-->

Ada Apa Di Balik Penangkapan Terduga Teroris dengan Barang Bukti Buku Iqro'?

Oleh: Ummu Raihan

Dilansir dari TintaSiyasi - Buku Iqro' dan buku agama jadi barang bukti tindak pidana (TP) terorisme. Keduanya disita saat penggeledahan di rumah terduga teroris di Sukoharjo, Kamis (1/12/2022 (okezone.com, 2/12/2022).Tentu saja ini menjadi berita yang mengejutkan bagi kaum muslimin khususnya. Dan tak hanya kali ini. Buku dan barang lain terkait agama atau simbol Islam, sering dilaporkan berada di rumah terduga teroris.

Sebagaimana yang telah terjadi di Denpasar, Bali, pada Rabu (7/9/2022). Densus 88 membawa sejumlah barang bukti berupa buku  agama, busur, dan anak panah saat melakukan penggeledahan di rumah terduga teroris (idntimes.com, 9/9/2022).  Densus 88 juga telah menyita barang bukti berupa 12 buku agama dan dua kaset DVD tentang jihad saat melakukan penggeledahan rumah terduga teroris di Lampung (metrotvnews.com, 15/11/2022).

Tentu saja, pengulangan informasi terus-menerus tentang keberadaan buku dan simbol agama Islam di rumah terduga teroris telah membentuk persepsi publik bahwa  Muslim dan Islam adalah terorisme. Seolah - olah memberi kesan bahwa buku agama inilah yang menginspirasi seseorang melakukan tindakan teror.   

Ini merupakan efek ilusi kebenaran, yaitu fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai kebenaran setelah proses repetisi atau pengulangan. Sebagaimana yang dilakukan Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada era Nazi Jerman, saat menyarankan taktik propaganda perang menggunakan kabar bohong. Ia berkata, "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik karena akan diterima sebagai kebenaran."

Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah adanya upaya pengaitan terorisme dengan Islam ini tak sesuai realitas. Karena sesungguhnya Islam tidak sama sekali mengajarkan terorisme, bahkan melarang pemeluknya menjadi teroris sebab ini merupakan tindakan ekstrem (melampaui batas) yang mengakibatkan kerusakan. Dapat dipastikan bahwa isu terorisme adalah propaganda kebohongan demi mencitraburukkan Islam dan umatnya.

Indonesia dalam Jeratan Global War on Terrorism dan Radicalism

Pasca kepemimpinan Blok Timur (komunisme) Uni Soviet runtuh, kekuasaan dunia secara politik berada di tangan Blok Barat (kapitalisme) pimpinan Amerika Serikat (AS). Dan untuk menjaga dominasinya di dunia, AS telah membuat proyek politik global demi menekan dan menghukum negara yang tidak tunduk padanya. Proyek tersebut adalah global war on terrorism (GWOT) yang kini bermetamorfosis menjadi global war on radicalism (GWOR).

Analis politik dari Princeton University AS, Robert Gilpin pernah menyoroti GWOT terkait upaya AS mendominasi dunia. Diapun telah mempublikasikan analisisnya dalam International Relations Journal Tahun 2005 Vol 19(1) berjudul, “War is Too Important to Be Left to Ideological Amateurs”.

Menurutnya,proyek GWOT diarsiteki oleh kelompok ultra–nationalists atau imperialist-elite yang mendominasi pemerintahan Bush saat itu. Adapun yang menjadi tujuan utamanya adalah mempertahankan dominasi AS di dunia dan mencegah munculnya kekuatan lain yang membahayakan supremasi AS.

Ia juga menambahkan bahwa rencana tersebut telah dirancang AS sejak masa Ronald Reagan. Yang kemudian pada masa Bush kembali ditegaskan dalam draft ”Cheney–Wolfowitz Doctrine” yang salah satu isinya adalah pemakaian kekuatan militer AS untuk mencegah bangkitnya kekuatan lain di dunia. Faktanya kemudian mudah dilihat. Di bawah payung GWOT, AS bertindak seakan polisi dunia. AS bisa menghukum negara mana pun di dunia melalui invasi militer berdalih negara tersebut mendukung atau menjadi poros terorisme.

