan Sang Pencipta dengan kehidupan sehari - hari, sungguh pemisahan ini sendiri adalah bagian melanggar fitrah seseorang sebagai hamba dari Sang Pencipta. 

Selanjutnya negara memelihara sistem ini hingga merasuk dan merusak tatanan kehidupan masyarakat, kemudian ditambah beban ekonomi kian berat, biaya pendidikan semakin mahal, lapangan kerja yang mencukupi kebutuhan keluarga semakin sulit diperoleh, tayangan merusak banyak bersliweran di media manapun, judi online kian menggiurkan, pinjol kian menarik, gaya hidup hedonis hingga glamour terus dipamerkan, dan seabrek kerusakan yang bertebaran melintas di depan mata siap kalap mengikutinya.

Dimana peran negara sebagai pelindung atau perisai. Patut diapresiasi, negara sudah ada payung hukum soal ini, yakni UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). Akan tetapi, jika melihat argumentasi dari para pejuangnya, dahulu mereka berkoar-koar kasus kekerasan seksual terjadi karena belum disahkannya UU tersebut. Realitasnya, sudah disahkan pun tetap tidak mampu menghapuskan fakta maraknya pelecehan seksual, termasuk oleh seorang ibu.

Terkadang pula, UU yang ada mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain. UU TP-KS sendiri dinilai justru bertentangan dengan Pancasila dan norma-norma agama, bahkan dengan banyak sekali aspek lainnya.

Ditambah sering terjadi perubahan dan revisi UU dalam rangka menyesuaikan dengan suatu kepentingan. Ada yang setelah diketok palu, tidak dikawal dan dipahami sehingga belum dilaksanakan saja sudah direvisi lagi. 

Ini semua tentu menunjukkan adanya ketakkonsistenan dalam hukum. Wajar muncul pertanyaan, jika UU TP-KS ini belum nyata berhasil dalam memberantas pelecehan seksual, untuk agenda atau kepentingan apa sebenarnya kebijakan UU TP-KS ini dibuat? Masihkah berharap UU ini bisa menyelesaikan kekerasan seksual secara komprehensif?

Sesungguhnya hanya kepada Islam kita perlu kembali, yang akan mendudukkan peran perempuan dan ibu sesuai fitrah penciptaannya. Dalam sebuah HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Ya Rasulullah, kepada siapakah aku berbakti yang utama?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Rasul pun menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Rasul pun menjawab, “Ibumu.” Orang itu pun bertanya kembali dan Rasul pun menjawab, “Kemudian ayahmu.”

Artinya, setiap manusia yang lahir ke dunia ini adalah karena kuasa Allah Taala yang diamanahkan melalui rahim seorang ibu, sosok perempuan yang diciptakan-Nya dengan segenap fitrah kelembutan dan kasih sayangnya.

Allah Swt. pun menegaskan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Islam. Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50).

Solusi komprehensif dari seluruh problematik saat ini, termasuk pelecehan seksual, hanyalah dengan mencampakkan sistem rusak nan merusak dan kembali pada sistem yang mampu menjamin penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni Islam, sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Adil.

Perjuangan mengembalikan Islam ditengah- tengah umat membutuhkan peran kita bersama, beriman kepada Allah, maka seharusnya juga memperjuangkan syariat Allah agar terterapkan. Mari bersama bersatu untuk selamatkan umat manusia dari kerusakan menuju kebaikan dalam naungan Islam.
Wallahu a'lam.