-->

Pembunuh Petani (cabai) dikala Pandemi, Islam Jadi Satu-satunya Solusi

Oleh: Anita Arwanda (Mahasiswa)

Dewasa ini, anggota Komisi IV DPR RI Slamet menanggapi video viral yang memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Kemarahan petani diduga akibat harga cabai di pasaran turun. Slamet menyatakan impor cabai di semester I 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah.

Ketua Forum Petani Kalasan Janu Riyanto juga mengeluhkan harga cabai di tingkat petani yang merosot hingga 50 persen dari harga normal. Janu menjelaskan, selama ini harga normal cabai ada di kisaran Rp11.000 per kilogram, sedangkan sekarang harga cabai anjlok hanya dihargai Rp5.000 per kilogram.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna juga menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. Hempri menambahkan problem utama pemerintah yaitu tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan di negara sendiri.

"Jadi harga cabai murah banyak dialami oleh petani di Indonesia tidak hanya di Sleman saja," tandas Hempri. Sebelumnya diceritakan nasib tragis menimpa petani cabai di kawasan Kalasan Sleman. Petani cabai kawasan ini harus menerima pil pahit lantaran komoditas cabai panenannya yang digadang-gadang harganya bagus ternyata anjlok.

Hal tersebut sepertinya sudah menjadi kewajaran di Indonesia, padahal dalam keadaan pandemi (PPKM) saat ini, penjualan sudah sangat kesulitan karena sepinya pasar namun petani ditambah beban dengan impor komoditas yang sudah dilegalkan pemerintah. Dalih Pemerintah bahwa impor untuk menstabilkan harga hanya alasan untuk lepas tanggungjawab mengurusi petani. Pemerintah selalu bersikap seolah selalu kena simalakama, sulit untuk memilih salah satunya yang berujung pada penderitaan petani lokal. Solusi yang direncanakan pemerintah pun faktanya hanya kehaluan. Misalnya kartu petani yang tidak merata, tidak bisa dimanfaatkan sebagai persoalan biaya produksi dan justru menjadi peluang kasus korupsi beberapa tahun lalu oleh anggota DPR terkait distribusi pupuk bersubsidi yang anggarannya mencapai ratusan triliyun rupiah.

Lalu bagaimana solusi yang tepat untuk permasalahan yang terjadi?

Dalam permasalahan ini, sepertinya sudah menjadi salah satu daftar panjang yang belum terpecahkan solusinya oleh pemerintah sistem ini. Diakui atau tidak, hal tersebut memperjelas bahwa pemerintah tidak serius dalam mengurusi kepentingan rakyat. Kekuasaan dan kepemimpinan tak ubahnya hanya dijadikan praktek bisnis dan perjudian, bukan untuk mengurusi hajat hidup orang banyak itulah kenapa negara ini tetap mempertahankan sistem kapitalisme.

Berbeda dalam Islam, pemerintah sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat maka kewajibannya ialah mengurusi kebutuhan umat sepenuhnya sebaik-baiknya. Kepentingan dalam Islam hanya berharap atas Ridho Allah, maka hal tersebut menjadi dasar atas pertanggungjawaban di akhirat. Maka jaminan kebutuhan pangan, jaminan usaha dan segala permasahalan yang berkaitan dengan hal yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan umat diselesaikan secara mengakar. Karena itu, sudah saatnya masyarakat menyadari pentingnya perubahan arah Islam, bukan semata sebagai agama ruhiyah yang hanya mengajarkan urusan akidah, ibadah, dan akhlak saja namun Islam sempurna dan kondisi akan banyak berubah menjadi baik manakala hukum Allah tegak sempurna.