Donald Trump,pada saat menjadi presiden lebih memperjelas lagi bahwa target GWOT tersebut adalah gerakan Islam. Ia mengatakan, “The threat from radical islamic terrorism is very real, just look at what is happening in Europe and the Middle-East. Courts must actfast!” (Washingtonpost.com, 22/05/2017).

Dengan tegas ia menyatakan bahwa ancaman nyata dari ‘radical islamic terrorism’, sehingga perlu aksi cepat menghadapinya. Jelaslah bahwa dalam GWOT maupun GWOR terdapat agenda kepentingan AS. 

Di antaranya adalah menjaga dominasi AS sebagai pimpinan kapitalisme di dunia, legitimasi imperialisme, dan mencegah kebangkitan Islam. 

Imperialisme merupakan inilah yang menjadi metode dasar penyebaran ideologi kapitalisme. Dan AS telah menjadikan GWOT/R sebagai alat mendominasi dunia di bawah ideologinya. Dengan begitu AS akan mencengkeram dunia dalam imperialismenya yang dilegitimasi oleh GWOT/R.

Adapun perang peradaban antara Islam dan kapitalisme merupakan keniscayaan. Sebagaimana prediksi Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Pasca runtuhnya ideologi Komunisme Uni Soviet, Islamlah satu - satunya ancaman bagi AS dan sekutunya dalam mewujudkan ideologinya. Huntington telah menyatakan, “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”

GWOT/R sejatinya digunakan oleh AS demi menghadang kebangkitan Islam yang ditandai dengan tegaknya kekhilafahan Islam. Kekhawatiran Barat terhadap khilafah inilah yang melatarbelakangi serangkaian konspirasi, strategi, dan kebijakan politik luar negeri mereka untuk mencegah khilafah berdiri kembali. Barat sadar, apabila khilafah berdiri dan mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, maka hegemoni Barat di dunia akan runtuh.

GWOT/R itu bukanlah untuk kepentingan negeri Muslim, tetapi untuk kepentingan negara-negara Barat penjajah.Mereka berdalih GWOT/R demi melindungi keamanan negeri Muslim dari bahaya aksi terorisme dan radikalisme. Padahal itu hanyalah strategi mereka demi menghindari konflik terbuka dengan umat Islam melalui dua pendekatan.

Pertama, mereka tidak melakukan serangan langsung terhadap Islam. Mereka menyamarkannya dengan perang melawan terorisme, radikalisme, fundamentalisme, atau berbagai ungkapan kamuflase lainnya. Sebab, jika menyatakan secara terbuka perang melawan Islam tentu akan memunculkan reaksi dari seluruh umat Islam di dunia.

Kedua, mereka telah meminjam tangan orang Islam untuk berperang melawan orang Islam lainnya. Sebagai fakta di Irak dan Afganistan telah membuktikan kepada mereka bahwa berperang secara langsung dengan umat Islam sangat berat.  Perlawanan umat Islam di negeri tersebut tidak mudah ditundukkan. Pada akhirnya mereka membentuk pemerintahan boneka di Irak dan Afganistan untuk memerangi rakyatnya sendiri. 

Begitu juga yang mereka terapkan pada negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk di Indonesia. Penguasa negeri yang kita cintai ini telah diarahkan untuk memerangi rakyatnya sendiri. Yang Muslim berdalih perang melawan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme. Realitasnya, hingga kini GWOT/R terlebih isu radikalisme terus dilancarkan. Para pejabat menyampaikan di berbagai kesempatan bahwa terorisme dan radikalisme adalah virus, dan penangkalnya adalah program moderasi beragama.

Dampak Penemuan Buku Iqro' sebagai Barang Bukti Tindak Pidana Terorisme terhadap Persepsi Publik tentang Islam

Meski sebagian kalangan merasa janggal ketika buku Iqro' dan buku agama dijadikan sebagai barang bukti TP terorisme, namun hal ini seolah telah lazim terjadi. 

Selama ini penangkapan dan penggeledehan di kediaman terduga teroris selalu melibatkan simbol agama (Islam); buku Iqro', buku bertema jihad dan khilafah, panah yang identik dengan alat olahraga sunah, hingga bendera tauhid. Pun terduga teroris digambarkan dalam sosok berjenggot, celana cingkrang, dan istri bercadar atau berkerudung lebar.

