-->

PPN Naik, Hidup Rakyat Makin Terhimpit

Oleh: Ida Nurchayati, Aktifis Muslimah

Seolah tidak mau kalah dengan harga-harga dan tarif tol, PPN pun bakal ikut naik. Menko Perekonomian menyampaikan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Landasannya Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN sebelumnya sebesar 10 persen naik menjadi 11 persen, berlaku per 1 April 2022. Dinaikkan menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025 (tirto.id, 8/3/2024).

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan kenaikan tarif PPN pada 2025 menjadi 12% dengan asumsi DPP  tetap, maka PPN akan mencapai Rp 885,12 triliiun, naik sebanyak Rp73,76 triliun (m.bisnis.com, 13/3/2024).

Rencana kenaikan PPN tentu semakin memberatkan beban rakyat ditengah kenaikan tarif tol, juga harga-harga kebutuhan yang melambung tinggi.

Pajak Instrumen Utama Kapitalisme

Sistem kapitalisme lahir dari rahim sekulerisme, yakni ide yang memisahkan agama dari negara. Penolakan peran agama untuk mengatur kehidupan melahirkan kebebasan individu, baik dalam beragama, berpendapat, berekspresi maupun kepemilikan. 

Kebebasan kepemilikan memungkinkan individu, swasta bisa memiliki dan menguasai semua sektor ekonomi, termasuk sumber daya alam seperti bahan tambang. Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Nizam Islam, negara dalam sistem  kapitalisme berfungsi sebagai regulator, keberadaannya semata untuk menjamin kebebasan individu. Negara akan turun tangan ketika ada individu yang merasa terganggu kebebasannya. Selama individu tersebut tidak terganggu mesti haknya dirampas, maka negara abai.

Sistem kapitalisme, membuka lebar kran penjajahan atas nama investasi, sumber daya alam yang melimpah bisa diprivatisasi dan dimiliki segelintir oligarki. Sementara negara hanya menikmati remah-remah pajak dan royalti. Ketika negara kehilangan potensi pemasukan dari sumber daya yang dimiliki, secara otomatis dalam melaksanakan pembangunan akan mengandalkan pajak dan hutang luar negeri. Rakyat dibebani beraneka pajak yang sangat mencekik, dari pajak bumi dan bangunan, pajak pendapatan, pajak pertambahan nilai, pajak jual beli, pajak hiburan, pajak barang mewah dan sebagainya.

Sumber Pendapatan Islam

Berbeda dalam Islam, pajak (daribah) merupakan sumber pemasukan terakhir bukan ujung tombak perekonomian seperti dalam sistem kapitalisme. 

Menurut SyekhTaqiyuddin an Nabhani, pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka, yang sifatnya mendesak. Yakni kondisi jika tidak dibiayai akan menimbulkan dharar atau bahaya, seperti bencana alam, jihad, dan lain-lain, dimana kondisi baitul mal kekurangan kas atau defisit. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya, dimana harta kekayaan wajib pajak melebihi dari kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna sesuai standar hidup dimana mereka tinggal.  Bagi yang tidak memiliki kelebihan harta, tidak diambil pajak. Nabi SAW bersabda yang artinya,

"Sebaik-baik sedekah adalah yang berasal dari orang-orang kaya" (HR Bukhari). 

 Pajak juga tidak dikenakan pada aset atau barang milik masyarakat. Pajak termasuk dalam pos kepemilikan negara yang sifatnya temporer, tidak boleh ditarik selama baitul mal ada uang atau harta untuk pembiayaannya.

Islam melarang manusia mengambil harta sesamanya dengan cara yang batil, termasuk mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak. Allah berfirman dalam Surat An Nisa ayat 29 yang artinya,

 "Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..." 

Allah mengancam para penguasa yang menarik pajak rakyatnya secara batil, 

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (di adzab) di neraka”  

 (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7) 

Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak melalui mekanisme baitul mal mencakup (1) Pos zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal, termasuk infak dan wakaf, (2) Pos kepemilikan umum, yakni harta yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh khilafah tanpa intervensi asing, (3) Pos kepemilikan negara, berupa kharaj, usyur, jizyah, fa'i, juga dari harta warisan bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, harta orang-orang murtad, harta haram pejabat atau pegawai negara, khumus dan rikaz, harta milik umum yang dilindungi negara, harta yang dipungut dari bea cukai di sepanjang perbatasan negara.

Sistem ekonomi bebas pajak hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah melalui institusi Khilafah Islamiyah

Wallahu a'lam bishawab