-->

Ironi Penegakan Hukum Dalam Sistem Demokrasi

Oleh: Milawati (Aktivis BMIC Malang)

Indonesia adalah negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sesuai konsep konstitusionalisme.  Dalam sistem demokrasi terkandung prinsip-prinsip kedaulatan berada ditangan  rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsepsi negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie).

 Mekanisme penegakan hukum dalam sistem demokrasi adalah harus mampu melindungi hak warga negaranya dari ketidakadilan dan saling menghormati terhadap keberlangsungan hukum yang ada. Hal itu menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum dengan otoritas penegak hukum. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, bahwa konsepsi negara hukum atau "rechtsstaat", yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi.

Persoalannya, implementasi penegakan hukum dalam sistem demokrasi sangat lemah dan melenceng dari konsep ideal negara hukum itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas Muhammad Hasya Atallah Saputra seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis (6/1/2023) malam WIB. Mahasiswa FISIP UI tersebut meninggal tidak lama setelah kecelakaan yang melibatkan AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono. BEM UI geram karena Hasya yang menjadi korban malah ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini membuat geram Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta, yang mengatakan "Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan,".

 Begitupun pihak kuasa hukum dan keluarga merasa kecewa dan terus mempertanyakan hal tersebut tentang kejanggalan terduga pelaku yang tidak mau menolong Hasya untuk melarikan ke RS terdekat sesaat setelah dilindasnya. Terduga polisi malah membiarkan salah satu saksi di lokasi untuk mencari ambulans ke tiga rumah sakit terdekat. 

Permasalahan yang terjadi didalam sistem demokrasi tidak hanya satu atau dua permasalahan saja tapi sudah banyak permasalahan yang terjadi di berbagai bidang  tetapi masih belum ada solusi tuntas untuk menanganinya. Hukum yang berjalan saat ini lebih banyak memihak penguasa, pengusaha, dan politisi serta semakin memarginalkan rakyat. Karena itu penegakan hukum di tanah air jauh panggang dari api. Apalagi, kini hukum sering tajam kepada kalangan yang berseberangan dengan penguasa, tetapi tumpul pada orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Banyak warga diadili dengan tuduhan menyebarkan hoax atau menghina pejabat negara. Namun, para buzzer yang menista tokoh Islam dan menyebar berita palsu nyaris tak dijerat hukum. Inilah hukum yang tejadi di dalam sistem demokrasi, yang mengatakan bahwa kedaulatan tertinggi itu berada di tangan rakyat tapi pada faktanya rakyatlah yang menjadi korban atas penegakan hukum tersebut.

Berbeda halnya Sistem peradilan dalam Islam dengan sistem peradilan dalam sistem demokrasi saat ini. Di bawah sistem Islam, seorang korban kejahatan berhak memaafkan pelaku kejahatan atau menuntut tanggung jawab (kisas) atas sebuah kejahatan, kecuali sanksi-sanksi hudud yang merupakan hak Allah Ta’ala. Sanksi Islam diterapkan tanpa ditunda-tunda dan dilakukan tanpa keraguan. Tidak ada seorang pun yang mendapat sanksi, kecuali setelah mendapatkan vonis pengadilan. Selain itu, berbagai bentuk penganiayaan tidak akan pernah diizinkan.

 Menurut sistem peradilan Islam, hanya ada satu kadi (hakim) yang bertanggung jawab dalam setiap perkara. Ia berwenang mengadili perkara yang diadukan dan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Kadi-kadi lainnya hanya berhak membantu dan memberikan masukan jika ia diminta oleh kadi yang memimpin persidangan.

Sanksi Islam hanya dapat dikenakan jika bukti-bukti yang ada secara pasti menunjukkan perbuatan kriminal seseorang dan seluruh syarat terpenuhi, seperti syarat empat orang saksi dalam perkara perzinaan. Jika sedikit saja ada keraguan atas bukti yang diajukan, kasus yang tengah diadili akan dihentikan. Di bawah sistem peradilan Islam, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim, terdakwa maupun tertuduh, berhak untuk mengangkat seseorang untuk mewakilinya. Selain itu, tidak ada perbedaan antara peradilan sipil dan peradilan militer seperti saat ini kita dapati di negeri-negeri muslim. Di Pakistan, misalnya, sebagian hukum Islam dan sebagian hukum kufur diterapkan bersama-sama. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan.

Hukum selamanya tidak akan sahih jika datang dari akal dan hawa nafsu manusia, bukan dari ketetapan Pencipta manusia, Allah Swt.. Pakar hukum Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc. menyebutkan kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih saja berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama yang cenderung sekuler, materialistik, dan mengandung cacat ideologis. Selain itu, hukum buatan manusia penuh dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik. Saat ini hukum tunduk pada politik sebab hukum itu merupakan kesepakatan politik alias produk politik. Karena sarat kepentingan pihak tertentu, hukum buatan manusia sering berisi pasal-pasal karet yang dapat ditarik-ulur sesuka hawa nafsu penguasa. Padahal Allah Swt. telah mengingatkan bahwa kehancuran akan datang jika kebenaran mengikuti hawa nafsu. Allah Swt. berfirman,

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andai kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.” (QS Al-Mukminun [23]: 71)

Allah Swt. pun menegaskan bahwa mereka yang mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan hukum-hukum-Nya sebagai orang yang sesat,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ

“Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun?” (QS Al-Qashash [28]: 50)

Islam tidak menyerahkan pembuatan hukum kepada hawa nafsu dan keinginan manusia sebagaimana di Barat. Pembuatan hukum adalah hak Allah Swt. Sang Pencipta manusia dan Zat yang Maha Mengetahui keadaan manusia.  Allah Swt. berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS Al-An’am: 57)

Dalam sistem islam Ada tiga pilar yang selalu menyertai ketika sistem Islam kafah diterapkan dalam segala aspek dalam naungan Khilafah, yaitu keimanan dan ketakwaan individu, opini publik yang memandang buruk maksiat atau kejahatan, serta sanksi tegas oleh negara terhadap tindakan kriminal.