-->

Polemik Dana Desa Vs Sembilan Tahun Jabatan

Oleh: Puspita Ningtiyas, S.E. 

Ramai diperbincangkan bahwa kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan menjadi Sembilan tahun. Tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa ini juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun. Permintaan tersebut tiga kali dari alokasi dalam APBN 2022 sebesar Rp68 triliun.

Sejak berlaku pada 2015, anggaran dana desa sebetulnya terus mengalami peningkatan. Total penyaluran dana desa hingga 2022 mencapai Rp468,9 triliun.  Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 74.093 desa pada 2015.  Rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp907,1 juta pada 2022. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan 2015, yang hanya Rp280,3 juta.

Hal ini disambut oleh anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Johan Budi Sapto Pribowo, yang justru  mendorong dana desa sebesar 15 % dari dana transfer daerah.Ia beralasan, banyak desa yang tentunya membutuhkan anggaran lebih dari itu untuk pembangunannya. Dengan persentase dana desa sebesar 15 persen tentu akan membuat banyak desa mendapatkan anggaran yang lebih dari angka tersebut.  

"Bisa juga 2 miliar, bisa juga nanti 10 miliar juga bisa, tergantung dari itu (15 persen dari dana transfer daerah) nantinya. Karena itu, saya usul tidak dengan dipatok, tetapi dengan persentase, karena itu tergantung dari tadi itu masing-masing," ujar Johan dalam rapat panitia kerja (Panja) penyusunan draf revisi UU Desa, Selasa (27/6/2023) - https://news.republika.co.id/

Disisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa dari dulu hingga sekarang, problem laten dana desa berkutat pada dua hal, yaitu tidak tepat sasaran ataupun rawan korup oleh perangkat desa sendiri, termasuk kepala desanya. Menyikapi hal ini, jangankan memperketat regulasi untuk mencegah timbulnya dua masalah tersebut, pemerintah justru me-revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa,  menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa, yang awalnya enam tahun menjadi sembilan tahun. 

Karena itulah muncul kontraversi di kalangan para pakar, salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto yang dilansir di laman https://rejogja.republika.co.id/. Beliau menyebut revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Mengingat revisi yang dilakukan tersebut menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa.

Jelas, keputusan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini, membuka kemungkinan lebih banyak lagi, kasus korup di kalangan desa.  Hal ini dikarenakan masa jabatan yang lebih lama akan membuka peluang lebih besar bagi petahana untuk menancapkan kekuasaanya. 

Sebenarnya masa jabatan tidak satu-satunya penyebab meningkatnya kasus korup di kalangan pejabat. Namun di alam poilitik demokrasi seperti saat ini, yang menjunjung kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan, korupsi menjadi hal yang wajar dilakukan. Mereka yang kurang berhati-hati dan kebablasan yang akhirnya tertangkap dan dipidana. Sedangkan mereka yang bermain cantik, akan lolos dari jeratan hukum.

Semua berawal dari paradigma mendasar tentang bagaimana mengurus urusan rakyat. Demokrasi memandang, kepengurusan urusan rakyat bisa diwakilkan pada beberapa orang yang terpilih sebagai wakil rakyat. Rakyat berharap kepada wakil rakyat ini, untuk bisa membuat kebijakan atau undang-undang yang bisa menyelesaikan persoalan tanpa adanya kasus korup. 

Namun kenyataan berkata lain. Pertama, secerdik apapun wakil rakyat yang terpilih, tetap saja mereka adalah manusia yang memiliki keinginan dan ketamakan terhadap kepemilikan. Jika dibiarkan membuat hukum, maka mereka akan membuat hukum yang melancarkan keinginan dan ketamakan mereka. Kedua, metode pengangkatan wakil rakyat dalam demokrasi, butuh modal yang sangat besar. Mereka mengatakan itu untuk memenangkan hati rakyat. Ditambah lagi anggaran yang dikeluarkan oleh negara untuk melakukan pesta demokrasi ini juga cukup besar. Setelah wakil terpilih, dalam masa jabatan yang singkat mereka harus berfikir mengembalikan semua yang dikeluarkan sebagai modal tersebut. Setelah itu jika ada waktu sisa, baru urusan rakyat difikirkan.

Oleh karena Islam tidak menjadikan wakil rakyat atau jabatan penguasa sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan. Setidaknya tidak membuat orang berfikir untuk memperebutkan kekuasaan demia harta. Penguasa tertinggi dalam Islam namanya Khalifah, dan di dalam sejarah, kita tahu bagaimana memoar para khalifah pada masa khulafaurrasyidin semasa mereka menjabat. Mereka hidup dengan sisa-sisa dunia yang telah diberikan kepada rakyatnya. Kita bisa saksikan bagaimana sosok khalifah Umar Bin Khattab yang makan roti kering setiap hari demi rakyatnya. Atau sosok khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang enggan menyalakan lilin di kantornya, khawatir terpakai untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Dalam Islam menjadi penguasa adalah ibadah. Penguasa adalah pelayan yang wajib melayani rakyatnya terlebih dulu baru dirinya dan keluarganya. Maka pada masa Islam, tidak ada fenomena perebutan calon pemimpin, ataupun minta perpanjngan jabatan, karena ketakutan akan konsekuensinya, di dunia maupun di akhirat. 

Selain itu, cara pemilihan pemimpin dalam Islam pun tidak memerlukan banyak pendanaan. Sangat murah bahkan nyaris tidak ada biaya. Masyarakat dikenalkan dengan para candidat terpilih dengan syarat-syarat yang diverifikasi mumpuni. Setelah itu mereka memilih dan melakukan baiat. 

Ketika pemimpin telah terpilih, maka fokusnya adalah bagaimana kebutuhan rakyat terpenuhi dengan baik. Dengan sumber daya alam yang melimpah, maka akan sangat cukup, tanpa harus melakukan utang luar negeri atau melakukan perjanjian yang merugikan secara langsung maupun tidak langsung bagi kaum muslimin. Keuangan negara pun bersifat sentralisasi di dalam Baitul Mal, sebuah lembaga yang mengatur arus pendapatan dan pengeluaran belanja negara. Dengan sistem keuangan seperti ini akan meminimalisir korupsi berjenjang di daerah-daerah maupun di pedesaan. 

Begitulah paradigm Islam dalam kepemimpinan sebuah negara dan bagaimana menjaga agar tidak ada pemimpin yang korup sehingga kebutuhan masyarakat tersalurkan secara merata ke seluruh wilayah.