Menjadikan buku Iqro' dan sejenisnya sebagai barang bukti TP terorisme akan berdampak pada persepsi publik tentang Islam, yaitu: 

Pertama, terjadi islamofobia. Ditemukannya buku agama di rumah terduga teroris menimbulkan kesan bahwa ajaran Islam menjadi inspirasi, membolehkan, atau mendorong umatnya melakukan tindakan teror dan kekerasan. Akibatnya, masyarakat jadi fobia atau takut pada Islam. Hari ini, sebagian Muslim mendengar istilah jihad saja takut. 

Kedua, sensitif negatif terhadap simbol Islam atau yang berbau Islam. Ada sebagian orang yang melihat bendera tauhid misalnya, langsung teringat ISIS atau tindakan terorisme. Pemberitaan masif tentang ini telah menyisakan persepsi kelam di sebagian benak masyarakat. 

Ketiga, memandang rendah orang yang berpenampilan islami sebagai teroris atau radikalis. Meskipun kadang hanya berupa candaan misalnya, "Enggak usah memelihara jenggot nanti dikira teroris," namun ini merupakan bentuk penghinaan. 

Keempat, mengamini adanya polarisasi dalam tubuh umat. Lambat laun masyarakat terbawa pada strategi belah bambu ala kaum kuffar. Mereka mengiyakan adanya kelompok teroris dan radikalis, dan memilih bergabung dalam barisan kaum moderat sebagai antitesis-nya. Sehingga polarisasi kian kuat.

Kelima, enggan mendukung perjuangan menegakkan sistem Islam. Seringnya cap radikal atau teroris disematkan pada orang yang taat agama atau pejuang Islam berakibat masyarakat enggan berdekatan dengan mereka. Bagaimana akan mendukung perjuangan tegaknya Islam kaffah, sementara guru ngaji saja dicurigai?  

Keenam, bila poin 1-4 terus terjadi, kerusakan masyarakat dan sistem hidup yang menaunginya bakal eksis. Terjadi pertarungan hebat antara yang haq dan batil. Tinggal siapa yang istiqamah dalam keyakinan dan perjuangan, ia yang akan bertahan bahkan menang. 

Demikian dampak dijadikannya buku Iqro' dan sejenisnya sebagai barang bukti TP terorisme bagi persepsi publik terhadap Islam. Akhirnya, ajaran Islam dan umatnyalah yang bakal babak belur dihajar  oleh propaganda busuk ini.

Oleh karena itu, penyesatan opini ini harus direspons oleh kaum Muslimin melalui dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Harapannya, masyarakat memahami bahwa ajaran Islam termasuk khilafah merupakan rahmat dari Allah SWT. Bukan buruk sebagaimana propaganda mereka. Apalagi dakwah Islam bersifat fikriyah (pemikiran) dan ‘unfiyah (tanpa kekerasan) sehingga tidak mungkin melahirkan terorisme.

Strategi Pemberantasan Terorisme Tanpa Memojokkan Umat Islam

Dalam kasus terorisme, penyelesaian dengan cara kekerasan ala Densus 88 justru berpotensi memicu kekerasan berikutnya. Penggunaan kekerasan pun ternyata tidak bisa mereduksi aksi terorisme secara signifikan. Penanganan terorisme bisa dilakukan secara preventif dan represif. Kekerasan termasuk cara penanganan represif. 

Mana yang lebih baik? Tergantung konteks yang melingkupi perkaranya dengan mencari penyebab utama TP terorisme yang terjadi berulang kali. Kekerasan bukan solusi utama pemberantasannya karena tidak menimbulkan efek jera melainkan aksi balas dendam yang berarti menimbulkan aksi kekerasan baru.

Maka perlu digagas strategi tepat untuk memberantas terorisme tanpa memojokkan umat Islam. Terorisme bukan ajaran Islam, terlebih mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Berikut strateginya: 

Pertama, negara konsisten berfungsi sebagai pelindung masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dan bukankah tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 salah satunya berbunyi "Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia?" Menjadi kewajiban negara untuk melindungi semua komponen pembentuk bangsa, salah satunya rakyat. Parameter terlindungi yaitu saat hak warga negara terpenuhi sesuai konstitusi, seperti persamaan kedudukan dalam hukum, hak atas agama, hak atas HAM, dan hak atas politik. Maka aparat yang bertindak sewenang-wenang dalam penangkapan terduga teroris tentu menyalahi tujuan negara ini.

