-->

Problema Guru Honorer, Potret Buruknya Pembiayaan Pendidikan

Oleh : Rahmawati, S.Pd (Aktifis Muslimah Kalsel)

Jakarta – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tdak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya. “Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru itu,” ujar Irwan kepada wartawan, Minggu (19/9/2021).

Irwan menyayangkan pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti proses seleksi PPPK secara CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya. Dia pun mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terhadap dedikasi para guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade). Mereka sudah mengabdi sangat lama dan mereka mengajar itu di pelosok-pelosok daerah, seharusnya itu menjadi perhatian pemerintah,” katanya. Oleh karena itu Irwan meminta pemenrintah memperhatikan nasip para guru honorer yang cukup masa pengabdiannya dengan melakukan pengangkatan secara langsung menjadi PPPK atau CPNS tanpa proses seleksi.

Menurut dia, langkah seperti itu pernah dilakukan di era Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana tercatat sebanyak sebanyak 1,1 juta guru honorer diangkat menjadi PNS.
Kisah pilu guru honorer sudah banyak sekali kita temui. Seperti nasip bapak Dedi Mulyadi yang digaji Rp12 Ribu per hari. Dikutip dari Merdeka.com – Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Tak hanya mencerdaskan anak bangsa, guru juga memiliki peran menggantikan orangtua selama berada di sekolah. Meski demikian, ternyata masih ada guru honorer yang hidup dengan gaji Rp12 ribu per hari. Hal tersebut membuat ‘Aksi Cepat Tanggap’ mengunjungi guru honorer tersebut di tahun 2019. Melalui unggahan channel youtube ‘Aksi Cepat Tanggap’ di bulan November 2019, terdapat kisah pilu seorang guru di pelosok Pandagelang. Ia adalah Dedi Mulyadi. Setiap harinya Mulyadi mengajar di SDN Pasirlancar 2, Desa Pasilancar, Kecamatan Sindangresmi, Kabupaten Pandeglang. Sejak 2007 ia menjadi seorang guru honorer di SD, setiap hari mengajar murid-muridnya dengan penuh semangat. Jadi, jika di total pendapatan Mulyadi selama satu bulan kurang lebih Rp300 ribu.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. dengan demikian, rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Rasio yang ideal dalam pemenuhan layanan belajar.
Ditinjau dari status kepegawaian, terang-benderanglah peran signifikan guru honorer. Mayoritas guru honorer saat itu baru 1.607.480 (47,8 persen) guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer.

Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem hari ini menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi pendidikan dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas serta membiayai kebutuhan pendidikan termasuk dengan menempatkan terhormat dan menggaji secara layak para pendidik. Inilah akibat lemahnya visi negara terhadap pendidikan dan terhadap profil masa depan bangsa yang ingin diwujudkan. Negara masih terlihat belum sungguh-sungguh bahwa pendidikan adalah investasi masa depan generasi. Negara juga masih belum serius menempatkan pedidikan sebagai salah satu pilar peradaban yang seharusnya mendapat prioritas untuk di ri’ayah atau diurus demi kemaslahatan masyarakat dan negara yang lebih besar.

Sehingga wajarlah jika level keseriusan untuk menyelesaikan semua karut marut dunia pendidikan, termasuk soal nasib para guru honorer yang perannya sangat dibutuhkan. Seperti yang kita ketahui bahwa negara kita sangat kaya raya tapi ternyata tidak mampu mensejahterakan tenaga pendidik? Padahal kekayaan alam yang dimiliki amat sangat banyak dan jika kita menginginkan kesejahteraan dengan kehidupan penuh berkah tentu tidak akan sulit.

Berkebalikan dengan sistem khilafah yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik serta memiliki sistem politik-ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal. Seperti yang terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Al-Khattab, yang mana Khalifah sangat menghargai dan menjunjung tinggi seorang pendidik dalam hal ini adalah guru. Gaji guru pada saat itu sebesar 15 Dinar atau setara dengan 30 juta rupiah per bulan. Karena sang Khalifah menganggap bahwa tugas guru sangatlah mulia, begitu besar perhatian Khalifah dalam mengurusi para guru. Tentunya dengan gaji sebesar itu tidak memandang status guru tersebut apakah ASN atau pun honorer, apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.

Jadi tidak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan juga dapat dinikmati tanpa adanya beban biaya yang besar. Mungkin orang awam akan berfikir, kenapa bisa gaji guru bisa sebesar itu? Dalam kacamata manusia pasti akan berfikir bahwa setiap yang bermutu pasti harganya mahal. Tapi, tidak bagi sistem Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (total). Hal ini terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan guru dan murid. Inilah Islam, ketika diterapkan secara kaffah maka rahmatnya akan dirasakan oleh seluruh makhluk. Selama masih menerapkan sistem sekuler kapitalis, maka tidak akan pernah merasakan pendidikan yang bermutu dan murah.

Karena kesejahteraan guru akan didapat ketika sistem ini dipimpin oleh seorang Khalifah yang bertakwa kepada Allah dan berani menerapkan syariat Islam secara kaffah. 

Wallahu a’lam bisshowab.