-->

Tanah Subur Makmur: Islam Solusinya

Oleh: Isna Anafiah

Indonesia Indonesia tanahku subur
Tanah subur ya subur
Kami cinta kau
Kami cinta kau sepanjang umur ya umur

Itulah sebait lirik lagu Indonesia subur karya M. Syafei yang menggambarkan betapa suburnya negeri ini. Indonesia adalah negeri yang Allah berkahi. Berlimpah sumber daya alam dan tanah yang subur serta luas. Dari potensi itulah, tanah kaya ini dapat ditanami berbagai komoditas pangan. Namun sayangnya negeri yang digambarkan subur dan berlimpah sumber daya alam ini harus menelan pil pahit, tidak dapat menikmati harga pangan dengan harga murah dan terjangkau.

Puncak perayaan Natal dan Tahun Baru menjadi satu momen yang miris. Di satu sisi gegap gempita perayaannya terasa jauh hari sebelum hari H, tapi di sisi lain masyarakat dibuat getir dengan harga pangan yang terus meroket. Dilansir oleh databoks.katadata.co.id (31/12/2023) dari data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk wilayah DKI Jakarta pada hari tersebut sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan dan beberapa menurun. Setidaknya dari 19 komoditas terdapat 2 komoditas naik dan 6 komoditas turun.

Komoditas telur ayam ras naik paling tinggi Rp320 (1,18%) menjadi Rp27.470 per kg. Adapun harga cabai rawit merah turun paling rendah Rp2.660 (2,83%) menjadi Rp91.400 per kg. Sedangkan beras premium: Rp14.900 per kg (naik 0,54%). Komoditas lainnya terpantau tetap jika dibandingkan dari hari sebelumnya, seperti daging sapi murni yang masih bertengger di angka Rp136.940 per kg. Begitu juga bawang merah tetap dengan harga Rp41.060 per kg.

Masalah kenaikan harga pangan di negeri ini terus berulang setiap tahun. Terutama menjelang Natal, Tahun baru, Ramadhan dan Hari Raya. Kenaikan pangan ini pun terjadi merata di seluruh wilayah negeri ini. Tak hanya para konsumen yang mengeluhkan kenaikan harga pangan yang terus merangkak, para pedagang pun mengeluhkannya. Karena dengan merangkaknya harga sejumlah komoditas pangan membuat daya beli masyarakat menurun dan omset para pedagang juga jadi menurun.

Daya beli masyarakat menurun karena kondisinya besar pasak daripada tiang, lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Langkah nyata yang dilakukan pemerintahan pun tidak dapat menyelesaikan masalah pangan hingga tuntas. Penguasa hanya memberikan langkah pragmatis yakni sekedar menggelar pasar murah saja. Pemerintah beralasan bahwa fenomena alam yang terjadi di negeri ini seperti elnino dan cuaca menjadi penyebab produksi pangan menurun.

Tak hanya itu, penguasa juga beralasan bahwa petani tidak dapat memenuhi stok pangan dalam hal ini. Padahal faktanya para petani justru tengah menghadapi persoalan pelik. Mereka sering mengalami kerugian karena biaya tanam yang membengkak. Seperti bibit, pupuk, dan peralatan pertanian yang mahal ditambah fenomena alam seperti el nino dan cuaca tak menentu menambah kesulitan mereka. Sayangnya lagi penguasa justru sering kali melakukan kebijakan yang merugikan petani di saat musim panen yaitu dengan melakukan kebijakan impor. Tak heran jika para petani merasa kecewa dan dirugikan.

Hal ini wajar terjadi karena penguasa dengan perspektif kapitalis hadir tidak untuk mengurus rakyatnya. Para penguasa hanya duduk sebagai regulator. Hasilnya pasar dan harga pangan menjadi tempat para mafia pangan melakukan aksinya. Mereka sengaja menahan dan menimbun pasokan barang sehingga terjadi kelangkaan. Dengan seperti itu para mafia pangan akan sangat mudah memainkan harga dengan harga tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang fantastis atau mendorong pemerintah agar melakukan kebijakan impor terhadap komoditas tersebut.

Kebijakan impor sering kali dilakukan sebab sistem demokrasi meletakkan kedaulatan hukum di tangan manusia (penguasa). Terlebih selama kebijakan menguntungkan para mafia (korporat) hal ini menjadi ajang balas budi karena para korporat tersebut karena telah membantu para penguasa untuk meraih kekuasaan demokrasi yang mahal. Dengan demikian naik turunnya harga barang bukan cerminan keseimbangan supply and demand, namun karena distribusi pasar akibat penimbunan dan lain-lain.

Masalah kenaikan harga pangan ini akan terus berulang jika negeri ini masih menggunakan sistem demokrasi kapitalis untuk mengurus rakyat. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsep distribusi diatur oleh Islam. Islam adalah ideologi yang tidak hanya mengatur urusan ibadah ritual dan spiritual saja tetapi mengatur tata cara bernegara. Di sinilah Islam memiliki seperangkat aturan agar tidak terjadi kelangkaan dan kenaikan harga pangan. Aturan di dalam Islam secara praktis akan diterapkan dalam sebuah negara yaitu Khilafah Islamiyyah.

Upaya yang dilakukan khilafah adalah menjaga kestabilan stok pangan, menerapkan politik pertanian dengan memperbaiki kebijakan produksi pertanian berupa intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana pertanian yang lebih baik. Khilafah akan memberikan subsidi untuk keperluan sarana pertanian. Keberadaan diwan 'atha (biro subsidi) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani. Mereka akan diberikan berbagai bantuan, fasilitas, dan dukungan dalam berbagai bentuk. Seperti modal, benih, obat-obatan, teknologi, peralatan, teknik budidaya, pemasaran dan lain-lain.

Khilafah juga akan membangun infrastruktur yang akan melancarkan distribusi pangan. Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luas lahan pertanian yang diolah. Khilafah akan membuat kebijakan yang dapat mendukung perluasan lahan pertanian diantaranya akan menjamin kepemilikan lahan pertanian dengan cara menghidupkan lahan mati dan pemekaran jika petani tidak menggarapnya secara langsung.

Khilafah juga akan memberikan tanah milik negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Persoalan keterbatasan lahan juga diselesaikan dengan membuka lahan baru seperti mengeringkan rawa dan direkayasa menjadi lahan pertanian. Lalu diberikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan demikian stok dan harga pangan akan stabil bahkan murah dan terjangkau di negeri yang subur dan dan akan makmur jika Islam dijadikan solusi.