Kedua, pemerintah lebih berhati-hati menyematkan narasi terorisme dengan melibatkan simbol agama tertentu (Islam). Termasuk narasi radikalisme dan ekstremisme yang dikaitkan dengan terorisme. 

Tudingan radikalisme adalah pangkal terorisme tidak dapat dipastikan adanya korelasi signifikan, karena indikatornya sangat obscure dan lentur tergantung kemauan pemerintah. Selain itu, pengaitan terorisme dengan Islam, di satu sisi menimbulkan citra buruk Islam, namun di sisi lain bisa memicu resistensi umat Islam terhadap penguasa bila mereka memahami hakikatnya tak lebih sebagai propaganda busuk.

Ketiga, meningkatkan integritas aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus terorisme agar terjadi penegakan hukum berkeadilan. Di negeri ini etika penegakan hukum diatur dalam TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 

Terkait dijadikannya buku Iqro' dan buku agama sebagai barang bukti, ini pun menyangkut integritas APH. Tak lagi soal teknis kinerja aparat di lapangan. Densus 88 seharusnya profesional dalam mengungkap TP terorisme khususnya pengumpulan barang bukti. Buku Iqro' dan sejenisnya tidak bisa dijadikan barang bukti ketika tidak dipakai melakukan TP. Kecuali bila buku itu digunakan memukul korban hingga terluka atau mati barulah bisa dijadikan barang bukti.

Keempat, APH melakukan penegakan hukum terorisme berdasarkan aturan yang berlaku. UU Terorisme No.5 Tahun 2018 mestinya lebih baik dari UU Terorisme No.15 Tahun 2003. Secara teoretik ada kemajuan besar paradigma penanganan TP terorisme misalnya diubahnya Pasal 25 dan Pasal 28 UU PTPT (UU No. 5 /2018), yakni penangkapan dan penahanan terduga teroris harus menjunjung tinggi HAM. Makna dari perubahan ini adalah: 

a. Penangkapan dan lain-lain harus berdasarkan KUHAP untuk menjamin HAM. Bahkan ketika penyidik Densus 88 melanggar HAM, mereka dapat dipidana. Untuk menangkap terduga teroris harus memenuhi amar putusan MK No. 21 Tahun 2014 tentang bukti yang cukup (dua alat bukti) dan pemeriksaan pendahuluan. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum juga harus dipenuhi. Jadi, penanganannya tidak boleh sewenang-wenang berdalih terorisme sebagai TP bersifat extraodinary crime. Terorisme hanya sebagai TP serius atau serious crime.

b. Penanganannya harus memperhatikan ketentuan dalam Perkap No. 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. 

Tindakan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip: 1) legalitas, yaitu penindakan terhadap pelaku TP terorisme berdasarkan UU; 2) proporsional, yaitu tindakan sesuai eskalasi ancaman yang dihadapi; 3) keterpaduan, yaitu memelihara koordinasi, kebersamaan, dan sinergitas segenap unsur bangsa yang terlibat; 4) nesesitas, yaitu teknis penindakan terhadap tersangka TP terorisme berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi lapangan; 5) akuntabilitas, yaitu penindakan terhadap tersangka TP terorisme sesuai prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan UU. 

Kalau perubahan paradigma di atas menjadi ukuran, maka diduga penangkapan dan pembunuhan terhadap beberapa terduga, tersangka terorisme seperti Siyono Qidam, Muh Jihad, dan dr. Sunardi, tidak sesuai prosedur serta menyisakan berbagai pertanyaan, kejanggalan, dan penyimpangan hukum/HAM.

Demikian beberapa strategi pemberantasan terorisme tanpa memojokkan umat Islam. Sebenarnya yang terpenting adalah negara mampu bersikap independen sehingga tidak mudah diintervensi oleh kehendak asing. 

Andai Indonesia tidak terjerat  GWOT/R, maka friksi rezim dengan umat Islam tidak akan terjadi. Pun lebih leluasa dalam melindungi serta mengurusi kepentingan rakyat. Namun, mampukah Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia ini membebaskan diri dari berbagai program dan kebijakan wujud hegemoni negara-negara kuffar Barat?